Ilustrasi/warscapes.com

Koran Sulindo – Bung Karno pernah mengatakan: “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri yang akan dapat berdiri dengan tegaknya”.

Nasib yang dimaksud Bung Karno adalah nilai-nilai keindonesian kita sebagai bangsa. Keindonesiaan merupakan landasan utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan menekankan pentingnya sikap keindonesiaan itu dapat diandaikan pada dasarnya menempatkan aspek ini sebagai elemen dasar bagi tumbuhnya demokrasi dan keadilan sosial di negeri ini. Dengan kata lain, demokrasi dan keadilan sosial hanya dapat tumbuh secara sehat apabila landasan keindonesiaan itu telah kokoh terlebih dulu. Dengan demikian, di antara ketiga nilai yang dianutnya itu, keindonesiaan menempati posisi sentral.

Penting dicatat, nilai-nilai keindonesiaan tidak dibangun atas dasar klaim identitas sosial-budaya agama tertentu. Kelahiran dan pertumbuhannya lebih didasarkan atas perkembangan historis yang terkait dengan kolonialisme asing di bumi Nusantara yang berlangsung lebih dari tiga abad lamanya. Karena itu, keindonesiaan merupakan jawaban dialektis-historis yang muncul dari sistem kolonial yang eksploitatif versus cita-cita kemerdekaan nasional. Keindonesiaan, dengan demikian, merupakan manifestasi dari perasaan senasib dan sependeritaan manusia yang hidup di bumi Nusantara.

Atas dasar itu, dalam nilai keindonesian sudah dengan sendirinya terkandung semangat yang menghendaki adanya perekat yang dapat merajut kebhinekaan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dari sisi ini, maka nilai keindonesiaan pada dasarnya identik dengan konsep Bhineka Tunggal Ika. Konsep ini sendiri mengandung pengertian bahwa keindonesian memang tidak ditujukan untuk mengeliminasi kebhinekaan di bumi Nusantara, melainkan justru mengakui dan menerimanya dengan tulus sebagai sebuah kenyataan sosial.  Keindonesiaan adalah sebuah kenyataan sosial di mana dirinya menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Tapi, hari-hari ini kita menyaksikan komitmen keindonesiaan itu menghadapi tantangan yang hebat. Padahal, disadari bahwa pertaruhan bagi keutuhan dan kelestarian bangsa antara lain terletak pada seberapa jauh komitmen keindonesiaan dapat dipertahankan secara konsisten oleh setiap warganegara.

Kita pantas mencermati bahwa seiring dengan beberapa kemajuan, era reformasi yang ditandai dengan semakin terbukanya ruang artikulasi publik—termasuk untuk mengekspresikan diri ke dalam bentuk politik identitas itu—itu bukannya tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi nilai keindonesiaan yang pada hakikatnya bersifat multikultural. Bersamaan dengan proses otonomisasi/desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik.

Di sisi lain, Indonesia pasca Orde Baru juga ditandai oleh mengerasnya politik identitas, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Sejumlah peristiwa kekerasan sosial yang mengatasnamakan agama dan suku terjadi silih-berganti di tanah air sejak beberapa tahun belakangan ini. Bahkan kekerasan komunal itu telah muncul dalam bentuk teror yang mengerikan. Tak terhitung lagi berapa jumlah kerugian harta benda dan jiwa dalam rangkaian peristiwa tersebut. Kerukunan berbangsa menjadi terkoyak karenanya.

Saat ini toleransi sosial terasa melemah. Situasi ini kerap diikuti dengan kesalingtidakpercayaan dan prasangka antar elemen masyarakat. Hal ini agaknya jauh berbeda dengan sifat-sifat dasar dan budaya masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan kerukunan, harmoni dan kegotongroyongan. Transisi politik yang terus mencari bentuk serta berbagai bentuk ketidakadilan boleh jadi ikut menyuburkan sikap-sikap intoleran dan kekerasan di masyarakat sejak beberapa tahun belakangan ini.

Gejala semacam itu sesungguhnya mencerminkan bahwa nilai-nilai keindonesiaan tengah menghadapi tantangan yang luar biasa beratnya—sekalipun mayoritas masyarakat Indonesia pada dasarnya masih setia pada nilai-nilai kebangsaan.

Generasi perintis, founding fathers, telah memberikan contoh berharga. Di tengah sistem penindasan kolonial mereka sanggup secara kreatif mengupayakan apa yang beberapa dasawarsa kemudian kita namakan sebagai ‘Indonesia’. Karenanya, adalah suatu yang ironis jika generasi pewaris mengoyaknya hingga ke titik yang membahayakan keutuhan berbangsa.

Bangsa Indonesia pada dasarnya telah memiliki modal dasar yang cukup kokoh. Tradisi hidup rukun, toleran dan bergotong-royong dapat dijadikan sebagai titik-tolak untuk memulai sebuah rangkaian dialog kreatif dalam rangka ‘menemukan kembali’ (rediscovery) nilai-nilai keindonesiaan yang dapat diterima oleh semua kalangan. Khasanah budaya ini diharapkan akan ikut menyertai proses perbincangan kreatif tentang keindonesiaan.

Proses menjadi bangsa (being nation) memang masih harus menempuh perjalanan panjang. Namun, demikian jalan dialog dalam ruang diskursif yang terbuka dan tanpa prasangka jauh lebih bermartabat untuk merekonstruksi ulang keindonesiaan ketimbang menempuh jalan adu otot—apalagi adu senjata.

Sudah saatnya kita, sebagai bangsa, bergerak bersama untuk merawat keindonesiaan. [Imran Hasibuan]