Koran Sulindo – Pasca Pemilu 1955– yang menempatkan PNI sebagai partai pemenang– gerak langkah partai nasionalis ini di pentas nasional pelahan surut. Presiden Soekarno sendiri menjaga jarak dengan pimpinan PNI di masa itu.
Peran PNI di pentas politik nasional mulai bangkit kembali setelah Kongres IX di Solo, Juli 1960. Dalam kongres ini, yang terpilih sebagai ketua umum adalah Ali Sastroamidjojo, salah seorang penggiat PNI di masa pergerakan, yang juga dikenal dekat dengan Bung Karno. Dengan segera, DPP PNI di bawah kepemimpinan Ali Sastroamidjojo melakukan pembenahan organisasi untuk memulihkan kewibawaan pimpinan pusat.
Langkah-langkah konsolidasi itu segera menampakkan hasil. Keanggotaan partai yang terdaftar di bulan April 1961 yang tercatat hanya 198.554 nama, melonjak drastis menjadi 1.858. 119 nama saat diumumkan dalam kongres partai X di tahun 1963. Lonjakan cepat jumlah anggota terdaftar pada periode 1961-1963 merupakan bukti kuat perbaikan organisasi PNI di daerah. Angka ini menjadi cukup penting karena disertai usaha-usaha yang lebih sungguh-sungguh dalam melatih kader dan perbaikan koordinasi antara DPP dan cabang-cabang daerah. (Rocamora; 1991)
Gerak PNI ke kiri dan penegasan kembali pimpinan nasional mengenai kendali atas unit-unit partai di daerah diikuti dengan peningkatan koordinasi kegiatan partai dengan ormas. Kongres IXPNI sudah mencabut keputusan DPP pimpinan Soewirjo, yang dibuat Agustus 1959, untuk membebaskan semua ormas dari semua ikatan keorganisasian partai. Sebuah peraturan baru kemudian dikeluarkan pada 1961, yang mengatur hubungan partai-ormas, dan merinci bahwa partai adalah “organisasi pelopor” dalam gerakan massa Marhaen, dan pimpinan partai berfungsi sebagai “pembimbing” ormas yang berafiliasi dengannya. Peraturan ini juga menuntut para pimpinan ormas menjadi anggota partai, meskipun itu tidak berlaku bagi semua anggota.
Ali Sastroamidjojo, selaku Ketua Umum PNI, makin bergerak jauh ke kiri. Hal ini terlihat jelas dalam pidatonya dalam rapat umum yang merupakan bagian dari mata acara perayaan ulang tahun PNI di bulan Juli 1963. Ali menganut batasan yang dibuat Soekarno, dengan mengatakan: “…Doktrin (marhaenisme) dan program perjuangan berdasarkan sosialisme ilmiah lebih jauh didasarkan pada sosialisme Marxis, karena hanya setelah Marx sosialisme ilmiah dikembangkan”.
Sejak dipimpin Ali, partai juga membuka peluang bagi para aktvis muda yang berhaluan nasionalis-radikal untuk berkiprah di jajaran DPP, DPD, hingga ke tingkat cabang. Dengan begitu, perwakilan ormas dalam jajaran kepemimpinan partai meningkat pesat..
Peran kubu nasionalis-radikal semakin menguat setelah Kongres PNI X di Purwokerto, Mei 1963. Dalam kongres ini, Ali Sastroamidjojo kembali terpilih sebagai ketua umum. Dan sebagai Sekretaris Jenderal DPP PNI terpilih Surachman, tokoh muda yang sebelumnya aktif di Petani, ormas sayap PNI yang bergerak di kalangan petani.
Surachman termasuk salah satu tokoh muda nasionalis yang dekat dengan Bung Karno. Cerita di balik naiknya Surachman sebagai Sekjen PNI dalam Kongres X di Purworejo, 28 Agustus sampai 1 September 1963, menunjukkan kedekatan ideologis tersebut. Saat itu pertarungan antar-faksi, terutama antara faksi Ali Sastroamidjojo (ketua umum) yang cenderung radikal dengan faksi Hardi (sekjen) yang konservatif, di internal PNI menajam.
