Moe’alimin, Pengajian Revolusioner Beraliran Kiri

Koran Sulindo – Surakarta di awal abad ke-20 merupakan pusat aksi-aksi revolusioner. Di kota inilah lahir Sarekat Islam (SI) yang embrionya berasal dari kelompok ronda yang digagas Haji Samanhudi, Rekso Rumekso.

Kelompok itu dibentuk untuk menandingi Kong Sing, yang dipelihara pedagang Tionghoa.

Surakarta kala itu juga sekaligus menjadi pusat gerakan Islam yang revolusioner karena keberadaan Haji Mohammad Miscbah.

Gerakan-gerakan keagamaan tampil dengan cirinya yang revolusioner pengaruh pemikiran-pemikiran kiri. Salah satunya yang paling terkenal adalah Sarekat Moe’alimin atau lebih dikenal sebagai Moe’alimin .

Di Surakarta marxisme dan Islamisme bersekutu atas dasar keprihatinan yang sama atas penindasan kolonial terhadap rakyat banyak. Dengan Islam yang menentang kapitalisme yang menghalalkan praktek riba, penumpukan harta dan pengisapan, di sisi lain marxisme menyediakan analisa tajam yang sanggup menelanjangi kejahatannya.

Moe’alimin merupakan bentuk jamak dari Moe’alim yang secara harafiah berati guru agama. Dari artinya saja sudah jelas menunjukkan bahwa Moe’alimin adalah gerakan misionaris Islam.

Dalam kegiatannya, mereka menggelar pertemuan, pengajian, mempelajari Al-Quran dan Hadis sekaligus menerjemahkannya dalam bahasa Jawa serta menfasirkan artinya sesuai keadaan Hindia Belanda saat itu dalam perspektif ‘ilmu komunis’.

Di sisi lain, karena sifatnya yang revolusioner gerakan ini seringkali dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dianggap hanya sebagai alat partai itu menggalang dukungan muslim putihan di Surakarta.

Belum lagi karena banyak anggota Moe’alimin yang memang bergabung dengan Sarekat Rakyat (SR) Surakarta. Bahkan, sengaja atau tidak Algemene Recherchediesnt menggangap Moe’alimin sebagai cabang tablig Mardi Boesana yang dibentuk untuk menjalankan propaganda komunis.

Klaim Algemene Recherchediesnt itu, selain salah juga sangat serampangan.

Selain sudah ada sebelum PKI dan SR Surakarta dibentuk September 1924, Moe’alimin justru sudah bangkit setelah penangkapan Miscbah Oktober 1923.

Ketika SR Surakarta didirikan banyak propagandis Moe’alimin segera bergabung dan dengan segera menjadi suara mayoritas di komite eksekutif.

Di sisi lain, meski muncul sebagai sekutu kuat PKI dan SR, Moe’alimin tetap mempertahankan otonominya karena secara de fakto mereka memiliki organ sendiri yakni koran Medan Moeslimin.

Revolusioner

Identitas utama dari gerakan Moe’alimin terletak pada pandangan ideologisnya mendasarkan diri pada gerakan ‘Islam Revolusioner’ dan niat ‘memerangi fitnah’ serta sangat terpengaruh tulisan-tulisan Misbach termasuk ‘Islamisme dan Komunisme’.

Dalam artikelnya, Islamisme dan Komunisme Haji Misbach menyebut, “kaum modal memeras kaum buruhnya tiada memandang bangsa dan agama dan tidak ambil pusing wet-wet agama yang musti dijalani orang-orang beragama. Kaum-kaum buruh di mana saja selain mereka sudah mengorbankan tenaganya, fikirannya, ….enz pun mengorbankan agamanya dirusak juga oleh kapitalisme.”

Lagi pula jangan membayangkan Moe’alimin seperti kebanyakan organisasi dalam arti formal.

