Mewaspadai Pemunculan Kembali Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI digagas Jenderal AH-Nasution dengan nama Jalan Tengah, dan berjaya di era Presiden Soeharto. (sumber foto: bombastis)

Dwifungsi ABRI sebetulnya sudah terkubur sejak masa Reformasi yang digerakkan mahasiswa dan masyarakat sipil pada 1998. Ia telah dihapuskan, setelah dikritik habis-habisan oleh berbagai komponen masyarakat. Tak boleh lagi ada serdadu yang ditempatkan menjadi pejabat sipil.

Tapi kini sejumlah pihak menuduh pemerintah hendak menghidupkan lagi Dwifungsi ABRI melalui rencana penempatan personil TNI/Polri sebagai pejabat. Ratusan kepala daerah akan habis masa jabatannya sebelum Pilkada serentak 2024, dan mereka tentu harus diganti.

Tercatat, 272 daerah yang akan menjalankan Pilkada pada 2024. Artinya, peluang pemerintah menunjuk polisi dan tentara aktif sebagai penjabat kepala daerah sangat besar, sebagaimana diwacanakan. Tapi, ini ditentang banyak pihak karena penunjukan itu dianggap sebagai bentuk lain Dwifungsi ABRI.

Pada era Orde Baru, kekuatan militer pernah digunakan untuk menjaga keamanan negara dan memegang kekuasaan mengatur negara, atau yang lebih dikenal dengan istilah Dwifungsi ABRI. Semula, konsep ini bernama “Jalan Tengah” yang diusulkan Jenderal AH Nasution ke Bung Karno.

Saat peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah, 13 November 1958, Nasution mengusulkan konsep “Jalan Tengah”. Tujuannya, memberikan peluang bagi militer berperan secara terbatas di dalam pemerintahan sipil, agar terjadi keseimbangan dan penguatan pemerintahan serta stabilitas keamanan.

Tapi, lambat laun Presiden Soeharto memperluas konsep “Jalan Tengah” untuk digunakan sebagai pembenaran militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan. Dia menempatkan orang-orangnya dari kalangan militer aktif untuk secara organisatoris menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan dan perlemen.

Melalui konsep yang kemudian dikenal dengan Dwifungsi ABRI, Soeharto menaruh orang-orangnya menjabat mulai sebagai menteri, gubernur, bupati, wali kota, hingga masuk ke dalam parlemen sebagai utusan khusus. Atas nama Dwifungsi ABRI, di parlemen Senayan dibentuk sebuah wadah tersendiri bagi utusan militer, disebut Fraksi ABRI/TNI.

Kekuatan militer pada masa Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto semakin besar dengan berdirinya Partai Golkar pada tahun 1964, di akhir kepemimpinan Presiden Sukarno. Partai Golkar saat itu didirikan dengan maksud untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kehidupan politik di Indonesia.

Kekuatan militer dalam urusan politik dan pemerintah makin menguat setelah kemenangan Partai Golkar dalam Pemilu pertama tahun 1971. Kemenangan ini diulang hampir lima kali dalam pemilu di masa Orde Baru. Maklumlah, kebijakan-kebijakan Soeharto sangat mendukung kemenangan Partai Golkar, meski dengan cara penyingkiran partai lain lawannya.

Namun, kekuatan Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan pupus dan habis menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Berbagai kritik yang disampaikan kalangan masyarakat sipil menganggap Dwifungsi ABRI bertentangan dengan prinsip demokrasi. Akhirnya melalui rapat 2000, pimpinan ABRI sepakati menghapus doktrin ini dimulai usai Pemilu 2004.

Penghapusan Dwifungsi ABRI menyebabkan pelarangan tentara ikut campur dalam urusan pemerintahan maupun politik. Jika ingin terjun ke dunia politik atau jabatan sipil, tentara diminta keluar terlebih dahulu dari jabatan resminya di ABRI/TNI. Hanya mantan militer atau orang militer tak aktif yang boleh menduduki jabatan sipil.

Jelang Pemilu 2004, mantan jenderal TNI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkomitmen keluar dari militer dan mendirikan Partai Demokrat. Dia pun terpilih menjadi Presiden RI, seraya menegaskan tentara sangat berbahaya jika masuk ke politik praktis. Sebagai seorang mantan militer, dia tak memberi peluang Dwifungsi ABRI kembali terjadi.

Meski penghapusan Dwifungsi ABRI telah berlalu selama belasan tahun, namun isu-isu TNI berpolitik terus menjadi perbincangan masyarakat. Mereka mewaspadai rencana pemerintah menempatkan anggota TNI, bahkan Polri, sebagai pejabat sipil menggantikan kepala-kepala daerah yang akan habis masa jabatan mereka sebelum Pilkada 2024. [AT]