Koran Sulindo – Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya. Demikian Bung Karno mengingatkan bangsa ini agar tidak sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah pernyataan yang masih relevan hingga hari ini. Karena, selama hampir 32 tahun rezim Soeharto berkuasa, ada banyak perjalanan sejarah republik ini yang dilesapkan.
Tanpa basa-basi, Soeharto sebagai penguasa presiden acap kali melabeli mereka yang ikut berjuang di masa kemerdekaan sebagai anti-Pancasila. Karena propaganda itu pula, masyarakat menjadi melupakan mereka yang berjasa kepada bangsa ini. Itu sebabnya, sejarawan Universitas Indonesia Andi Achdian menganggap penting untuk menulis ulang sejarah perjalanan bangsa ini.
Sosok Ali Sastroamidjojo, misalnya, tidak banyak yang mengetahui mengenai kiprahnya sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan. Itu karena setelah peristiwa G30S, Ali sempat ditawan rezim Soeharto. Dan, namanya dihilangkan dari sejarah bersama Surachman, yang merupakan tandem Ali di Partai Nasional Indonesia (PNI). Mereka dicap sebagai “Kiri” dan dianggap terlibat G30S.
Ali memulai perjalanan politiknya dari Belanda. Ketika itu, ia aktif di Perhimpunan Indonesia bersama tiga mahasiswa Indonesia lainnya, yaitu Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Mereka ketika itu diadili karena dianggap menentang pemerintah Belanda. Ali yang masih berusia 24 tahun sedang mempersiapkan ujian doktoralnya di Universitas Leiden. Pemerintah kolonial kerap menyoroti dia karena tulisan-tulisannya yang sering dimuat di koran Indonesia Merdeka.
Pria kelahiran 21 Mei 1903 ini kembali ke Hindia Belanda pada 1928. Ia lalu membuka kantor pengacara bersama kawan-kawannya. Akan tetapi, panggilan Ibu Pertiwi dan kecintaan kepada rakyatnya membuat dirinya meninggalkan pekerjaan tersebut. Ia memilih jalan perjuangan politik untuk membebaskan bangsanya dari belenggu kolonialisme. Itu sebabnya, ia menceburkan diri secara mendalam dalam pergerakan nasional.
Di Hindia Belanda, Ali bergabung dengan PNI yang didirikan Bung Karno dan kawan-kawannya pada 4 Juli 1927. “Pada pokoknya, tujuan politik PNI waktu itu adalah mencapai Indonesia Merdeka, sesuai dengan asas dan tujuan Perhimpunan Indonesia. Karena itu, saya memilih masuk PNI,” kata Ali, seperti tertulis dalam memoarnya,Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
Di PNI, Ali tidak hanya menjadi sahabat, tapi juga menjadi lawan debat Bung Karno. Perdebatan mereka pernah terjadi pada 1928 yang pangkal masalahnya adalah soal keinginan Bung Karno agar semua anggota PNI memakai seragam dan menganjurkan tak lagi memakai kain sarung. Sontak Ali menolak. Ia merasa, selain seragam membutuhkan biaya yang besar, sarung adalah khas masyarakat Indonesia. Ditambah lagi, PNI ketika itu tidak punya uang. Walau kesal, Bung Karno pada akhirnya menerima pendapat Ali itu.