Koran Sulindo – Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, mengatakan penenggelaman kapal tidak hanya berkaitan dengan illegal fishing dan ikan saja.
“Illegal fishing bukan hanya soal ikan saja, namun kapal-kapal asing tersebut biasanya juga mengambil satwa-satwa yang dilindungi. Seperti pada kasus kapal Hai FA, mereka tidak hanya mengambil ikan di perairan Indonesia dengan jumlah banyak saja, namun juga membawa burung kakaktua, kulit buaya, dan lain-lain yang mereka bawa dari Papua,” kata Susi, dalam acara Seminar Nasional Kewirausahaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (6/5), seperti dikutip umy.ac.id.
Banyaknya kapal asing yang masuk ke Indonesia karena Undang-Undang Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuka nasionalisasi bagi kapal-kapal nelayan asing. “Tahun 2004 itu dikeluarkan ijin nasionalisasi kapal-kapal nelayan asing. Sayangnya ijintersebut yang banyak disalahgunakan oleh nelayan asing. Mereka memiliki 10 kapal, yang ada surat ijinnya hanya 1, yang lainnya di fotokopi,” katanya.
Menurut Susi, jika kapal asing itu dilelang, biasanya nanti akan dibeli lagi oleh oknum yang punya kapal, dan bahkan dibeli dengan harga rendah.
“Dengan begitu kasus illegal fishing akan terus terjadi,” katanya.
Proses penenggelaman kapal membutuhkan proses yang panjang.
“Masyarakat banyak yang bilang kalau orang bodoh saja juga mampu untuk menenggelamkan kapal. Tidak demikian, sebelum menenggelamkan kapal, kapal harus ditangkap dahulu. Penangkapan itu butuh satelit, informasi, data, pasukan, orang, dan tentunya juga kapal,” kata Susi.
Kejahatan Transnasional Terorganisasi
Menteri Susi juga akan meminta dukungan PBB untuk menjadikan pencurian ikan sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional terorganisasi.
“Dengan dianggap sebagai kejahatan transnasional akan memudahkan semua negara untuk berkoordinasi menangani pencurian ikan,” kata Susi, seperti dikutip antaranews.com
Seperti halnya kasus terorisme, pencurian ikan juga bisa diselesaikan bersama-sama lintas negara apabila dikategorikan sebagai kejahatan transnasional.
“Karena pelakunya memang sudah transnasional, mulai kapalnya dari negara berbeda, ABK juga banyak berasal dari negara berbeda, benderanya dari mana-mana,” kata bekas pedagang ikan itu.
Menurut Susi, banyak kejahatan lain “mendompleng” atau berkolaborasi dengan pencurian ikan. Dia sebut penyelundupan, narkoba, perdagangan orang, perbudakan, serta penyelundupan satwa, sehingga memang memerlukan kerja sama lintas negara.
Susi akan menyampaikan gagasannya pada sesi pendamping Sidang Umum PBB kelak, bahwa penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak taat aturan adalah bentuk kejahatan transnasional.
Beberapa negara disebutnya menyetujui usulan tersebut.
“Seperti Norwegia, Papua Nugini, serta banyak negara-negara Eropa yang sudah setuju,” kata Susi.
Tangkap 4 KIA Vietnam
Sementara itu pada 28 April lalu, Kapal Pengawas (KP) Perikanan kembali menangkap kapal ikan asing (KIA) ilegal yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).
Penangkapan tersebut merupakan hasil dari operasi rutin yang dilakukan Direktorat Jenderal PSDKP melalui KP Hiu 06. Keempat kapal berbendera Vietnam tersebut ditangkap di perairan ZEEI Laut China Selatan.
Adapun kapal yang ditangkap, yaitu KM TG 94169 TS, KM TG 94916 TS, KM TG 93395 TS dan KM TG 91705 TS yang diawaki oleh 27 orang berkewarganegaraan Vietnam. Kapal ditangkap karena melakukan penangkapan tanpa dilengkapi dokumen yang sah dari pemerintah Indonesia dan menggunakan alat tangkap terlarang Trawl.
Kapal-kapal tersebut diduga melakukan pelanggaran dengan sangkaan tindak pidana perikanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar. [DAS]