Koran Sulindo – Nahdlatul Ulama mengingatkan umat Islam Indonesia tetap menjalankan dakwah dengan jalur budaya, sebagaimana dilakukan para Wali Songo. Dengan strategi dakwah itu terbukti Islam tersebar dan dipeluk penduduk Nusantara.
“Islam menyebar ke Nusantara dari abad ke-9, berhasil diterima dengan gencar pada abad ke-12 dan ke-13 menggunakan kebudayaan lokal sebagai pemahaman keagamaan,” kata Ketua peringatan hari lahir ke-91 NU, Masduki Baidlowi, di gedung PBNU, Jakarta, Senin (30/1).
Tema harlah tahun ini adalah “Budaya sebagai Infrastruktur Penguatan Keagamaan.”
Menurut Masduki, contoh konkret dakwah dengan budaya adalah wayang. Wayang dipakai sebagai jalan nilai Islam. Cerita pewayangan yang berkembang kemudian dimasuki nilai-nilai keislaman sehingga diterima masyarakat lokal. Wayang itu sudah mengakar kuat seperti batu karang di kalangan masyarakat lokal. Namun, dengan menggunakan media sama untuk berdakwah, wayang menjadi lumer dan menjadi milik masyarakat Islam.
“Meletakkan budaya sebagai jalan pemahaman keagamaan itu efektif,” katanya.
Masduki mengingatkan kini sebagian kelompok melakukan dakwah dengan menyalahkan dan mengkafirkan sesama orang Islam.
“Itu adalah dakwah yang kurang strategis. Jadi, tema harlah saat ini konteksnya mengingatkan saudara kita yang akhir-akhir ini mempraktikkan dakwah instan, ingin orang lain cepat masuk Islam. Kalau tidak, dikafirkan dan disalahkan, itu kurang efektif,” kata Masduki.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Mendagri Tjahjo Kumolo dijadwalkan menghadiri peringatan harlah NU yang akan berlangsung di halaman gedung PBNU Selasa (31/1) malam ini.
Acara juga akan dimeriahkan komedian Cak Lontong, pembacaan puisi oleh penyair Zawawi Imron, dan pertunjukan musik Wali Band, Noe Letto, dan Hadad Alwi.
Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siroj, akan menyampaikan pidato kebudayaan dan Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin akan berceramah.
Karakter Khas Islam Indonesia
Peringatan harlah berlangsung sejak Senin (30/1) kemarin dengan pameran keris dan manuskrip, ngaji sejarah, dan pemutaran film pemenang Kompetisi Film Pendek Dokumenter dalam rangka Hari Santri di Aula Gedung PBNU Jakarta.
Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), PBNU KH Agus Sunyoto, peringatan Harlah NU berbasis budaya ini untuk menguatkan kembali warisan Nusantara yang menjadi karakter khas Islam di Indonesia.
“NU terus berupaya menjaga dan melestarikan warisan budaya Nusantara di tengah arus globalisasi yang terus mengikis sehingga terjadi krisis budaya di masyarakat Indonesia,” kata Agus.
Pusaka keris, golok, kujang, dan tombak ditampilkan rapi oleh Lesbumi dengan menuliskan identitas dan catatan pusaka-pusaka tersebut sehingga pengunjung dapat langsung mengenali pusaka. Catatan yang ditulis dari pusaka-pusaka tersebut meliputi nama, tempat pembuatan keris, dan kerajaan yang menjadi persebaran keris-keris tersebut.
Tercatat sejumlah kerajaan yang menjadi masa persebaran keris dan pusaka-pusaka tersebut di antaranya Kerajaan Majapahit, Singosari, Mataram, Padjajaran, Demak, dan kerajaan-kerajaan kuno lainnya. Bahkan ada salah satu pusaka yang diproduksi sebelum tahun Masehi.
“Keris-keris ini juga didatangkan dari berbagai daerah seperti Bugis, Madura, Bali, Banjarmasin, Palembang bahkan Malaysia sebagai bagian dari wilayah Nusantara zaman dulu,” kata Doni Satrio Wibowo, kolektor keris yang juga pengurus Lesbumi PBNU.
Sementara itu, tercatat 31 naskah kitab manuskrip kuno tulisan tangan yang dipamerkan sebagai warisan intelektual ulama-ulama zaman dulu. Naskah-naskah tersebut ditulis dalam tulisan Arab, Arab Pegon, Jawa, dan Melayu.
Nama-nama manuskrip yang ditampilkan antara lain Tarikh Nabi Yusuf tahun 1889 yang ditulis dalam bentuk tembang, Tarikh Nabi Muhammad (tahun tidak tercatat) dalam bahasa Arab Pegon Bahasa Jawa, Serat Mas Buchori tahun 1820 dengan aksara Jawa, Manakib Syekh Abdul Qadir tahun 1925 huruf Arab Pegon Bahasa Jawa, bahkan Kitab Tafsir yang ditulis Tumenggung Puspanegara (Bupati Gresik pertama).
Selain itu ada Naskah Sejarah dan Silsilah Sunan Giri tahun 1283 ditulis dengan Aksara Arab Pegon berbahasa Jawa, Mushaf Al-Qur’an tahun 1825 yang ditulis oleh Kiai Abdullah Kudus, dan sejumlah tokoh wayang kulit. [nu.or.id/DAS]