Di tengah panasnya suasana kongres, Bung Karno dalam pidatonya mendesak pimpinan partai dari kalangan tua agar memberi kesempatan bagi orang-orang muda. Sehari setelah pidato itu, sejumlah cabang PNI yang mendukung faksi Ali mengirim utusan menghadap presiden untuk menanyakan maksud pidatonya. “Dalam pertemuan itu, Bung Karno mengatakan bahwa ia tidak akan menentang terpilihnya kembali Ali Sastroamidjojo asalkan kedudukan pimpinan lainnya diisi tokoh-tokoh muda,“ tulis Joel Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi,
. Pernyataan Bung Karno itu memuluskan langkah Ali untuk kembali memimpin PNI.Salah seorang tokoh muda yang dianjurkan Bung Karno untuk dimasukkan ke dalam pimpinan partai adalah Surachman. Maka, kelompok Ali pun menyokong Surachman dalam pemilihan sekjen. Lawannya adalah Soebagio Reksodipoero, yang disokong kelompok Hardi. Dalam pemilihan sekjen, Surachman menang tipis, unggul dua suara dari keseluruhan 600 suara. “Kemenangan Surachman adalah hal yang menentukan bagi kekuatan kiri dalam PNI,“ tulis Rocamora.
Bersamaan dengan terpilihnya Surachman sebagai Sekjen PNI, peranan garis nasionalis-radikal makin menguat. Beberapa tokoh GMNI juga masuk dalam jajaran DPP PNI, seperti John Lumingkewas, Lucien Pahala Hutagaol, dan Bambang Kusnohadi. Dalam perubahan dinamika partai tersebut, Surachman berperan penting. Ia merupakan patron atau tokoh panutan bagi kaum muda beraliran nasionalisme-radikal di dalam partai. Ia mendapat gelar insinyur pertanian dari Universitas Gajah Mada pada 1961, dikenal sebagai pekerja keras, meskipun sifatnya cenderung pendiam.
Kehadiran para tokoh muda, yang dimotori Surachman, dengan garis politik nasionalis-radikal ini membuat PNI makin menggelora. Hubungan Presiden Soekarno dengan jajaran pimpinan PNI, terutama dari kalangan muda, makin terjalin akrab. Pada bulan April 1964, misalnya, suatu delegasi yang berjumlah 26 aktivis muda PNI, di bawah pimpinan Surachman, diterima Bung Karno di Istana Negara untuk membicarakan usaha-usaha pengembangan partai. Bung Karno menantang mereka untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.
Menjawab tantangan Bung Karno itu, Surachman pun menggalang tokoh-tokoh muda PNI untuk mendinamisir partai. Dan hasinya segera terasa. Tema baru dalam propaganda dan indoktrinasi partai merefleksikan perubahan ini. Pidato-pidato para pemimpin partai pada waktu itu terpusat pada “kebutuhan kembali kepada kaum marhaen“, dalam rangka membangun persatuan antara partai dengan ormas di dalam Front Marhaenis yang kuat, serta tekad untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.
Perkembangan ini memuncak saat dicetuskan “Deklarasi Marhaenis“ dalam pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung, November 1964. Deklarasi Marhaenis yang digagas Surachman bersama tokoh-tokoh muda yang berasal dari GMNI dan Petani. “Deklarasi Marhaenis” tersebut, antara lain, menegaskan: “Bahwasanja perdjuangan untuk membela kaum Marhaen dan menentang musuh2nja, jaitu kapitalisme, nekolim, dan feodalisme adalah suatu perdjuangan jang paling terhormat, sutji, dan mulia….Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalat alat bagi kaum Marhaen untuk memperdjuangkan dan merealisasikan tjita2ja jaitu: Kemerdekaan penuh, sosialisme, dan dunia baru”.
Dalam sidang Badan Pekerdja Kongres PNI di Lembang itu pula disetujui marhaenisme adalah marxisme “jang diterapkan sesuai dengan kondisi2 dan situasi Indonesia”. PNI juga menegaskan cita-citanya sebagai partai kaum marhaen untuk melawa imperialisme, neo-kolonialisme, dan kapitalisme.
Retorika “Deklarasi Marhaenis” bukanlah sekadar tanggapan taktis terhadap iklim Demokrasi Terpimpin, melainkan merupakan tanda-tanda perubahan nyata sikap PNI terhadap isu-isu dasar yang berkembang saat itu. Jajaran kepemimpinan PNI mulai menatap kondisi-kondisi domestik serta kelompok yang dalam tingkah lakunya memberi peluang bagi imperialisme. Gerak politik PNI berhasil mengimbangi PKI dan tokoh-tokoh Angkatan Darat dalam pentas politik nasional.
