Musuh Terburuk Saudi Adalah Mereka Sendiri

Putra Mahkota Muhammad bin Salman saat bertemu dengan anak Jamal Kashoghi.

Koran Sulindo – Setelah berminggu-minggu diliput keraguan akibat pengaburan dan penyangkalan, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel bin Ahmed al-Jubeir akhirnya mengakui bahwa pembunuhan Khashoggi adalah ‘kesalahan luar biasa’.

Menjadi masalah karena contoh lain yang berserak menunjukkan Saudi berkali-kali melakukan serupa sepanjang periode singkat sejak putra mahkota Mohammed bin Salman (MBS) naik ke pucuk kekuasaan.

Saat ini secara bersamaan Saudi tengah menghadapi tiga tantangan eksistensial yang benar-benar membutuhkan negarawan berpengalaman luas untuk menanganinya.

Tantangan paling utama yakni kondisi internal Saudi yang penuh ketidakpastian menyusul transisi kekuasaan yang belum sepenuhnya tuntas. Keluarga kerajaan terjebak pada perebutan kekuasaan dan saling bersaing satu sama lain.

Generasi kedua kepemimpinan Saudi seperti Raja Salman yang menua mulai digantikan oleh generasi ketiga keluarga itu seperti yang ditunjukkan oleh tampilnya MBS sebagai putra mahkota.

Regenerasi bakal menjadi faktor terpenting karena Raja Salman merupakan generasi terakhir dari anak-anak pendiri kerajaan Saudi. Sejarah mencatat banyak negara monarki gagal melewati tiga generasi berturut-turut sementara pada saat yang sama kekuasaan justru makin terpusat.

Transisi kepemimpinan yang lancar sangat dibutuhkan agar Saudi sanggup menghadapi ancaman eksistensial kedua yakni kebutuhan mendesak akan reformasi internal yang revolusioner.

Prasyarat survive Kerajaan Saudi di masa-masa berikutnya adalah reformasi di seluruh sektor termasuk ekonomi, sosial, dan agama.

Meskipun beberapa kemajuan terlihat kombinasi yang lebih luas dari disfungsi ekonomi, ketidaksetaraan struktural, korupsi endemik, kelemahan pendidikan, stagnasi budaya hingga ekstremisme agama terus menggerogoti Saudi selama beberapa dekade terakhir.

Di sisi lain, masalah-masalah demografi terus menjadi catatan tersendiri bagi Saudi dan berpotensi menjadi masalah besar di masa mendatang karena lebih dari setengah penduduk Saudi saat ini lebih muda dari MBS.

Ketika tahun 1945 Presiden Franklin Roosevelt bertemu dengan kakek MBS yakni Abdul Aziz ibn Saud, populasi Saudi tak lebih dari tiga juta orang. Tujuh dekade kemudian jumlah itu meledak menjadi 30 juta orang dan pada 2030 mendatang diperkirakan populasi bakal mencapai jumlah 40 juta orang.

Seperti diceritakan dalam sejarah manapun, pemuda merupakan anasir paling berbahaya dalam struktur masyarakat manapun. Pada lingkungan yang tak memberikan kesempatan produktif mereka bakal berayun kepada jalur-jalur seperti ekstremisme agama dan dorongan destruktif lainnya.

Dengan realitas demografis seperti itu, reformasi dan modernisasi menjadi sangat penting bagi Saudi. Raja dan putra mahkota jelas harus memahami ancaman eksistensial tersebut.

Ancaman eksistensial ketiga yang harus dihadapi Saudi adalah faktor eksternal atau geopolitik regional.

Di Timur Tengah dengan Iran secara agresif memperluas pengaruhnya di seluruh kawasan, keseimbangan regional tentu terancam.  Kemenangan proksi Teheran di Suriah, Irak dan Lebanon jelas mengancam hegemoni Saudi di Teluk.

Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak tindakan-tindakan Saudi yang justru menjadi bumerang dan merusak kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan.

Agresi mereka ke Yaman dengan pembomban yang terus menerus dan tanpa pandang bulu telah mendorong sentimen anti-Saudi. Di Qatar, meski mereka memiliki kekhawatiran yang sah atas toleransi negara itu pada teroris dan Iran, toh nyatanya Saudi melakukan hal yang sama persis di Suriah ketika mendukung kelompok-kelompok teror.

Boikot keras pada Qatar yang diinisiasi Saudi justru menampilkan negara tersebut menjadi sebagai korban yang pada gilirannya justru mengundang simpati. Alih-alih tunduk pada tekanan, Qatar justru memperkuat hubungan mereka dengan Iran dan Turki.

Qatar bahkan memulai pembicaraan untuk membeli senjata anti-pesawat Rusia, yang kesemuanya itu jelas bertentangan dengan kepentingan Saudi.

Ya, benar Arab Saudi sudah mengakui bahwa cita-cita mereka tak bakalan berhasil tanpa upaya sungguh-sungguh memerangi korupsi.

Namun, alih-alih melakukan pemberantasan korupsi upaya hukum yang transparan dan fair, pemerintah justru menahan ratusan pengusaha berpengaruh dan diam-diam menggunakan metode ekstralegal untuk merampas kekayaan mereka.

Dan itu bukan cara untuk memperkuat supremasi hukum dan membangun iklim investasi yang menarik.

Sekarang, dunia kembali tersentak ketika agen-agen keamanan Saudi dituduh mendalangi pembunuhan brutal dan keji pada Jamal Khashoggi. Keluarga kerajaan terlihat bekerja mati-matian melindungi MBS dari dampak keputusan yang sangat tidak bijaksana iyu.

Sekali lagi, Iran-lah yang kembali menerima manfaat atas kekacauan itu dan memang benar ada banyak masalah di Saudi.

Selain masalah-masalah strategis, persoalan utama Saudi justru terletak pada keputusan impulsif yang bermuara pada tindakan tidak bijaksana dan itu adalah bumerang. Di sisi lain, pembunuhan Khashoggi adalah kejahatan dan itu harus dipertanggungjawabkan oleh semua yang bertanggung jawab. [TGU]