Asing di Masyarakat

Tidak hanya Ali, nama Surachman juga tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahuinya. Sosok Surachman, menurut Joel Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi, lahir di Yogyakarta, 25 Agustus 1926. Ia mendapat gelar insinyur pertanian dari Universitas Gadjah Mada pada 1961. Semasa mahasiswa, Surachman sudah aktif di organisasi Petani, organisasi massa yang menjadi onderbouw PNI. Pada tahun 1957, ia terpilih menjadi anggota DPRD Yogyakarta. Dua tahun kemudian, Surachman terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Petani. Ia dikenal sebagai pekerja keras, meskipun sifatnya cenderung pemalu.

Bersama dengan Ali, Surachman memimpin PNI menjadi partai terbesar pada masa 1960-an. Ia menjabat sebagai sekjen partai. Ia juga disebut sebagai orang di balik pengerahan massa memperingati milad PNI pada Juli 1965. Pada waktu itu, Surachman juga menjabat sebagai Menteri Irigasi Rakyat.

Setelah peristiwa G30S meletus, Surachman menjadi salah satu target yang diincar Jenderal Soeharto. Nasibnya berakhir tragis. Ia ditangkap saat tentara menggelar operasi militer di Malang Selatan dan Blitar pada Juli 1968.

Ia terluka hebat karena disiksa ketika diinterogasi. Tak lama kemudian, ia meninggal dunia menjelang umur 42 tahun.

Menarik membahas mengapa kedua tokoh yang menjadi contoh dari sekian banyak pejuang yang dilupakan dari sudut keilmuan sejarah. Sebuah jurnal berjudul Memahami Kontroversi Sejarah Orde Baru pada 2001, sejarawan Anhar Gonggong menuliskan, sejarah memang unik. Tidak saja karena bersifat einmalig, sekali terjadi dan karena itu tidak berulang, melainkan karena sejarah adalah bagian dari kehidupan serta keberadaan kita.

Sejarah karena itu “dirasakan” amat dekat dengan kita sehingga “setiap kita merasa berhak untuk berkata tentangnya”. Jika ini benar, adanya pelbagai tanggapan yang diberikan anggota masyarakat terhadap pelbagai peristiwa setelah pemerintahan Soeharto lengser adalah teramat wajar. Reaksi itu menampakkan adanya kesadaran sejarah dalam arti kedudukan sejarah di dalam kelangsungan kebersamaan kita, yang ada di kalangan masyarakat tetap tinggi.

Anhar mengatakan, adanya kontroversi di dalam pengungkapan peristiwa sejarah sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh dan memang bisa terjadi. Kontroversi itu bisa terjadi karena beberapa hal yang memungkinkan.

Pertama: persoalan metodologi–sumber. Kedua: sudut pandang pribadi. Ketiga: politik–kekuasaan. Berkaitan dengan sejarah di masa rezim Soeharto dan mengapa kedua tokoh tersebut menjadi terlupakan, ya, karena politik–kekuasaan ini.

“Politik–kekuasaan sangat berkepentingan untuk mengambil sejarah sebagai alat penopangnya, untuk kepentingannya. Ini terjadi karena sejarah adalah hamparan yang terbuka untuk digunakan sebagai alat legitimasi dari politik dan kekuasaan,” kata Anhar.

Seperti Anhar, sejarawan Asvi Warman Adam dalam jurnal Kontrol Sejarah Semasa Orde Baru pada 2001 mengatakan, pengendalian sejarah dapat dilakukan dengan penambahan unsur tertentu dalam sejarah. Dengan kata lain, penambahan unsur-unsur tertentu itu akan mengurangi peran dari tokoh-tokoh lain seperti Ali dan Surachman itu. Karena itu, pernyataan Bung Karno menjadi benar-benar relevan. Sudahkah kita menjadi bangsa yang besar? [KG]