PNI
Sunario kembali ke Indonesia pada 1926, tinggal di Bandung dan bekerja sebagai advokat di kantor  Mr. Iskaq Cokrohadisuryo dan Mr. Sartono.
Setahun kemudian, 4 Juli 1927, ia menjadi salah satu dari 7 orang, yang mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia). Selain Soekarno dan Anwari (yang lulusan Technische Hooge School), lima pendiri PNI adalah alumnus PI di Belanda (Mr Iskaq Cokrohadisuryo, Mr. Sartono, Mr. Sunario, Mr. Budiarto, dan Mr. Samsi).

Pada 29 Desember 1929 Soekarno beserta 3 orang anggota PNI lainnya (Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, Supriadinata) ditangkap di Jogjakarta dan dibawa ke Bandung untuk diadili. PNI mati suri.

Di Bandung, Sunario juga membantu para pelajar sekolah menengah dan mahasiswa Technische Hooge School (THS) membangun Jong Indonesia (kemudian dikenal dengan Pemuda Indonesia). Jong Indonesia banyak mencontoh azas-azas yang dikembangkan Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan menjadi organisasi yang berperan banyak dalam pelaksanaan Kongres Pemuda II (27-28 Oktober 1928). PadaKongres Pemuda II itu Sunario (bersama dengan Sartono) duduk di kelompok braintrust yaitu sebagai panitia pemikir dan memberi saran-saran.

Sejak  1929-1940 Sunario memperkenalkan dan menyebarkan cita-cita persatuan di luar Pulau Jawa. Awalnya, ia diajak Mr Iskaq yang dihukum Belanda  tidak boleh tinggal di Bandung lagi bersamaan dengan penangkapan Soekarno dan tokoh PNI lainnya.

Di Medan, ia ikut membantu mendirikan sekolah dasar Taman Siswa. Di Ujung Pandang, bersama Mr. Iskaq, ia juga memprakarsai berdirinya perguruan “Taman Siswa” dan “Perguruan Rakyat”.

Pada 1940 ia kembali ke Pulau Jawa. Awalnya di Salatiga dan terpilih menjadi Komisaris Parindra untuk Jawa Tengah. Selanjutnya di Jogjakarta, ia diangkat menjadi pemimpin redaksi “Sedyo Tomo”.
Belanda menyerah pada September 1942, dan Jepang masuk.

Pertengahan September 1943, pemerintah Jepang mengangkat 7 orang untuk dijadikan penasihat (Sanyo) dalam pemerintah militer Jepang. Salah satunya Prof. Dr. Mr. Supomo yang diangkat menjadi Shihobu (Departemen Kehakiman). Sunario juga diangkat sebagai Pegawai Tinggi di departemen itu.

Selain harus bertanggungjawab sebagai pemimpin Sekolah Tinggi Hukum/Sekolah Kehakiman (Shihokanri Yoseijo) yang bertujuan menempatkan hakim-hakim bangsa Indonesia di instansi-instansi pengadilan.

Di luar dinas, Sunario juga mengajar ilmu politik dan tata negara di Asrama Angkatan Baru di Menteng. Pengajaran di Asrama Angkatan Baru bertujuan untuk menyiapkan para pemuda sebagai kader bangsa Indonesia dalam memperjuangkan, merebut, membela, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nama Sukarni, Wikana, Amir Syarifuddin tercatat sebagai murid-murid di situ.

Pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.Pada 29 Agustus dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Mr. Sunario terpilih menjadi anggota KNIP dan juga menjadi anggota Badan Pekerja hingga 3 Desember 1945.

Dalam periode perang kemerdekaan revolusi fisik, ketika ibukota dipindahkan ke Jogjakarta pada 1946-1950, Sunario mengorganisir dan mendidik pemuda-pemuda dari laskar-laskar Ambon dan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).

Pada saat berbarengan, Mr. Budiarto dan Dr. Suharto, Sunario ikut mendirikan Universitas (swasta) Gajah Mada yang kemudian dinegerikan. Beliau juga menjadi Dekan pertama Fakultas Hukum di situ.

