Mudarat Politik Transaksional

Sulindomedia – Mengapa politik transaksional mesti ditolak? Padahal, dalam dunia politik diisi oleh hampir sepenuhnya transaksi. Istilah-istilah dalam politik juga sarat konotasi transaksi, semisal negosiasi yang di dalamnya pasti terjadi tawar menawar layaknya orang bertransaksi: lobI, bargaining position, atau istilah yang populer dalam pilpres dan pilkada langsung belakang ini: kontrak politik.

Idealnya, transaksi politik itu akan menghasilkan kebaikan bagi publik. Kebutuhan nyata dan segera harus segera dipenuhi apabila politisi berharap kemenangan suara. Seperti orang haus lalu ditawarkan air segar, dingin, dan sehat.

Politik transaksional memang sangat sederhana. Pertimbangannya simpel: apa kesepakatan terbaik, termasuk berapa harga terendah, untuk mendapatkan yang baik-baik bagi pemilih. Asumsi-asumsi yang digunakan melulu nilai mustajabnya: apa kebutuhan sekarang, siapa mampu memenuhi, apa yang ia tawarkan, apa yang ia minta dari kita.

Dalam komunikasi model transaksional tersebut, seperti dikenalkan Barnlund (1970), berlangsung proses kooperatif. Politisi dan pemilih sama-sama bertanggung jawab atas dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Mereka juga terus menerus melakukan negosiasi makna atas tawaran-tawaran yang diajukan dalam komunikasi antar keduanya.

Masalahnya, bagaimana bila transaksi dilakukan antar-politisi? Di pasar, transaksi berlangsung antara pedagang dan pembeli. Barang yang dipajang dilirik calon pembeli, lalu ditawar. Bila terjadi kesepakatan barang dibungkus, dan dibawa pulang. Bila kesepakatan tak terjadi, calon pembeli berlalu dan pedagang menawarkan kepada calon pembeli lainnya. Transaksi antarpedagang lazim terjadi antara pedagang kecil dan pedagang besar (antara distributor dan penjual eceran).

Transaksi antar-pedagang besar atau antar-pedagang kecil biasanya hanya terjadi apabila persediaan barang tidak dimiliki namun pelanggan menuntut.

Dalam politik, kesepakatan antar-politisi untuk mewujudkan agenda tertentu yang berkaitan dengan urusan publik mendapat sebutan sendiri-sendiri. Di parlemen, biasanya disebut kaukus. Bila urusannya tak secara langsung berkaitan dengan publik, tapi lebih kepada keuntungan pribadi atau kelompok, maka sebutan yang pas ialah konspirasi.

Sesungguhnya politik transaksional, dalam konteks Amerika Serikat, tengah menghadapi kritik keras. Seorang pengacara progresif yang menjadi senator dari New York State, Eric Schneiderman, mengingatkan beda tegas antara politik transaksional dan politik transformasional. Bila pada politik transaksional diperoleh hasil tawaran bahwa lapangan kerja akan dibuka bagi sejuta orang, maka politik transformasional menganjurkan agar tawarannya bukan untuk semata kali ini.

Tawarannya harus mengenai lapangan kerja sejuta orang setiap tahunnya, agar dalam lima atau sepuluh tahun berikutnya menjadi lebih baik dari hari ini dengan peningkatan progresif. Maka, tawaran program dalam janji kampanye tak hanya diperiksa dalam baris kalimat pendek kandidat, namun peta jalan utuh yang dapat dibaca secara mudah untuk diketahui kemungkinan efektivitasnya.

Di Indonesia, politik transaksional berlangsung di tingkat elit. Transaksi semata-mata hanya terkait pada jabatan-jabatan atau keuntungan pribadi atau kelompok politik.

Tak salah bila pengamat politik menyebut Indonesia bukan bertransformasi menjadi negara demokratis kerakyatan, melainkan menjadi berperilaku oligarki.

Apalagi bila politik transaksional itu sudah melibatkan uang, maka jadilah itu sebagai money politics. Penting dicatat disini, pengertian money politics atau politik uang berkaitan dengan suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk memengaruhi suara pemilih. Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.

Maraknya money politics di negeri ini tak terlepas dari political cost (pembiayaan untuk kegiatan politik) yang makin melonjak dari hari ke hari. Soal political cost yang makin besar itu memang terjadi juga di banyak negara lain, bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Tapi, mereka tak sampai tergelincir money politics, karena ada sistem yang memagari secara ketat. Kita juga harus segera membuat sistem yang ketat, agar money politics di negeri ini tidak kebablasan. Sebab, uang bisa saja mendominasi, tapi uang bukanlah segala-galanya dalam politik. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia]