Motor Konferensi Asia-Afrika
Di samping itu, suami Titi Roelia itu dikenal sebagai “sutradara” Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 di Bandung, Jawa Barat. Bermula dari Konferensi Kolombo pada Mei 1954, Ali sebagai Perdana Menteri (PM) Indonesia berbicara di hadapan lima PM negara lain, yaitu India, Burma (Myanmar), Pakistan, dan Sri Lanka. Dalam satu pidatonya, Ali mengajukan sebuah pertanyaan retoris: “Di mana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?”
Pertanyaan itu lantas dijawab sendiri oleh Ali. Ia mengatakan, Asia sekarang berada di persimpangan jalan sejarah umat manusia. Indonesia karena itu, kata Ali, menganjurkan agar membuat pertemuan yang lebih luas antara negara-negara Asia dan Afrika. Apalagi, masalah yang dihadapi berbagai negara yang hadir pada waktu Konferensi Kolombo juga dihadapi negara-negara lain di Asia dan Afrika.
Konferensi itu merupakan jejak gemilang diplomasi Ali di tingkat internasional. Terlebih, ia sendiri mencoba meyakinkan negara-negara seperti Burma, India, Pakistan, dan Sri Lanka.
Awalnya, keempat PM negara-negara yang hadir di Konferensi Kolombo itu sangsi akan gagasan Ali. Mereka mustahil mempertemukan negara-negara bekas jajahan dari dua benua.
Ali tak patah arang. Ia dengan gigih melobi keempat PM negara-negara tersebut. Dan karena itu, usulan Ali masuk menjadi kesepakatan konferensi walau menjadi keputusan yang paling akhir serta tidak dianggap serius.
Bersama dengan Menteri Luar Negeri Soenario, Ali rajin melobi satu demi satu negara yang ingin diundang dalam KAA. Sebagian besar menyambut baik usulan Ali.
Setelah lobi sana-sini, Ali kembali mengumpulkan lima pemimpin sebelumnya di Konferensi Kolombo pada Desember 1954. Meski sempat terjadi perdebatan, Ali lagi-lagi mampu meyakinkan para pemimpin tersebut untuk menyelenggarakan KAA. Mereka lalu sepakat mengundang 25 negara dan menetapkan waktu KAA. Begitulah sekilas kerja keras Ali sebagai PM untuk menyelenggarakan KAA 1955.