Warga menolak pembangunan Bandar NYIA (foto/metrotvnews.com)

Koran Sulindo – Meski percepatan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi patut diapresiasi, di sisi lain hak-hak dasar warga negara makin tergerus.

Percepatan pembangunan ekonomi yang digeber pemerintahan Jokowi-JK dianggap gagal mempertimbangkan pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Rakyat masih saja menjadi korban pelanggaran HAM jika berhadapan dengan negara atau korporasi. Dalam beberapa kasus warga masih mengalami kekerasan ketika melakukan protes ketika menuntut haknya.

Kesimpulan tersebut disampaikan Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam diskusi di Jakarta, Senin (4/12).

Dia mencontohkan proyek pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo yang menjadi prioritas program memicu terjadinya penggusuran di beberapa desa.

Dengan penjagaan ketat, hari ini mereka merobohkan rumah-rumah warga yang terdampak proyek. Pembongkaran paksa itu dipimpin langsung Kapolres Kulon Progo AKBP, Irfan Rifai.

Berdalih land clering pembongkaran paksa yang berlangsung sejak pekan lalu itu telah merobohkan 14 rumah dari total 42 yang harus dirobohkan. Saat ini 28 rumah di Desa Glagah dan Palihan masih menunggu giliran.

Dalam pengamanan perobohan rumah, Angkasa Pura I melibatkan 264 petugas gabungan dari unsur polisi, TNI, Satpol PP, TP4D kejaksaan.

Menurut Usman, tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM by product yang disponsori oleh negara. Pembangunan mestinya harus ramah terhadap HAM dan pembangunan yang melanggar HAM harus ditolak.

Ada yang tertinggal dari pembangunan fisik yang sedang digenjot pemerintah. Beberapa pertanyaan harus diajukan termasuk apakah pembangunan itu memang nyata-nyata dibutuhkan, apa ongkos yang dibayar masyarakat dan yang terpenting apakah pembangunan itu juga memuliakan rakyat?

Pemerintah selalu berargumentasi bahwa pembangunan itu sudah dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Masalahnya, aturan ‘buatan’ manusia harus bisa dievaluasi dan dikoreksi jika merugikan masyarakat banyak. Regulasi dianggap manusiawi jika melibatkan partisipasi masyarakat luas.

Selain menyoroti proyek NYIA, Amnesty International Indonesia mempersoalkan pengembangan pariwisata di Teluk Benoa, Bali dan pembangunan ketahanan pangan di Papua melalui Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

MIFEE adalah proyek pemerintah yang dimulai di era pemerintahan SBY dan dilanjutkan di masa Jokowi. Proyek itu berencana membuka 2,5 juta hektar lahan sebagai areal perkebunan dan pertanian sebagai lumbung pangan nasional.

Dari luasan itu 50 persen bakal diperuntukan bagi tanaman pangan, 30 persen untuk tebu, sedangkan 20 persen sisanya untuk sawit. MIFFE diharapkan memproduksi 1,95 juta ton beras, 2,02 juta ton jagung, 167.000 ton kedelai, 64.000 sapi, 2,5 juta ton gula, 937.000 ton minyak sawit per tahun.

Ironis justru ketahanan pangan yang digagas itu dilakukan dengan mencetak sawah sementara masyarakat asli justru mengkonsumsi sagu.

Proyek tersebut juga menjadi ancaman eksistensial bagi Suku Malind yang merupakan masyarakat asli Merauke yang terdampak pada hilangnya habitat meramu sagu. Padahal bagi Suku Malind, sagu tak sekadar bahan pangan untuk dikonsumsi namun sudah merupakan warisan budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi.  [TGU]