Dan patut dicatat, dalam masa kepemimpinan Ali Sastroamidjojo-Surachman, PNI berhasil menyelenggarakan perayaan ulang tahun partai secara besar-besaran pada Juli 1965. Acara yang digelar di Stadion Senayan, Jakarta, itu berhasil menghadirkan sekitar 100.000 orang, yang bahkan mengalahkan acara yang digelar PKI sekalipun. Ketika Bung Karno hadir untuk memberikan pidato dalam acara tersebut, kata pertama yang diucapkannya saat melihat lautan manusia yang hadir adalah “Bukan main!“
Pasca-Gestok
Tapi, situasi berubah pada Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Gestok. Peristiwa ini merupakan titik balik kekuasaan Bung Karno.
Kurang-lebih 18 bulan sejak Peristiwa Gestok, Jenderal Soeharto terus melakukan “konsolidasi” kekuatannya dan menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa, dan kekuatan Islam. Soeharto menangkapi anggota Kabinet Dwikora yang diduga terlibat Gestok. Ada 16 menteri ditangkap meski tak jelas apa peran mereka dalam Peristiwa 30 September 1965.
Maka, pada 7 Maret 1967, MPRS menggelar sidang untuk mencabut mandat Presiden Soekarno dan kemudian melantik Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Tidak sampai di situ. Soeharto juga memperlakukan sang Proklamator yang Presiden Pertama Republik Indonesia sebagai pesakitan, seolah Bung Karno bukan siapa-siapa dan tak memiliki kontribusi besar bagi berdirinya negara ini.Bung Karno dijadikan tahanan rumah, di Wisma Yasoo (kini dijadikan Museum Satria Mandala), di Jalan Gatot Soebroto, Jakarta.
Sebenarnya, bisa saja Bung Karno melawan. Massa pendukungnya masih sangat banyak, termasuk dari kalangan tentara. Setidaknya ada Angkatan Udara, KKO (sekarang Marinir), Divisi Siliwangi, dan tentara di Kodam Brawijaya yang sebagian besar anggotanya masih sangat setia kepada Bung Karno. Namun, Soekarno memilih mengalah, meski diperlakukan seperti tawanan. Bung Karno tak ingin Indonesia banjir darah lagi karena perang saudara.
Dalam buku karya akademisi Rusia, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P., Soekarno: Biografi Politik (1980), dikatakan alasan Bung Karno tak mau melawan kekuatan Soeharto yang merajalela tersebut. Bung Karno, diungkap dalam buku itu, adalah sosok yang sangat cinta persatuan dan tidak mau menggunakan kekuatan kasar untuk mempertahankan kekuasaan.
Tapi, banjir darah tak terelakkan. Ratusan ribu nyawa anak bangsa melayang. Yang menjadi sasaran utama adalah anggota PKI dan simpatisannya. Tapi, kalangan Soekarnois juga menjadi incaran para tentara. Dalam buku yang disunting Douglas Kammen dan Katherine McGregor, The Contours of Mass Violence Indonesia: 1965-1968 (2012) menjelaskan mengapa pembunuhan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari sebuah agenda politik yang lebih besar. Diungkapkan: bagi Soeharto, peristiwa kekerasan 1965 itu seperti keharusan politik untuk memulai langkah awal menghancurkan kekuasaan Soekarno beserta basis-basis kekuatan sosial pendukungnya. Di atas puing-puing kehancuran inilah langkah strategis selanjutnya dijalankan: merangkul dan mengintegrasikan Indonesia ke dalam ekonomi kapitalisme dunia dengan menempatkan aktor-aktor kekuasaan yang akan memfasilitasinya.
PNI sebagai pengikut setia ajaran Bung Karno terkena imbasnya.. Upaya negeri-negeri imperialis menggulingkan Bung Karno didahului dengan penghancuran basis pendukungnya: gerakan kiri. Dengan dalih terlibat Gestok, militer segera menyerang PKI dan ormas-ormasnya. PNI Ali-Surachman juga terkena getahnya. Aksi-aksi mahasiswa kanan di tahun 1966 sangat akrab dengan istilah “PNI ASU” (PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman).
Akhirnya, pada kongres luar biasa di Bandung, 21 sampai 27 April 1966, kelompok Ali-Surachman digulingkan. Kelompok sayap kanan PNI, yang sering disebut kelompok Osa-Usep, berhasil merebut kepemimpinan. Konon, Ali Moertopo, tokoh intelijen terkemuka rezim Orde Baru, terlibat langsung dalam kongres itu untuk membersihkan kaum kiri dalam PNI.
