Nasionalisme Prihatin

Bung Karno akrab dengan rakyat kecil.

Koran Sulindo – Bagaimanakah nasionalisme orang Indonesia pada hari-hari ini? Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memandang ihwal ini dengan cemas. Nasionalisme masyarakat Indonesia, katanya, kian memudar karena pemahaman terhadap Pancasila dan undang-undang lemah.

“Saya mengingatkan kembali, betapa pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara. Ini meluntur memang,” ungkap Ryamizard dalam keterangan tertulisnya, 4 Mei 2016 lalu. Padahal, lanjutnya, tantangan bangsa Indonesia ke depan semakin kompleks.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani juga menilai rasa nasionalisme bangsa Indonesia semakin luntur. Indikasi ini terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Menurut dia, tidak banyak generasi muda yang dapat memahami bagaimana Bendera Merah Putih berkibar dengan tidak mudah. Di samping itu, banyak masyarakat yang tidak lagi mengerti akan kewajiban menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam acara formal.

“Hari-hari ini sepertinya sudah mulai luntur, tidak dipahami makna dan arti nasionalisme itu oleh anak-anak sekarang,” kata Puan di Gedung Lemhannas, Jakarta, 16 Desember 2015 lalu.

Puan mengatakan, perlu ada upaya untuk memupuk kembali jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda. Itu harus dilakukan melalui pendidikan yang diberikan sejak dini hingga lanjut usia. “Bagaimana kita memunculkan kembali rasa nasionalisme dari anak-anak kecil, SD, sampai kemudian dan seterusnya sehingga kita bisa bangga menjadi bangsa Indonesia dengan Merah Putih-nya,” tutur Puan.

Dalam Kongres IV PDI Perjuangan di Bali pada 2015 lalu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga telah menegaskan, para pemimpin nasional harus mampu membangun semangat nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia seperti yang telah dibangun Presiden Soekarno. “Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, menjadi tugas kita semua, terutama para pemimpin, untuk terus membangunkan semangat dan kebanggaan sebagai bangsa,” kata Megawati Soekarnoputri pada pembukaan kongres partainya itu, 9 April 2015.

Megawati benar. Nasionalisme adalah proyek bersama, tentunya untuk mencapai tujuan bersama dan masa depan bersama. Tapi, bagaimana caranya?

Bung Karno dan juga banyak bapak bangsa ini yang lain menolak kapitalisme sebagai jalan untuk mencapai tujuan bersama dan masa depan bersama bangsa Indonesia. Bung Karno memandang kapitalisme sebagai stelsel pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Akibatnya, meerwaarde (nilai lebih) tidak mengalir ke tangan kaum buruh, tapi mengucur ke ke tangan kaum majikan (borjuis).

Dalam masyarakat kapitalis juga dipelihara eksploitasi dan pengisapan. Negara pun dijadikan alat kelas borjuis untuk menindas kaum miskin, antara lain dengan cara mengintimidasi, represi, teror, dan menggusur. Jadi, tak ada tujuan bersama, apalagi masa depan bersama.

Bung Karno sendiri menyebut gagasan nasionalisme-nya sebagai sosionasionalisme. Sementara itu, Bung Hatta menyatakan, nasionalisme haruslah berdasarkan kedaulatan rakyat atau kerakyatan. Dwitunggal ini berpandangan sama: menolak borjuisme dalam gagasan nasionalisme mereka.

Bung Karno dalam risalah “Mentjapai Indonesia Merdeka”, yang ditulis di Pengalengan, Jawa Barat, pada 30 Maret 1933, mengatakan dirinya tidak ingin rakyat jelata alias kaum marhaen ditipu kaum borjuis dan kaum ningrat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Menurut Bung Karno, “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”

Tidakkah yang ditakutkan Bung Karno itu justru semakin tampak belakangan ini? [Purwadi Djunaedi, Redaktur Pelaksana Koran Suluh Indonesia]