Malam hari itu, masih dalam rangkaian acara Kongres Pemuda II di Jakarta pada 1928, digelar berbagai acara kesenian– salah satunya drama. Seorang perempuan cantik didapuk memerankan “Ibu Pertiwi”, lambang persatuan Indonesia. Gadis asal Minahasa tersebut berdiri di tengah lingkaran, menggunakan baju putih panjang dengan rambut terurai hingga ke tumit, memegang pita-pita merah putih. Pita dwi warna itu menghubungkannya dengan pemuda-pemudi lain yang mengenakan berbagai pakaian daerah.
Pertunjukan malam itu memesona Mr. Sunario, salah seorang pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) yang masa itu sudah terkenal sebagai salah seorang tokoh pergerakan kebangsaan. Tapi, bukan sekadar sandiwara itu yang menarik perhatian Sunario. Ia lantas meminta Mr. Arnold Mononutu memperkenalkannya kepada “Ibu Pertiwi” tersebut.
Sejak dua hari sebelum pertunjukan malam itu, Kongres Pemuda II sempat hendak dibubarkan pemerintah kolonial Belanda. Acara berjalan dengan pengawasan ekstra ketat oleh anggota-anggota Politieke Inlichtingen Dienst (PID), korps intelijen Belanda.
Mr. Dr. Kievit de Jong, Regeringsgemachtigde (Kuasa Pemerintah) sudah di tengah arena dengan pasukan PID-nya dan menolak ketika lagu ‘Indonesia Raya’ akan diulang untuk kedua kalinya. Sebelumnya melodi lagu tersebut dimainkan oleh Wage Rudolf Supratman menggunakan biola dan peserta kongres bersama-sama menyanyikan liriknya.
Untuk menghadapi Kievit, majulah Sunario. Saat itu di sisi lain ruangan kongres, duduklah Dina yang mewakili Jong Minahasa. Gadis itu duduk bersebelahan dengan Arnold dan melontarkan keraguannya terhadap Sunario. Dina berkata, “Apa dia bisa tuh melawan PID? Rasanya dia terlalu muda.”
Arnold menjawab, “Tetapi pemuda itu sangat pandai dan akan menjadi pembela yang tangguh di depan wakil pemerintah Belanda.”
Mr. Kievit dan Mr. Sunario lulusan dari perguruan tinggi yang sama, Universitas Leiden. Terjadilah perdebatan di antara keduanya. Sebagai sesama ahli hukum, keduanya berrgumentasi sangat kencang. Tetapi Kievit harus menanggung malu ketika Sunario mengatakan apa yang diinginkan oleh pemuda Indonesia itu merupakan sesuatu yang sah dan diajarkan oleh Belanda kepada murid-muridnya sendiri. Salah satunya, Sunario mengutip, terdapat lagu yang maknanya mengatakan sudah merupakan tugas seorang anak laki-laki untuk memperjuangkan kemerdekaan negerinya tercinta dan memberikan segala daya upaya untuk negaranya tersebut.
Kongres akhirnya boleh dilanjutkan.
Pada acara ulang tahun Pemuda Sulawesi, beberapa bulan kemudian, diperkenalkanlah Sunario muda dengan Dina Maranta Pantouw, Si Ibu Pertiwi, itu, yang oleh Arnold ditugasi menemaninya selama acara tersebut. Semenjak itulah mereka berdua bersama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan cinta mereka.
Hampir dua tahun kemudian pemuda Jawa dan pemudi Minahasa itu menikah pada 7 Juli 1930. Sunario, yang saat Konggres disebut Dina “rasanya dia terlalu muda”, saat itu berusia 26 tahun.