Ia tak memiliki hoofdbestuur, dana simpanan, kantor, serta pencatatan keanggotan yang rapi. Karena sifatnya lebih mirip pengajian, setiap orang bebas datang atau pergi dalam setiap pertemuan Moe’alimin.

Selain itu karena berwatak religius, kelompok ini tak pernah mendapat kesulitan dan rongrongan polisi.

Tanpa diusik polisi, walau hanya memiliki sedikit propagandis –hanya 30-40- Moe’alimin segera populer dan makin menarik minat kaum muslim putihan.

Karena sifat gerakannya, tak ada cara pasti untuk mengetahui seberapa banyak orang yang secara teratur menghadiri pertemuan Moe’alimin.

Namun wakil penasihat urusan bumiputra R.A. Kern menyebut, Muhammadiyah afdeling Surakarta banyak kehilangan pengikut karena anggotanya bergabung kepada Moe’alimin.

Ditekan

Belakangan ketika pemerintah Hindia Belanda mulai menekan dan memperketat pengawasan terhadap aktivitas kaum komunis, propagandis Moe’alimin justru makin sering mengadakan pertemuan.

Sepanjang Desember 1925 sampai Januari 1926 pertemuan-pertemuan itu diadakan hampir setiap malam. Khusus malam Jumat, pertemuan serentak diadakan di berbagai tempat.

Meskipun acara utamanya adalah mengaji Al-Quran dan hadis, meningkatnya aktivitas itu segera mengudang perhatian polisi. Pemerintah mulai menganggap pertemuan Moe’alimin sebagai pertemuan SR.

Perkembangan terbaru itu membuat bupati memperingatkan pemimpin Moe’alimin seperti Ahmad Dasoeki, Atmosoekato dan Rochani agar hanya membahas diskusi-diskusi tentang agama. Sang bupati juga mengancam akan mengirim polisi jika hal-hal komunis dibicarakan.

Agen-agen polisi akhirnya memang benar-benar mendatangi setiap pertemuan Moe’alimin dan untuk pertama kalinya membubarkan pertemuan pada tanggal 17 Januari 1926 karena dianggap membicarakan prinsip-prinsip PKI.

Pengunjung yang hadir tidak melawan perintah polisi dan dengan tertib meninggalkan tempat pertemuan, sambil menyanyikan lagu Internasionale.

Bukannya mengendor, pembubaran itu justru makin merangsang propagandis Moe’alimin untuk makin giat menggelar pertemuan. Tentu saja polisi makin rajin mendatangi pertemuan, mencatat pembicaraan dan menghentikan pidato ketika pembicara mulai menyebut kata-kata ‘revolusioner’ dan ‘komunisme’.

Tentu saja, terus menerus di awasi para propagandis Moe’alimin melihat polisi sebagai penghalang aktivitas pengajian mereka. Mereka mulai menyebut polisi sebagai “penghalang yang harus dilawan dengan seluruh kekuatan kita.”

Ketika polisi mulai mengirim lebih banyak agen untuk mengintimidasi hadirin yang hadir, propagandis Moe’alimin berhenti mengadakan pertemuan-pertemuan besar. Mereka menggantinya dengan pertemuan kecil yang dihadiri oleh 30-50 orang, tapi secara bersamaan diadakan di banyak tempat.

Sebuah laporan polisi tentang salah satu pertemuan Moe’alimin pada tanggal 24 Januari 1926 menyebutkan Dasoeki berorasi, “Seperti Haji Misbach yang dibuang itu baik sekali karena menetapi agama Islam. Sewaktu-waktu saudara jangan takut atau jangan khawatir kalau ada perang sabil. Reserse-reserse yang telinganya saban hari dikoroki, tetap saja tidak punya perasaan.”

Masih dari laporan polisi-polisi yang hadir, pidato Daoeki itu segera disambung oleh Salamun yang menunjukkan kain mori putih dengan gambar cap palu arit. “Saudara-saudara jangan bubar dulu. Inilah kita punya gambar. Betul apa tidak saudara-saudara?”