Ali Sastroamidjojo sempat ditawan oleh rezim Orde Baru, tapi kemudian dibebaskan. Sampai mengembuskan napasnya yang terakhir, 17 Maret 1975 (di usia 72 tahun), Ali Sastroamidjojo tetap menyebut diri sebagai seorang nasionalis- marhaenis.
Akanhalnya nasib Surachman lebih tragis lagi. Ia kemudian dituduh sebagai orang PKI yang menyusup ke dalam PNI. Tuduhan itu didasarkan pernyataan sikap PNI tentang Peristiwa Gestok, yang ditandatangani Surachman sebagai sekjen. Salah satu butir pernyataan yang dikeluarkan tanggal 1 Oktober 1965 itu berbunyi: “Menyatakan penghargaan setinggi-tinginya kepada prajurit yang telah menunjukkan kesetiaan mereka dalam menyelamatkan Pemimpin Besar Revolusi/Bapak Marhaenisme Bung Karno.“
Tapi, seperti ditegaskan Satyagraha, mantan pemimpin redaksi Sukuh Indonesia: “Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Mas Surachman justru tokoh yang tidak disenangi PKI. Ia seorang nasionalis yang sangat mencintai Bung Karno.” Adapun pernyataan DPP PNI 1 Oktober itu secara keseluruhan menegaskan kesetiaan PNI kepada Bung Karno, yang saat itu dirasakan sedang dirongrong kewibawaannya oleh antek-antek nekolim dan unsur-unsur kontra-revolusi.
Lagipula, tidak ada bukti kuat yang mendasari tuduhan bahwa Surachman “orang PKI yang menyusup ke dalam PNI“. Tulisan-tulisan panjangnya di koran PNI, Suluh Indonesia, tidak menyingkapkan sedikitpun gaya tulisan atau pemikiran PKI. Dukungan Surachman kepada gagasan-gagasan membentuk “Angkatan Kelima“ dan sikap menduanya terhadap aksi sepihak (yang menjadi program PKI) bisa dimaklumi mengingat kecintaannya kepada Bung Karno—yang sikapnya terhadap kedua isu juga mendua.
Nama Surachman dan beberapa tokoh PNI (Supeni, Zaini Mansur, Bambang Kusnohadi, Karim DP, dan Sumarno) memang tercantum sebagai anggota Dewan Revolusi, yang melakukan Gerakan 30 September. Tapi, keenam anggota pimpinan pleno PNI itu telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak tahu-menahu mengenai Gerakan 30 September, serta tidak bertanggungjawab atas pencantuman nama-nama mereka sebagai anggota Dewan Revolusi.
Namun, semua bantahan itu diacuhkan rezim militer Orde Baru. Sejak Februari 1966, Surachman dinyatakan sebagai buronan oleh rezim militer Orde Baru. Ia memang sengaja melarikan diri untuk menghindari penangkapan dan siksaan yang telah dialami kawan-kawannya sesama Soekarnois, termasuk sejumlah menteri kabinet terakhir Soekarno. Surachman kemudian bersembunyi di Malang Selatan-Blitar, dimana ia pernah menjadi tentara pelajar (TRIP) semasa perang kemerdekaan. Kebetulan di wilayah itu sejumlah tokoh PKI menggalang basis perjuangan bersenjata untuk melawan rezim Orde Baru.
“Masuk akal bila kemudian ia (Surachman) bergabung dengan buron-buron lainnya, tanpa memperdulikan afilisasi politik mereka. Wajar baginya bersembunyi di wilayah Malang Selatan-Blitar, dimana ia menjadi tentara pelajar di masa revolusi. Hal itu tidak cukup membuktikan bahwa ia anggota PKI sebelum 1965,“ tulis Rocamora.
Pada Juli 1968, Surachman tertangkap saat tentara melalukan operasi militer di Malang Selatan-Blitar. Karena penyiksaan yang hebat selama diinterogasi, ia mengalami luka parah. Dan tak lama kemudian, meninggal dunia. Usianya menjelang 42 tahun.Hidup tokoh politik yang cemerlang itu berakhir tragis.
Dan bersamaan dengan itu pula, garis politik PNI beralih menjadi moderat. Peran partai banteng ini di masa Orde Baru surut. Ini tampak jelas dari hasil Pemilu 1971, pemilu pertama di bawah rezim Orde Baru. PNI– partai pemenang dalam Pemilu 1955– yang hanya memperoleh 6,94 persen (20 kursi di DPR), dan menempati urutan keempat. [Satyadarma Hs]