Jadi mengapa ia mendapat julukan kalajengking? Fisik Sunario kecil dan tidak tinggi. Juga bukan ahli dalam perkelahian fisik. Tetapi jika ia sudah angkat bicara, argumentasinya selalu mematikan lawan bicara. Ingat petinggi PID sewaktu dijaka berdebar saat Konggres Pemuda II di atas?

Si Kalajengking ini juga penulis buku yang bancar. Salah satu bukunya yang spesial adalah Banteng Segitiga, Buku yang pertama terbit pada 1972 itu adalah satu-satunya buku lengkap dan akurat soal PNI, dari pandangan orang dalam sendiri. Buku itu diterbitkan ulang pada 1988, dan Sunario yang saat itu sudah berusia 86 tahun masih sempat melakukan beberapa koreksi.

Diplomat Pejuang

Selain sebagai pendidik dan ahli hukum, Sunario dikenal luas sebagai seorang diplomat ulung. Pengalaman diplomasinya bermula saat ia ditunjuk menjadi Sekretaris bagian politik Delegasi Indonesia sewaktu menghadapi Belanda dalam periode Kaliurang dan Renville.

Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar ditandatangani pada akhir 1949 dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara  1950, Sunario diangkat menjadi Ketua Seksi Luar Negeri DPR Sementara. Selama masa jabatannya yang tiga tahun, ia selalu membela hak-hak demokrasi parlementer, politik luar negeri yang bebas-aktif,  dan non-blok.
Lalu Sunario diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, pada 1 Agustus 1953. Sejak 1954, ia memimpin delegasi Indonesia di Konferensi “Colombo Plan” di Ottawa, Kanada. Di tahun yang sama setelah membawa kasus dengan Belanda mengenai Irian Barat ke PBB, Sunario  menandatangani perjanjian dengan negeri Belanda– yang waktu itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri Mr. Luns, untuk membubarkan Uni Indonesia-Belanda.

Pada 18-24 April 1955, sewaktu masih Menlu, ia aktif  dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Bertindak sebagai Ketua Delegasi, konferensi  ini menghasilkan “Dasasila Bandung”. Konferensi ini juga menjadi cikal bakal munculnya Gerakan Non-Blok, saat Sunario sudah menjadi Duta Besar di Inggris.

Selama 5 tahun menjabat sebagai Duta Besar di Inggris (1956-1961), Mr. Sunario berhasiL memindahkan kepentingan-kepentingan RI di negeri Belanda ke Inggris, memindahkan tempat penjualan tembakau dari negeri Belanda ke Bremen,dan membuat Inggris lebih netral dalam pertikaian Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat.

Mr Sunario seaktu menjabat Dubes RI untuk Inggris pada 1954, bersama pemimpin Inggris Clement Richard Attlee/wikiwand
Mr Sunario seaktu menjabat Dubes RI untuk Inggris pada 1954, bersama pemimpin Inggris Clement Richard Attlee/wikiwand

Sekembalinya ke Indonesia, ia diangkat menjadi guru besar dalam ilmu politik dan hukum internasional pada 1963 dan dijadikan Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966), lalu ditempatkan di Departemen Perguruan Tinggi di Jakarta hingga tahun 1971. Sunario memberi banyak kuliah tentang ilmu politik dan hukum internasional pada 5 universitas negeri (UI, Undip, Unhas, Unjember, dan Unpad) serta 7 universitas swasta (diantaranya di Unpar, Unnas, Unpan, dll.) hingga akhirnya pensiun pada usia sekitar 90 tahun.

Sebelum pensiun mengajar, Sunario menerima Tanda Penghormatan Mahaputera Adipradana yang diberikan Presiden Soeharto pada 6 Agustus 1985. Ingat, sebelumnya ia juga mendapat penghormatan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan. Perjalanan panjang hidup Sunario yang digunakan untuk mengabdi pada negara  kesatuan Indonesia itu berakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada 18 Mei 1997, dalam usia 94 tahun. Ia berjuang merintis, membela, dan mengisi kemerdekaan. [DS]

* Tulisan ini pertama dimuat pada September 2016