Koran Sulindo – Sebagian besar wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini mengalami kekeringan, bahkan beberapa wilayah sudah di taraf kekeringan ekstrem.
“Wilayah-wilayah itu sekitar Wulandoni, Kabupaten Lembata dan wilayah Temu Kanatang dan Malahar di Kabupaten Sumba Timur,” kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi kelas II Kupang, Apolinaris Geru, di Kupang, Senin (4/6/2018), seperti dikutip antaranews.com.
Berdasarkan hasil monitoring Hari Tanpa Hujan berturut-turut (HTH) dasarian III Mei 2018, BMKG mencatat, NTT pada umumnya mengalami kriteria Hari Tanpa Hujan dengan kategori sangat panjang (31-60) hari. Tetapi beberapa wilayah mengalami hari hujan tanpa hujan dengan kategori kekeringan ekstrim (lebih 60 hari).
Pada umumnya wilayah NTT bercurah hujan kategori rendah? (0-50 mm). Namun di sebagian kecil Kabupaten Timor Tengah Utara, sebagian Kabupaten Manggarai Timur curah hujannya berkategori menengah (51-150 mm).
Sejak September 2017
Sebenarnya, gejala kekeringan ekstrem itu sudah terlihat sejak September 2017lalu. Mulai bulan itu hujan tak turun di hampir semua wilayah di NTT.
“Semua daerah sudah melaporkan darurat kekeringan. Semua daerah membutuhkan dukungan untuk suplay air bersih dengan mobil-mobil tanki karena sumber-sumber mata air mengering,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT, Tini Thadeus, Sepember 2017 lalu, seperti dikutip antaranews.com.
Kekeringan hebat yang melanda ribuan desa di wilayah itu telah berdampak pada kesulitan air bersih bagi warga, terutama yang hidup di daerah-daerah pedalaman.
Laporan darurat kekeringan itu, waktu itu sudah disertai dengan permintaan anggaran sekitar Rp14 miliar, dan sudah diteruskan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk dipertimbangkan.
Khusus untuk Flores Timur, laporan darurat kekeringan sudah disampaikan jauh hari sebelumnya sehingga sudah ada bantuan sebesar Rp500 juta untuk daerah di wilayah paling Timur Pulau Flores itu.
Thadeus mengatakan Pemprov NTT membutuhkan anggaran sekitar Rp14 miliar lebih, untuk mengatasi darurat kekeringan yang melanda sebagian besar desa-desa di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini.
Sebelumnya dana tanggap darurat ditangani langsung BNPB, tetapi sekarang harus di proses lagi ke Kementerian Keuangan.
Butuh 70 Bendungan
Provinsi NTT membutuhkan sekitar 70 bendungan untuk mengatasi masalah kekeringan yang selalu menghantui masyarakat daerah ini tiap kali memasuki musim kemarau.
“Saat ini yang baru dibangun hanya 3 bendungan,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTT, Andre Koreh, Oktober 2017 lalu, seperti dikutip antaranews.com.
Tiga bendungan yang tengah dibangun tersebut adalah Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu yang hingga kini progresnya mencapai 70-an persen, bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang yang pengisian genangannya pada awal 2018. Yang ketiga adalah bendungan Napunggete di Kabupaten Sikka, yang baru dibangun pada Oktober 2016 lalu diatas lahan seluas 161,61 hektare.
Pemerintahan Joko Widodo menjanjikan pembangunan 7 buah bendungan dalam 5 tahun pemerintahannya sejak 2014 lalu.
Tujuh bendungan yang akan dibangun tersebut, selain tiga bendungan tadi, adalah Lambo di Kabupaten Nagekeo, Manikin di Kabupaten Kupang, Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kolhua di Kota Kupang.
Disamping bendungan, NTT juga membutuhkan 4.000 embung yang dibangun di setiap kabupaten, kecamatan, dan desa. Hingga tahun lalu baru 1.000 embung yang sudah dibangun.
El Nino
Pengamat masalah pertanian dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Ir Leta Rafael Levis, M Rur Mnt, mengatakan fenomena El Nino memicu terjadinya kekeringan hampir di seluruh wilayah NTT.
“Pada bulan September, kekeringan diprediksi hanya 270 desa di NTT, namun terus meluas sampai 315 desa dari total 3.248 desa yang menyebar di 14 dari 22 kabupaten di NTT. Maka, dalam bulan Oktober ini, kekeringan dipresidiksi akan terus meluas karena berada di puncak musim kemarau,” kata Leta, 19 Oktober 2017, seperti dikutip antaranews.com.
Fenomena El Nino akan mengancam ketahanan pangan sebagai akibat dari bergesernya waktu tanam. [DAS]