Di masa-masa revolusi selain Bung Karno, orang yang ekstensif ‘menggunakan’ jasa pelacur untuk membantu perjuangan adalah Moestopo.
Mengabaikan latar belakangnya sebagai dokter gigi, Moestopo memadukan kecerdasannya dengan sikapnya yang nyentrik di medan perang.
Bagi gerilyawan republik, nama Moestopo menjadi legenda dengan strategi himizhu zensosen atau perang rahasia dan taktik sengaisen atau perang kota yang nyaris melumat Brigade 49 Inggris di Surabaya tahun 1945.
Taktik perang ala Jepang katam dipelajari Moestopo karena bersama Soedirman dan Gatot Soebroto, ia adalah lulusan terbaik PETA di Bogor tahun 1944.
Di Surabaya, ia juga mengangkat dirinya sendiri sebagai ‘Menteri Pertahanan Republik Indonesia’ saat berhadapan dengan Inggris. ‘Kegilaan’ itu berbuah caci maki Hatta ketika mereka bertemu dan baru reda setelah ditengahi Bung Karno.
“Sekarang saudara Moestopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta.”
“Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad interim, penanggung jawab Revolusi Jawa Timur? Siapa?” tanya Moestopo.
“Saya sendiri…” kata Bung Karno pendek. Setelah memberi hormat secara militer, Moestopo berbalik dan pulang menuju rumahnya di Gresik dan tak pernah lagi terlihat di front Surabaya.
Hanya beberapa bulan menjadi orang kantoran, Moestopo minta kembali ke lapangan dan memimpin sebuah divisi tempur di Yogyakarta. Divisi tempur itu terkenal dengan sebutan ‘Ayam Jago’ yang namanya dicomot dari satuan tempur Inggris ‘The Fighting Cock’ yang sempat menjadi lawannya di Surabaya.
Di kota Yogyakarta, ia juga membangun Pasukan Terate yang terdiri dari kesatuan laskar perjuangan. Di pasukan inilah ia membentuk dua unit pasukan khusus yang diberi nama Barisan Maling (BW) dan Barisan Wanita Pelacur (BWP).
Pasukan Terate sebenarnya buah kerja sama antara Markas Besar Tentara dengan Kesultanan Yogyakarta untuk ‘membersihkan’ Yogyakarta dari laku kriminal dan pelacuran. Ide yang disampaikan Moestopo kala itu benar-benar mengejutkan ngarso dalem.
Ia mengusulkan mengorganisir copet, pelacur dan maling sekaligus memberikan kursus perang. Tak hanya dari sekitar Yogyakarta, ia juga mendatangkan para pelacur dan maling dari Surabaya dan Gresik.
Salah satu instruktur militer yang diminta membimbing adalah Kolonel T.B. Simatupang, temannya satu angkatan.
“Waktu itu saya diajak memasuki suatu ruang pelajaran yang setengah gelap dan di hadapan saya telah berdiri sejumlah perempuan muda yang semua matanya ditutup sehingga saya tak bisa mengenal mereka,” kata Simatupang seperti dikisahkan kepada Sinar Harapan di terbitan 30 September 1986.
Tugas pertama Pasukan Terate datang dari Panglima Soedirman yang mengirim mereka ke Kebumen untuk menghambat gerak maju tentara Belanda pimpinan Jenderal Spoor ke Yogjakarta. Mereka ditugaskan meledakkan semua jembatan sepanjang Kebumen dan Gombong untuk mencegah tank-tank Belanda.
Unit ini mengubah diri menjadi masyarakat sipil termasuk dengan menggelar upacara sekatenan dengan Moestopo menyamar menjadi dukun dengan gobed dan kemenyan. Sementara itu ia juga mengerahkan pelacur untuk menghembuskan isu bahwa dukun itu merupakan titisan dari Diponegoro yang bakal membalas dendam terhadap Belanda.
Kepada mereka yang mendatanginya, Moestopo membekali dengan gobed dan mantra-mantra untuk melawan Belanda.
Tak cuma menyebarkan isu, unit-unit itu juga aktif menyerang Belanda di malam hari dengan cara yang tak ‘terbayangkan’. Mengecat tubuhnya dengan warna hitam serta membiarkan rambutnya terurai bak wewe gombel, sebuah jenis memedi perempuan yang sangat ditakuti di Jawa.
Dianggap sukses menghambat Belanda di Kebumen, unit tempur ini kemudian dikirim ke front Subang di Jawa Barat atau yang dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur.
Di front ini beberapa keterangan menyebut Moestopo menggunakan hingga 2.000 bekas pelacur untuk beroperasi di wilayah pendudukan. Umumnya mereka menjadi mata-mata atau ditugaskan mencuri senjata Belanda.
Sejarawan Robert B. Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949 menulis unit-unit itu juga beroperasi di dalam kota Bandung.
“Tugasnya selain untuk mencuri senjata, pakaian dan alat-alat tempur juga menimbulkan kekacauan dan kebingungan di kalangan tentara Belanda,”tulis Cribb.
Di masa-masa awal operasi, hasil kerja unit-unit ini sangat memuaskan Moestopo. Beberapa hasil curian seperti senjata, pakaian dan teropong atau bendera Belanda yang diturunkan langsung dari tiangnya membuktikan bahwa mereka memang tak kenal takut.
Seiring berlalunya waktu dengan disiplin Barisan Wanita Pelacur yang makin memudar, tak hanya musuh yang menjadi sasaran dan imbas negatif terpaksa dirasakan di wilayah Republik. Penyakit ‘kotor’ yang mestinya ditularkan pada tentara Belanda justru banyak menjangkiti para pejuang.
Di sisi lain Barisan Maling juga tak lagi pilih-pilih dan mulai menyasar rakyat dan basis gerilyawan. Bahkan termasuk koper Moestopo yang berisi baju dan uang raib digasak anak buahnya sendiri.
Kapok dengan kelakuan anak buahnya, beberapa hari kemudian Moestopo menarik unit-unit itu dari front sekaligus membubarkannya.
Saat Moestopo bertemu Bung Karno dan mengisahkan Barisan Maling dan Barisan Wanita Pelacur yang menjadi senjata makan tuan bagi perjuangan Republik, bung besar itu tertawa terbahak-bahak dan langsung mengajaknya makan bersama.[TGU]
*Tulisan ini pernah dimuat pada 27 Juni 2018