Soekarno dalam Sidang Umum MPRS ke-II bulan Mei 1963.(Wikisource/Fotograaf Onbekend)
Soekarno dalam Sidang Umum MPRS ke-II bulan Mei 1963.(Wikisource/Fotograaf Onbekend)

Koran Sulindo – Pada periode antara tahun 1965 hingga 1967, Presiden Soekarno menghadapi tekanan politik yang luar biasa. Di masa itu, ia menyampaikan setidaknya 103 pidato, termasuk pidato pentingnya yang dikenal dengan Nawaksara, disampaikan di Sidang Umum ke-IV MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada 22 Juni 1966.

Pidato ini merupakan bagian dari upaya Soekarno untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS di tengah kondisi negara yang sedang kacau, khususnya setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Apa Itu Nawaksara?

Dikutip dari esi.kemdikbud.go.id, Nawaksara merupakan pidato pertanggungjawaban Soekarno yang menyajikan sembilan pokok masalah yang dianggap penting. Nama “Nawaksara” berasal dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu “nawa” yang berarti sembilan dan “aksara” yang berarti huruf atau kata.

Dalam pidatonya, Soekarno menyampaikan berbagai hal terkait kebijakan-kebijakan yang telah ia ambil sebagai pemimpin negara, namun tanpa secara khusus menyinggung peristiwa G30S, yang menjadi tuntutan utama dari MPRS.

Isi Nawaksara

Berikut adalah sembilan pokok masalah yang disampaikan dalam Nawaksara:

1. Retrospeksi
Soekarno mengingatkan kembali tentang amanat yang pernah ia sampaikan pada Sidang Umum ke-II MPRS pada 15 Mei 1963 dalam pidato “Ambeg Parama-arta”. Dalam Retrospeksi, Soekarno kembali menyinggung tentang pengertian pemimpin besar revolusi, pengertian Mandataris MPRS, dan pengertian presiden seumur hidup.
2. Landasan-Kerja Melanjutkan Pembangunan
Landasan-Kerja Melanjutkan Pembangunan Lanjutan dari amanat “Ambeg Parama-arta” adalah amanat “Berdikari”, yang pernah disampaikan Soekarno dalam Sidang Umum MPRS ke-III tanggal 11 April 1965. Soekarno menegaskan tiga hal, yaitu trisakti, rencana ekonomi perjuangan, dan pengertian berdikari.
3. Hubungan Politik dan Ekonomi
Pada bagian ini, Soekarno kembali mengingatkan mengenai masalah ekonomi, keuangan, dan pembangunan (Ekubang) yang tidak bisa dipisahkan dari masalah politik. Justru masalah Ekubang harus didasari dengan manifesto politik buatan Soekarno.
4. Detail ke-DPR
Soekarno mengatakan bahwa detail dari tugas DPR tidak perlu dibahas dalam Sidang Umum MPRS. Sudah seharusnya semua ditentukan pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka memurnikan pelaksanaan UUD 1945.
5. Tetap Demokrasi Terpimpin
Soekarno mengingatkan, bahwa UUD 1945 memungkinkan Mandataris MPRS untuk secara lekas dan tepat bertindak dalam keadaan darurat demi keselamatan negara, rakyat, dan revolusi.

Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, revolusi juga terus mengalami peningkatan yang kemudian mengharuskan semua lembaga-lembaga demokrasi bergerak lebih cepat tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin ke arah Demokrasi Liberal.

6. Merintis Jalan ke Arah Pemurnian Pelaksanaan UUD 1945
Soekarno menjelaskan kembali tentang rencana pemurnian UUD 1945.
7. Wewenang MPR dan MPRS
Soekarno berharap bahwa dalam rangka pemurnian UUD 1945, MPRS tidak melupakan tugas dan fungsi mereka.
8. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa pemilihan jabatan presiden dan wakil presiden, masa jabatan, dan isi sumpahnya, memiliki tujuan agar terjaminnya kesatuan pandangan, kesatuan pendapat, kesatuan pikiran, dan kesatuan tindakan.
9. Penutup
Pada bagian penutup, Soekarno lebih menjelaskan tentang asal-usul penamaan pidatonya, Nawaksara. Kenapa Nawaksara ditolak? Hal yang dikemukakan dalam Nawaksara cenderung memberi amanat, bukan pertanggungjawaban sebagaimana diminta oleh MPRS.

Dalam Nawaksara juga sama sekali tidak disinggung masalah G30S, sehingga MPRS mengirim nota kepada presiden agar melengkapi pertanggungjawabannya. Khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya G30S, beserta epilognya, dan kemunduran ekonomi serta akhlak. Nota ini dikirim oleh pimpinan MPRS pada 22 Oktober 1966.

Penolakan Nawaksara

MPRS menolak pidato Nawaksara karena dianggap tidak memenuhi tuntutan pertanggungjawaban yang mereka minta, terutama terkait dengan peristiwa G30S. MPRS meminta agar Soekarno memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya G30S, kemunduran ekonomi, serta krisis akhlak yang melanda bangsa. Karena Nawaksara tidak menyentuh persoalan-persoalan ini, pidato tersebut tidak diterima oleh MPRS.

Pelengkap Nawaksara (Pel-Nawaksara)

Sebagai respons atas penolakan tersebut, Soekarno menyampaikan Pelengkap Nawaksara (Pel-Nawaksara) pada 10 Januari 1967. Namun, laporan ini juga tidak memuaskan MPRS, karena Soekarno tetap tidak memberikan pertanggungjawaban terkait G30S.

Menurut Soekarno, persoalan G30S bukanlah bagian dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang harus dipertanggungjawabkan oleh Mandataris MPRS. Ia berpendapat bahwa masalah ini seharusnya diselesaikan antara presiden dan DPR-GR, bukan dengan MPRS.

Penolakan terhadap Pel-Nawaksara ini memperburuk situasi politik. Pada akhirnya, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No. XXXIII/1967, yang mencabut kekuasaan Presiden Soekarno. Keputusan ini menandai berakhirnya era kepemimpinan Soekarno dan membuka jalan bagi naiknya Soeharto sebagai presiden Indonesia.

Nawaksara, sebagai pidato pertanggungjawaban Soekarno, mencerminkan visi besar presiden pertama Indonesia terhadap revolusi dan pembangunan bangsa. Namun, penolakan terhadap Nawaksara dan Pel-Nawaksara menunjukkan ketidakpuasan MPRS serta ketidakmampuan Soekarno untuk menghadapi tekanan politik yang semakin besar setelah peristiwa G30S. Pada akhirnya, hal ini menjadi salah satu faktor yang mengarah pada penggulingannya dari kursi kepresidenan. [UN]