Dalam cerita Nadhira Nur Aqila, cucu buyut Sunario ( Mbah Buyut Sunario, Seorang Putra Bangsa Bagaikan Kalajengking; 2013), pada malam midodareni, malam sebelum akad nikah, Sunario dan Dina diminta datang ke rumah Mr. Sartono, salah satu pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama Soekarno dan Sunario sendiri. Disana telah hadir M.H. Thamrin, A.K. Pringgodigdo dan tuan rumah. Kemudian diputarlah lagu “Indonesia Raya” sebagai penghormatan kepada kedua calon mempelai yang sangat besar cintanya kepada “negara Indonesia”.
Bung Karno ketika mengetahui mereka akan menikah pun melonjak gembira dan berkomentar: “Baik sekali untuk Indonesia Merdeka!”
Anak Wedana
Sunario adalah sulung dari empat belas anak Wedana Sutejo di Uteran. Sebagai anak pamongpraja, ia mendapatkan pendidikan Belanda terbaik sejak kecil. Ia lahir di Madiun, Jawa Timur, 28 Agustus 1902. Sunario masuk ke Frobelschool atau Sekolah Taman Kanak-Kanak pada tahun 1908. Lalu lanjut ke Europeesche Lagere School (ELS) Madiun.
Saat seusia SMP itu ia sering diajak mengunjungi eyang dari keluarga ibunya di Mojokerto. Di sanalah pertama kalinya ia berkenalan dengan Soekarno, yang hanya setahun di atas umurnya. Sunario mengenang Soekarno sebagai seorang anak yang gagah.
Setelah lulus dari ELS pada 1916, Sunario melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), namun hanya bertahan setahun. Pindah ke Jakarta, Sunario muda melanjutkan ke Rechtschool, sekolah menengah hukum.
Di sinilah Sunario muda bertemu dengan pikiran-pikiran baru, terutama setelah mengikuti organisasi pemuda Tri Koro Darmo (yang kemudian berganti nama menjadi Jong Java). Di Jakarta pula ia mulai berinteraksi dengan pemuda-pemuda dari daerah dan kultur yang berbeda. Mereka saling bertukar pikiran dan membandingkan bagaimana keadaan di daerah asal mereka serta keadaan di luar negeri.
Setelah membandingkan keadaan di dalam dan luar negeri, mereka mulai merasakan kebersamaan bahwa mereka sama-sama dijajah oleh negeri Belanda yang bahkan wilayahnya lebih kecil dari Pulau Jawa.
Munculah cita-cita untuk bersatu dan mengubah keadaan yang buruk itu. Inilah awal Sunario memegang teguh konsep persatuan. Kelak konsep ini dijabarkannya menjadi Indonesia harus menjadi negara kesatuan.
Setelah lulus dari Rechtschool pada 1923, Sunario melanjutkan ke Universitas Leiden di Belanda. Di situ ia tidak diwajibkan mengikuti ujian kandidaat dan langsung dapat mengikuti kuliah-kuliah doktoral. Hanya dalam dua tahun ia meraih gelar Meester in de Rechten (Mr).
Selama di Leiden, Sunario aktif menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia. PI adalah organisasi yang didirikan oleh pemuda-pemuda Indonesia yang berada di Belanda pada 25 Oktober 1908. Awalnya organisasi ini bernama Indische Vereeniging (perkumpulan orang-orang Hindia).
Sejak 1913 tujuan Indische Vereeniging berubah karena kedatangan orang buangan dari negeri jajahan. Ketiga pemimpin Indische Partij itu adalah E.F.E. Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Cipto Mangunkusumo.
Warna politik makin kuat. Pada 1922, Indische Vereeniging mengganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Kegiatan Perhimpunan Indonesia makin mantap ketika nama-nama seperti Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, Iskaq Cokroadisuryo, dan Arnold Mononutu hadir dalam organisas i pertama orang pribumi yang menggunakan nama Indonesia itu. PI juga organisasi pertama yang menyatakan tujuan mereka adalah kemerdekaan Indonesia.
Organisasi itu bahkan sudah menggunakan bendera Merah Putih sebagai lambang,, bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama, memilih konsep negara kesatuan (yang digagas Sunario), dan peci sebagai identitas nasional.