Penangkapan

Makin banyak pertemuan yang digelar Moe’alimin akhir Januari itu bagaimanapun membuat polisi makin kelihatan tidak berdaya. Residen Surakarta pada tanggal 1 Februari akirnya mengusulkan kepada pemerintah untuk menolak hak berkumpul bagi Mardi Boesono dan cabang tablignya, yaitu Moe’alimin.

Residen juga memerintahkan tindakan lebih keras, bahkan jika perlu menangkap propagandis Moe’alimin sekaligus menghentikan pertemuan dengan paksa.

Perintah itu dengan segera makan korban. Orang pertam yang diciduk polisi adalah Salamoen atas tuduhan spreekdelicten, menyusul kemudian K.H Mawardi dan beberapa propagandis Moe’alimin pada tanggal 2 Februari.

Polisi bertambah waspada tak hanya pada pertemuan-pertemuan Moe’alimin, namun juga pada semua bentuk pertemuan agama.

Mereka mendatangi langgar-langgar, masjid, sekolah-sekolah setiap malam dan bertanya kapanpun setiap melihat orang berkumpul untuk sembahyang atau mengaji.

Kadang-kadang polisi memerintahkan orang-orang yang berkumpul itu pulang atau meminta mereka mengajukan izin kepada penguasan sebelum berkumpul. Polisi bahkan juga mengincar acara darusan di langgar atau masjid.

Intervensi polisi yang sewenang-wenang dan kasar itu memicu kegeraman tak hanya dari pengikut Moe’alimin saja. Bahkan, Persatoean Ra’jat sebuah koran non-komunis mengomentari dengan sengit intervensi polisi yang kebablasan itu dengan menyebut satu-satunya yang belum dilakukan polisi hanyalah menyita Al-Quran,

Ketika tanggal 18 Februari 1926 polisi menangkap tiga propagandis terkemuka Moe’alimin yakni Oesmoeni, Atmosoemarto, dan Rochani ditangkap atas tuduhan spreekdelicten desas-desus segera menyebar di kota. Moe’alimin berencana menggelar demonstrasi untuk memprotes penangkapan itu.

Keesokan harinya, bertepatan dengan hari Jumat 10.000 orang datang ke masjid kauman untuk sembahyang. Jumlah itu tiga kali lipat dibanding jumlah biasanya. Banyak dari mereka yang tidak bisa masuk ke masjid dan bersembahyang di pelataran yang dijaga sangat ketat oleh polisi.

Tak hanya mengerahkan rechercheurs dan kekuatan algemene polisi yang dipersenjatai dengan senapan dan pedang, pemerintah juga mengirim polisi lapangan berkuda dan mobil.

Selesai sembahyang Jumat, didahului oleh permpuan dan anak-anak puluhan ribu orang itu bergerak menuju penjara Surakarta dengan mengumandangkan zikir.

Ketika polisi memerintahkan agar mereka membubarkan diri, perintah itu segera dicemooh dan diabaikan. Mendekati kantor asisten residen, polisi mulai bertindak. Pasukan berkuda dan mobil menyerbu barisan demonstran, menembakkan senapan ke udara dan mengayunkan pedang. Demonstrasi itu berhenti setelah 15 menit perkelahian kecil.

Bagaimanapun demonstrasi itu merupakan jenis yang pertama diadakan di Surakarta, sekaligus menandai akhir gerakan Moe’alimin. Pada hari yang sama, polisi menangkap Ahmad Dasoeki, Wiromartono dan dua propagandis Moe’alimin lainnya, penangkapan berlanjut hingga akhir Februari dan awal Maret.

Ketika pengadilan kepada mereka mulai digelar April-Agustus, penguasa mencela para terdakwa sebagai komunis atas nama rust en orde. Pemerintah berdalih mereka terpaksa bertindak karena kaum komunis menyimpangkan pertemuan agama untuk menentang penguasa dan mengancam ketertiban.[TGU]