Oey Tamba Sia (lahir 1827 – meninggal 7 Oktober 1856), kadang disebut Oeij Tambah Sia adalah putra seorang tokoh masyarakat Tionghoa bernama Oey Thay yang dikenal kaya raya.
Oey Tamba Sia adalah anak ketiga Oey Thay seorang pedagang Cina asal Pekalongan dan pemilik toko tembakau terbesar di Jl. Toko Tiga (Jakarta). Pada tahun 1937, Jalan Toko Tiga di Jakarta Kota merupakan pusat perdagangan yang ramai. Oei Thay bahkan diangkat oleh pemerintah kolonial sebagai Lieutnant der Chinezen untuk kawasan Kali Besar. Ia juga pengurus Kongkoan atau Dewan Tionghoa pada pemerintahan Hindia-Belanda era itu.
Anak perempuan Oey Thay menjadi istri dari putra Bupati Pekalongan. Ketika Oey Thay meninggal dunia pada usia 50 tahun, saat itu Oey Tamba Sia baru berusia 15 tahun.
Setelah ayahnya meninggal, Oey bersama adiknya menerima warisan besar. Warisannya beberapa bidang tanah luas di Pasar Baru, daerah Curug, Tangerang yang sewanya 95.000 gulden setahun, daerah Pintu Kecil Jakarta yang sewanya 40.000 gulden setahun.
Kekuasaan dan uang berlimpah inilah yang yang membuat Oey Tamba Sia lupa diri. Ia sering menghambur-hamburkan uang dan bermain perempuan. Karena mewarisi harta mendiang ayahnya di usia remaja.
Pria flamboyan ini kerap menghabiskan uangnya di kawasan Ji Lak Keng, dekat rumahnya di Jalan Pa Tek Wan yang sekarang bernama Jalan Perniagaan Raya, Tambora, Jakarta Barat. Di situ, dia madat (candu), minum arak, dan berjudi. Bila malam tiba, dia menggoda para penari cokek dengan melemparkan uang kepada mereka.
Konon menurut cerita tiap kali Oey Tamba Sia buang air besar, banyak orang menunggunya. Di Jalan Toko Tiga, Glodok, terdapat kali tempat biasa Oey Tamba Sia buang air besar. Banyak orang menunggu ia buang air besar. Soalnya, Oei Tambah Sia cebok memakai uang kertas. Uang kertas yang ia gunakan untuk membersihkan pantatnya itu dibuang ke sungai. Dan itulah yang menjadi rebutan warga. Dalam suasana berjubel, kadang-kadang warga terluka lantaran berebut uang kertas itu.
Kebiasaan itu belum ada apa-apanya. Sesuatu yang juga membuat gempar di Batavia tak lain karena kegemarannya mengganggu anak atau istri orang. Oey Tamba Sia memang dikenal tampan. Ia juga pandai bergaya. Hobinya berkeliling kota menunggangi kuda Australia pada pagi dan sore hari untuk menemani perempuan-perempuan cantik. Setiap bepergian, Oey Tamba Sia selalu ditemani dua centengnya, Piun dan Sura.
Kalau pun tak menemui wanita cantik, Oey akan langsung mendatangi germo langganannya supaya mendapatkan referensi lebih lanjut terkait wanita yang sesuai tipenya. Tak segan-segan, dalam setiap aksinya merayu wanita, Oey Tamba Sia seringkali memanfaatkan kekuatan harta dan kekerasan dalam beraksi.
Oey Tamba Sia akhirnya menikahi gadis dari keluarga Sim. Ia menikah pada usia 17 tahun dengan pesta besar-besaran. Jalan umum di sepanjang jembatan Toko Tiga sampai ujung Jalan Patekoan ditutup. Tenda-tenda terpasang di sekitarnya. Pesta perkawinannya pun menjadi salah satu pernikahan yang paling meriah di Batavia pada masanya. Kesenian, mulai dari wayang China, tayuban, arak-arakan, dan kembang api berlangsung selama beberapa hari dan disaksikan oleh beberapa para pejabat Belanda.
Meski pesta pernikahannya dengan gadis keluarga Sim digelar sangat mewah, namun Oey Tamba Sia tetap tidak berhenti berburu perempuan. Ia benar-benar gila perempuan, dan tak terkendali, bahkan sering diiringi dengan aksi pembunuhan terhadap orang yang dianggap sebagai pesaingnya.
Bahkan setelah menikah, kegilaan untuk bermain perempuan tak kunjung hilang. Alhasil, bahtera pernikahannya hanya bertahan beberapa minggu. Setelah itu, Oey Tamba Sia terpikat pesinden asal Pekalongan bernama Gunjing.
Suatu waktu, rumah Oey didatangi oleh saudara jauh Gunjing bernama Mas Sutejo dari Pekalongan. Oey Tamba Sia lalu terbakar api cemburu melihat kedekatan Mas Sutejo dengan Gunjing. Ia gelap mata dan memerintahkan centengnya untuk membunuh Mas Sutejo secara diam-diam.
Demi menutupi aksi pembunuhan yang direncanakannya, Oey Tamba Sia meracuni pembantunya yang bernama Tjeng Kie. Kemudian,ia bersiasat memfitnah seorang Tionghoa yang menjadi rivalnya, Liem Soe King sebagai pelaku pembunuhan. Tapi, siasat tersebut tidak berhasil. Dalam sebuah penyelidikan, Liem terbukti tidak bersalah. Ia kemudian berbalik mengumpulkan bukti kejahatan Oey Tambah Sia. Bahkan, Liem meminta Gunjing ikut membantu dan memberikan kesaksian kepada pihak polisi atas keterlibatan Oey Tamba Sia dalam dua kasus pembunuhan.
Dewan Tionghoa yang dipimpin Mayor Tionghoa menyelidiki tindakan Oey Tamba Sia tersebut, dan melaporkannya kepada pengadilan Landraad. Oey Tamba Sia pun kemudian dijatuhkan hukuman gantung di muka umum. Usaha keluarga Oey untuk naik banding ke Raad van Justitie dan permohonan grasi kepada Gubernur Jendral ditolak.
Di saat fajar 7 Oktober 1856, Oey Tamba Sia akhirnya dihukum gantung di lapangan Stadhuis – Balai Kota Batavia, yang sekarang lebih dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta, atau banyak orang menyebutnya sebagai Museum Fatahillah. [*]