Ilustrasi

Koran Sulindo – Tuan dan puan jangan meremehkan imajinasi.

Imajinasi, tentunya juga empati akan nasib rakyat terjajah HindiaBelanda, yang menggerakkanTan Malaka menulis brosur Menuju Republik Indonesia, di tahun 1925. Dalam bagian akhir brosur itu, Tan Malaka menulis:

“Kepada kaum intelek kita serukan!

Juga golonganmu tak akan lepas dari penderitaan. Akan datang satu masa, bahwa kapitalisme kolonial yang sekarang masih dapat mempergunakan tenagamu, akan membuat kaum-mu seperti sepah yang habis manisnya.…

Tak terdengarkah olehmu teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras? Tak terlihatkah olehmu, bahwa mereka pelan-pelan melangkah maju dalam perjuangan yang berat?

Apakah kamu akan menunggu sekian lama, sampai nanti kemerdekaan direbut oleh mereka sendiri, sedang kamu pasti akan ikut menikmati buah kemenangan mereka dengan nyaman? Tidak, sebegitu lesu dan sebegitu rendah tentu akan ada padamu. Karenanya bergabunglah kamu pada barisan kita! Tetapi segera, tinggalkan kasta-mu kelak juga dapat berkata dengan bangga : “ saya ikut membantu merebut kemerdekaan”.

Dalam taufan revolusioner yang mendatang kamu akan belajar mengenai massa Indonesia dalam kemampuan dan kekurangannya, dalam kekuatan dan kelemahannya. Di sana kamu akan mendapatkan kesempatan menggunakan kemampuan moral dan intelek-mu untuk memperlancar jalan revolusi. Di sana kamu akan menginsyafi bagaimana nyamannya melaksanakan pekerjaan sosial dan berjuang untuk dan dengan massa. Di sana kamu akan merasa bagaimana sunyinya hidup secara individual dalam masyarakat kapitalistis.

Jika nanti kita mengharapkan, juga bantuanmu, kota-kota dan desa-desa di pantai-pantai dan gunung-gunung Indonesia yang luas berkobar-kobar untuk menuntut hak dan kemerdekaan, maka tak seorang musuh di dunia yang mampu menahan gelombang taufan revolusioner.

Dalam suasana Republik Indonesia merdeka, tenaga-tenaga intelek dan sosial akan berkembang lebih cepat dan lebih baik. Kekayaan yang maha besar yang diperoleh dengan pekerjaan Indonesia akan tinggal di negeri sendiri. Ilmu pengetahuan yang dikendalikan dan diperkosa yang sekarang dipergunakan untuk keuntungan lintah-lintah darat Belanda, nanti akan dapat berkembang dan akan dapat dipergunakan bagi kepentingan masyarakat Indonesia. Kesenian dan perpustakaan akan baru mendapatkan tanah untuk bertumbuh. Lebih pasti dan lebih cepat Indonesia akan bangkit di lapangan ekonomi, sosial, intelek dan kebudayaan.”

Brosur itu kemudian beredar di kalangan kaum pergerakan kebangsaan. Dibaca dan memberikan inspirasi, lantas melahirkan karya-karya imajinatif lainnya—termasuk   Indonesia Merdeka—pleidoi Mohammad Hatta di depan pengadilan Belanda di tahun 1928, serta Indonesia Menggugat—pembelaaan Bung Karno di depan Landraad Bandung di tahun 1930.

Menuju Republik Indonesia, bersama banyak lagi karya imajinatif kaum pergerakan lainnya, yang menginspirasi tonggak-tonggak penting dalam sejarah pergerakan kebangsaan, antara lain: Sumpah Pemuda (yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928), pembentukan partai-partai politik, penerbitan ratusan surat-kabar di penjuru negeri.

Selanjutnya, tak hanya para pemimpin atau elit pergerakan yang tercerahkan, tapi juga kaum awam. Pelahan tapi pasti terbentuklah nasion atau bangsa, yang dikonsepkan Ben Anderson sebagai “an imagined political community”. Nasion yang dipahami disini adalah: “….adalah sesuatu yang terbayang, karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan tidak akan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka”.

Meski tanpa saling mengenal, warga terjajah di Hindia Belanda, dipersatukan oleh imajinasi bahwa mereka senasib-sependeritaan. Di masa ini, imajinasi sepenuhnya menghidupi politik. Imajinasi itulah, Bung Karno menyebutnya sebagai “bangunan rasa hidup”, yang menggerakkan segenap anak bangsa untuk memerdekakan negeri ini, yang muaranya adalah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Sialnya, dalam politik Indonesia hari-hari ini imajinasi seperti itu seperti tak berjejak. Yang menghidupi politik Indonesia hari-hari ini adalah intrik dan tipu-daya tak berkesudahan. Karena itu, politik di negeri ini sedang sekarat! [Imran Hasibuan]