Koran Sulindo – Jika AS menyabotase perjanjian nuklir Iran dengan terang-terangan, di Semenanjung Korea mereka melakukannya dengan ‘akal bulus’.
Tindakan AS di Korea menjadi rencana paling bodoh dan jahat yang bisa dilakukan gerombolan neocons di Washington.
Bagaimana tidak bodoh, di tengah niat baik Kim Jong-un melucuti program nuklirnya AS dan Korea Selatan justru menggelar latian perang skala besar di perbatasan.
Memancing kemarahan Pyongyang karena jelas yangdisebut sebagai latihan militer itu tak lain ‘gladi bersih’ penyerbuan ke utara. Masuk akal jika Kim Jong-un mengancam membatalkan pertemuan tingkat tinggi di Singapura dengan Donald Trump.
Ketika Trump dan administrasinya berbicara perdamaian dan merancang denuklirisasi di Semenanjung Korea, militer AS justru bersiap-siap menerbangkan pengebom berat B-52 dan jet tempur siluman F-22 Raptor di sekitar perbatasan Korea Utara.
Mereka juga diam-diam mengirim kapal selam berudal di kedalaman laut dekat perairan korea.
Provokasi ini adalah yang pertama dari dua latihan militer yang direncanakan AS dan Korea Selatan. Jika Kim Jong gagal menangkap pesan AS, latihan kedua lebih jelas pesannya sejelas kode latihan perang itu ‘Maximun Thunder’.
Di Iran, sabotase Trump dan antek-antek neocon-nya pada perjanjian nuklir itu diistilahkan dengan ‘makan pasir dan matilah’.
Provokasi
Washington tak hanya menuntut Teheran menyerahkan setiap dan semua kapasitas nuklir –semua orang di dunia tahu belaka bahwa Iran tak punya nuklir- tapi juga menghapus semua peluru kendali jarak menengah, mundur dari Suriah, menghentikan dukungan bagi Palestina, Hizbullah dan Houthis di Yaman.
Ibarat kata seperti memerintah kepada anjing, AS ingin Iran berguling dan ‘berubah’ menjadi baik dan tidak boleh melakukan apapun yang membuat marah Israel.
Versi singkatnya AS menginginkan penyerahan total yang mengarah pada perubahan rezim di masa depan.
Pyongyang jitu ketika membeberkan neocon lawas John Bolton menyabot kesepakatan damai.
Di era 2005-2006, Bolton adalah utusan Bush di PBB yang sukses membangun tradisi anti-Muslim, pro-Israel dan anti-Rusia. Kebijakan yang hari ini dilanjutkan secara persis oleh perwakilan AS di PBB AS, Nikki Haley seorang neocon lain yang bermulut pahit.
Bertahun-tahun setelah negosiasi sengit barulah di awal tahun ini Washington dan Pyongyang nyaris mendekati kesepakatan terkait program nuklir Korea.
Di tengah keberhasilan itu, Bolton masuk dan berhasil menyabotase kesepakatan mengapa?
Tentu saja, karena Bolton adalah fanatik pro-Israel dan takut suatu saat Pyongyang bakal menyediakan teknologi nuklir bagi musuh-musuh Israel. Ini jelas tabiat neocon, kepentingan Israel yang pertama sebelum kepentingan AS sendiri.
Pekan lalu di depan TV AS, Bolton berkomentar soal perdamaian di Semenanjung Korea ia menyarankan Pyongyang mengikuti cara Libya menangani nuklir.
Penguasa Libya saat itu, Muammar Gaddafi membeli teknologi dan peralatan nuklir dari Pakistan namun segera menyerahkannya ke AS sebagai bentuk kerjasama.
Serah terima itu dilakukan dengan banyak gembar-gembor, hingga akhirnya AS, Prancis dan Inggris menyerang Libya sekaligus menggulingkan Gaddafi. Pemimpin Libya yang malang itu akhirnya dibunuh oleh agen-agen Prancis.
Tentu saja Kim Jong un tersinggung dengan saran itu.
Apakah itu yang memang diinginkan Bolton untuk Korea Utara? Apakah Trump terlibat dalam intrik ini? Itu lebih sulit lagi untuk dijelaskan.
Atau sabotase ini merupakan kerjaan militer AS yang selalu memamerkan pedangnya untuk mencoba melindungi investasinya industry persenjataan yang besar di Asia Utara? Pentagon sejauh ini tak terlalu antusias dengan usul perdamaian apapun menyangkut perjanjian nuklir dengan Korea.
Banyak pengamat menyebut, bakal sulit bagi Kim Jong-un untuk percaya dan menyerahkan program nuklirnya setelah melihat sendiri kebohongan Trump menangani Iran dan Gaddafi.
Berbicara denuklirisasi di Semenanjung Korea, ada pertanyaan mendasar mengapa Pyongyang justru tak menuntut AS menyingkirkan nuklirnya dari pangkalan mereka di Korea Selatan, Okinawa, Guam dan Armada ke- 7?
Mungkin mirip pertaruhan, Pyongyang bahkan belum mulai mengangkat masalah ini. Mereka masih menyimpannya.(TGU)