Ode untuk Perempuan Indonesia

Koran Suluh Indonesia Volume 08 Tahun III, 16-29 April 2018

Koran Sulindo – Perempuan dari zaman ke zaman memegang banyak peran, termasuk peran yang dapat menentukan hitam-putihnya suatu bangsa. Tak perlu kita sebut satu per satu nama mereka, perempuan-perempuan perkasa itu. Begitu banyaknya catatan sejarah telah dibuat tentang mereka, dari berbagai belahan dunia, tak terkecuali dari Indonesia.

Bahkan, tak dapat dinafikan, bangsa ini termasuk salah satu bangsa yang ada di dunia yang telah melahirkan begitu banyak perempuan hebat di berbagai bidang kehidupan. Bukan hanya hebat untuk sesama bangsanya, tapi juga hebat dipandang dan dinilai bangsa lain. Sudah seharusnyalah kita bangga. Sudah semestinyalah kita menghormati para perempuan yang ada di negara ini dan juga seluruh perempuan yang ada di dunia.

Perempuan adalah jiwa semesta. Peran perempuan kadang tak terlihat secara kasat mata, namun perempuanlah sesungguhnya sekolah pertama yang melahirkan peradaban manusia.

Negeri ini juga memiliki banyak karya seni yang merupakan ode bagi perempuan, suatu pujian kehormatan. Kaum perempuan memang punya andil yang tak ternilai pada apa yang telah dicapai bangsa dan negara ini dalam upaya memperjuangkan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.

Namun, ternyata, masih sangat banyak pula perempuan di negara ini yang bernasib malang. Bukan karena semata-mata garis tangan kalau hidup mereka merana, tapi tak sedikit dari kaum perempuan di Indonesia yang menderita karena menjadi korban eksploitasi atau kejahatan secara struktural.

Puluhan tahun lampau, negeri ini pernah digegerkan dengan kematian seorang perempuan buruh pabrik arloji. Marsinah namanya. Ia dibunuh karena kerap protes dan memimpin demonstrasi menentang penzaliman terhadap buruh oleh para majikannya. Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya yang bertajuk “Dongeng Marsinah” antara lain menulis bagaimana Marsinah dibunuh ketika itu: … kepalanya ditetak,/selangkangnya diacak-acak,/dan tubuhnya dibirulebamkan/dengan besi batangan.// Tentu saja, Sapardi mendapat penggambaran tersebut berdasarkan pemberitaan media massa, yang berlandaskan fakta atau keterangan saksi atau keterangan ahli.

Marsinah dibunuh 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan sebuah dusun. Namun, sampai sekarang, masih banyak perempuan Indonesia yang bernasib sama atau hampir sama dengan Marsinah. Para perempuan malang itu ada di pabrik-pabrik, ada di perkebunan-perkebunan, ada di perkantoran-perkantoran berpenyejuk udara, bahkan ada di rumah-rumah, di pedesaan dan juga di pemukiman-pemukiman kaum elite. Ikuti saja berbagai media yang kini ada beragam jenisnya. Di sana selalu ada jerit perempuan terluka atau tangis perempuan yang martabatnya direndahkan. Ada pula media massa yang kemudian malah menjadikan kesengsaraan perempuan sebagai komoditasnya.

Masih banyak pula perempuan di negara ini yang menjadi korban dari ketidakadilan gender atau korban kekerasan yang bentuknya berupa subordinasi, domestifikasi, dan marginalisasi. Juga mendapat beban kerja ganda ,yang terjadi di berbagai tingkatan dan ada pula yang menjadi korban peraturan diskriminatif yang dibuat penyelenggara negara.

Perempuan adalah ibu kita. Bahkan, kita menyebut negeri ini sebagai Ibu Pertiwi. Bangsa ini adalah bangsa yang menghormati perempuan dan begitulah seharusnya, selamanya. Hanya bangsa yang tak beradab yang tak memuliakan perempuan. [Purwadi Sadim]