Cetbang, meriam canggih warisan Majapahit

Tidak hanya bambu runcing, ternyata banyak juga jenis senjata buatan nenek moyang kita pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara dahulu yang digunakan untuk mempertahankan diri dari penjajahan. Salah satu contohnya adalah meriam Cetbang yang dibuat dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293-1527 M).

Dahulu, kerajaan Majapahit diperkirakan mendominasi Nusantara karena keahlian dan teknologi unik menempa perunggu, serta keahlian produksi massal – melalui industri rumahan – yang digabungkan ke gudang persenjataan utama. Kerajaan Majapahit menjadi pelopor pembuatan dan penggunaan senjata api secara massal, sehingga menjadi bagian penting dari peperangan. Penggunaan meriam umum digunakan oleh armada laut kerajaan Majapahit, dan pada akhirnya juga dipakai oleh para bajak laut serta kerajaan pesaing di Nusantara.

Sebelumnya, teknologi senjata bubuk mesiu diperkirakan masuk ke Majapahit pada saat invasi tentara Kubilai Khan dari Tiongkok di bawah pimpinan Ike Mese yang bekerjasama dengan Raden Wijaya saat menggulingkan Kertanagara pada tahun 1293. Saat itu, tentara Mongol menggunakan meriam ketika menyerang pasukan Daha.

Sang panglima perang Majapahit, Gajah Mada, suka sekali mempelajari banyak teknologi dari banyak kawasan. Berbekal dari kepandaiannya dalam menggali berbagai teknologi ini, Gajah Mada akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah rancangan senjata hebat selain keris yang sakti. Dia merancang sebuah senapan dengan tingkat kerusakan besar jika disulut dengan api. Selain ahli strategi perang, Gajah Mada pun ahli dalam bidang persenjataan. Dia menguasai banyak teknik pembuatan senjata sehingga akhirnya Cetbang berhasil diciptakan.

Awalnya apa yang dilakukan oleh Gajah Mada tidak begitu diminati oleh raja ke-2 Majapahit. Meski demikian dia tetap berusaha melakukannya dengan sebaik-baiknya. Saat Tribuana Tunggadewi menjadi raja ketiga Majapahit, keinginan dari Gajah Mada itu menjadi kenyataan. Terlebih dia diangkat menjadi mahapatih sehingga keinginan membuat senjata didukung dengan penuh oleh sang raja.

Karena Cetbang sangat berguna dalam perang serta raja terkesan dengan reputasi Cetbang, Gajah Mada diberi mandat untuk membuatnya dalam jumlah banyak. Selain itu, ukuran dari Cetbang juga dibuat dalam aneka jenis, mulai dari yang panjangnya 1 meter hingga panjang 3 meter. Semua disesuaikan apakah senjata akan dibawa secara personal oleh beberapa orang prajurit atau diletakkan pada armada kapal laut dan gerobak perang.

Berbeda dengan meriam eropa dan timur tengah pada umumnya, cetbang terbuat dari perunggu dan memiliki kamar dan tabung peluru di bagian belakang. Oleh karena itu Cetbang juga disebut “meriam Coak” yang berarti meriam terbuka/ terkuak dalam bahasa Betawi. Pada prasasti Sekar disebutkan Cetbang diproduksi di Rajekwesi, Bojonegoro, sedangkan mesiu utamanya diproduksi di Swatantra Biluluk.