Sulindomedia – Gara-gara proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, pendapatan nelayan di sana turun 40% hingga 50%. “Jelas berdampak besar pada sisi ekonomi, sekarang 40 hingga 50 persen penghasilan nelayan berkurang,” kata Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Chalid Muhammad, pada diskusi publik bertajuk “Reklamasi Penuh Duri” di Jakarta, Sabtu (9/4/2016).
Ribuan nelayan, lanjutnya, teralienasi karena akses mereka untuk melaut menjadi terbatas sejak perairan utara Jakarta diprivatisasi dengan pulau-pulau buatan tersebut. “Hasil tangkapan menurun drastis karena kualitas laut Jakarta semakin buruk. Reklamasi telah menambah tingkat kekeruhan air sehingga nelayan harus pergi lebih jauh untuk menangkap ikan,” tutur Chalid.
Kegiatan pembangunan di pulau-pulau reklamasi juga mengakibatkan laju arus air melambat sehingga berpotensi menggenangi kampung nelayan.
Selain itu, dari sisi sosial, pulau reklamasi yang lebih diperuntukkan bagi warga dengan penghasilan besar itu akan semakin menunjukkan kesenjangan sosial jika disejajarkan dengan tempat tinggal nelayan, yang sebagian besar merupakan perkampungan kumuh.
Kendati pendapatan berkurang dan sebagian nelayan terpaksa menyambung hidup dengan menjadi buruh serabutan, ungkap Chalid lagi, tidak banyak nelayan yang ingin beralih profesi. “Untuk beralih dari nelayan ke pekerjaan lain kan tidak mudah, itu sudah jadi akar budaya mereka. Laut adalah bagian penting kehidupan nelayan,” ujarnya.
Senada dengan Chalid, Wakil Ketua Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan Muara Angke Sugiyanto mengakui, proyek reklamasi memengaruhi nelayan dari sisi ekonomi. “Dulu ke pulau gampang, sekarang tidak bisa. Tidak bisa bikin ternak kerang ijo lagi karena hancur akibat proyek Pulau G, kapal juga tidak bisa masuk,” kata Sugiyanto.
Warga Muara Angke itu mengungkapkan, berbagai kegiatan nelayan di sekitar tempat tinggalnya berkurang sejak 2012 atau sejak proyek reklamasi mencuat. Nelayan di Muara Angke dan sekitaran Teluk Jakarta mencari hasil laut dengan perahu cumi, perahu rampus, dan bagan tancap. Tapi, kata Sugiyanto, proyek reklamasi mengurangi kegiatan melaut para nelayan. “Kawasan Jakarta Utara ditutup, bagaimana kapal bisa masuk? Bohong kalau tidak berdampak pada nelayan,” ujar Sugiyanto.
Sebelumnya, pada 7 April lalu, dalam akun Twitter resminya, ekonom senior yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, mengatakan akibat perubahan iklim global, permukaan laut naik, sehingga akan menghambat air sungai masuk laut dan air sungai pun akan masuk kembali arah hulu. Akibatnya, banjir akan semakin besar di Jakarta dan diprediksi tahun 2050 akan menghantam Monas.
Emil Salim juga mengatakan, naiknya permukaan laut mengubah eko-sistem Teluk Jakarta dan memukul nelayan. “Penting = bangun sea-wall, manage banjir; bangun fishing ground, selamatkan pantai,” tulis Emil. [PUR]