Cetbang yang digunakan pada armada maritim Majapahit ukurannya bervariasi antara 1 hingga 3 meter. Cetbang yang berukuran 3 meter bisasanya ditempatkan di kapal-kapal perang Majapahit yang disebut Jong Majapahit. Panglima angkatan laut Majapahit yang terkenal menggunakan meriam Cetbang adalah Mpu Nala. Kesohoran Mpu Nala pada masa Majapahit diketahui melalui Prasasti Sekar, Prasasti Manah I Manuk (Bendosari), Prasasti Batur, Prasasti Tribhuwana dan Kakawin Negarakeragama yang menyebutnya sebagai Rakryan Tumenggung (panglima perang). Dalam Kakawin Negarakertagama, Mpu Nala mendapat gelar “Wiramandalika”. Gelar ini disematkan karena jasanya kepada perluasan wilayah Majapahit. Dalam Wirama 72 bait 2-3 disebutkan bahwa ia sebagai keturunan orang cerdik yang mampu menghancurkan musuh di Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Cetbang dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar. Cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut Penjajap dan juga Lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke-17, prajurit laut Nusantara bertempur di panggung kapal yang biasa disebut Balai dan ditembakkan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot yang membuat meriam ini sangat efektif menghancurkan musuh.

Pada masa memudarnya kekuasaan Majapahit, banyak dari ahli meriam perunggu yang tidak puas dengan kondisi di kerajaan Jawa dan lari ke Sumatera, Semenanjung Malaya dan kepulauan Filipina. Hal ini berakibat meluasnya penggunaan meriam Cetbang, terutama pada kapal dagang untuk perlindungan dari bajak laut di sekitar Selat Makassar. Penggunaan meriam menjadi hampir menyeluruh di kepulauan Nusantara.

Menurut catatan Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang Kepala Kampung. Orang-orang Jawa di Malaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang. Meriam Cetbang Majapahit tetap digunakan dan dilakukan improvisasi pada zaman Kesultanan Demak, terutama pada invasi Kerajaan Demak ke Malaka. Bahan baku besi untuk pembuatan meriam Jawa tersebut diimpor dari daerah Khurasan di Persia utara, terkenal dengan sebutan Wesi Kurasani.

Saat Portugis datang ke wilayah Nusantara, mereka menyebutnya sebagai Berço, istlah yang juga digunakan untuk menyebut meriam putar isian belakang (beech-loading swivel gun), sedangkan orang Spanyol menyebutnya sebagai Verso. Pada masa setelah Majapahit, meriam turunan Cetbang di nusantara (terutama di daerah Sumatera dan Malaya) umumnya terbagi dalam dua tipe, yaitu Lela dan Rentaka.

Saat ini beberapa meriam cetbang tersimpan di: Museum Bali; Metropolitan Museum of Art, Amerika Serikat; Museum Luis de Camoes, Makau; Museum Talaga Manggung, Majalengka; Dusun Bissorang, Kepualauan Selayar, Sulawesi Selatan dan di beberapa lokasi lain. [GAB]