Neolib Mengepung Kita

Koran Suluh Indonesia Volume III Nomor 06, 19 Maret - 1 April 2018

Koran Sulindo – Kapitalisme muncul dari kalangan borjuasi di Eropa yang menginginkan ekonomi pasar, industrialisasi, dan demokrasi perwakilan. Juga, yang tak kalah pentingnya, berupaya meminimalkan peran negara dalam berbagai bidang kehidupan warga, terutama di bidang ekonomi. Kebebasan individual dijunjung tinggi, termasuk melakukan akumulasi modal sebesar-besarnya. Itu sebabnya, dalam langkah lanjutannya, kapitalisme bak binatang buas yang senantiasa lapar, yang “memuliakan” sifat serakah manusia dan ingin memonopoli hajat hidup orang banyak. Kapitalisme-lah yang menjadi mesin pendorong kolonialisme dan kemudian imperialisme di berbagai belahan dunia, yang melahirkan eksploitasi suatu bangsa atas bangsa lain, penindasan manusia atas manusia, terutama demi motif-motif ekonomi.

Sepanjang sejarahnya, perlawanan terhadap kapitalisme dan praktik-praktik kapitalistis juga senantiasa hadir, bahkan bisa sangat sengit, lewat pertempuran senjata, yang mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah yang luar biasa. Perjuangan bangsa ini dalam merebut kembali kemerdekaannya dari tangan penjajah pada hakikatnya adalah perlawanan terhadap kapitalisme dan kaum kapitalis. Demikian pula perjuangan bangsa ini mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, yang oleh Bung Karno dikatakan sebagai perjuangan melawan neokolonialisme dan neoimperialisme (nekolim). Karena, harus diakui, apa yang dicitacitakan para pendiri negara ini, yang terefleksikan pada dasar negara dan dalam konstitusi kita, jelas menolak sistem kapitalistis dan derivat-derivatnya.

Bahkan ketika kapitalisme telah berubah perangainya seperti sekarang—yang memberi ruang lebih luas kepada pekerja dan perserikatannya, yang memperhatikan keberlangsungan hidup masyarakat sekitar dan lingkungannya, memasukkan banyak unsur sosialisme—dan punya nama alias sebagai neoliberalisme (neolib), tetap saja itu berlawanan dengan prinsip-prinsip konstitusi kita, terutama sebelum adanya sejumlah amandemen di UUD 1945.

Karena, pada dasarnya, neolib itu justru mengacu ke kapitalisme masa Adam Smith. Istilah awalnya adalah New Ortodoxy, kebijakan “baru” sebagai upaya membangun ekonomi dunia, yang diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an, terutama oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Turunannya adalah globalisasi, yang mirip dengan imperialisme.

Neolib mendorong dan berupaya agar perusahaan-perusahaan negara diswastanisasi, arus perdagangan dan modal harus diberikan jalan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tak perlu lagi kontrol harga dari negara, penghapusan subsidi, dan sebagainya. Namun, neolib masih membutuhkan negara untuk menciptakan stabilitas dan keamanan, agar tak ada peraturan yang dapat menghambat atau setidaknya mengganggu arus perdagangan dan modal yang sudah sedemikian bebasnya.

Dengan kekuatan modal mereka, penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif ) hanya dijadikan alat untuk memuluskan dan memuaskan hasrat mereka dalam upaya memperbanyak dan memperkuat modal. Yang juga dijadikan alat adalah media massa, sebagai pilar keempat demokrasi. Bahkan, ada yang mengatakan, neolib memperdagangkan hak politk demi mendapatkan uang.

Suka atau tak suka, negara yang kita cintai ini sejak reformasi semakin terasa mengarah ke sistem neolib, terutama setelah UUD 1945 diamandemen. Kaum neolib dan pemikirannya mengepung kita. Subsidi terus dikurangi atau bahkan dihapuskan sama sekali; swastanisasi (privatisasi) sejumlah BUMN; pengusaha dan rakyat kecil dikejar pajak, sementara pengusaha besar diberi keringanan pajak, dan sebagainya.

Ketimpangan sosial pun semakin lebar dan dalam. Ketidakpercayaan satu sama lain, sebagai sesama anak bangsa, sebagai sesama manusia, dari hari ke hari semakin meninggi. Segregasi sosial semakin tampak, terutama di media-media sosial di Internet, sehingga kini banyak sekali kasus ujaran kebencian atau pencemaran nama baik di pengadilan kita. Dalam politik kontestasi pun, kini kita saksikan, pemenang tidak selalu merupakan “pemain terbaik”, tapi banyak juga dari mereka karena disokong kekuatan uang yang sangat besar, dukungan koneksi yang luas, dan kelicikan—bahkan mungkin ada yang menggunakan cara-cara kejam atau intimidatif seperti masa pra-reformasi. Jadi, mau ke mana kita sebagai bangsa sebenarnya hendak menuju? [PUR]