Suluh Indonesia – Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyodorkan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) mengenai barang kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan ke Komisi yang membidangi keuangan itu.
Pengenaan PPN ini, kata Sri Mulyani ditujukan untuk jasa pendidikan yang diselenggarakan oleh pendidikan bersifat komersial, dan lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal yang dipersyaratkan oleh UU Sistem Pendidikan Nasional.
Meskipun, jasa pendidikan atau sekolah yang dikenakan PPN memang telah diatur dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), tapi Menkeu menegaskan PPN hanya berlaku untuk sekolah tertentu.
Pengajuan itu, kata Sri, tak lain adalah untuk membedakan jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah dengan swasta yang mencari keuntungan. Kemudian sekolah negeri juga madrasah tidak akan dikenakan PPN.
Dalam draft RUU KUP tersebut diketahui pemerintah menghapus jasa pendidikan dari kategori jasa yang tidak dikenai PPN. Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 4A ayat (3).
Tetapi demikian, langkah yang ditempuh oleh Menkeu itu langsung mendapat kritik yang kurang sedap. Mayoritas kritikan itu menyalahkan pemerintah, karena situasi saat ini masih dilanda pandemi.
Pada dasarnya, kata pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin, kekhawatiran masyarakat patut dimaklumi, mengingat kondisi sekolah swasta misalnya saat ini terbilang menyulitkan warga kalangan bawah.
Seperti yang terjadi penahanan ijasah pelajar oleh sekolah. Itu bukti nyata bahwa sekolah swasta mahal. Meski begitu, ada timbal balik, karena ada peran sekolah swasta yang tergolong masif di jenjang tertentu.
Terlebih, proporsi sekolah swasta di jenjang pendidikan menengah lebih dominan ketimbang sekolah negeri. Seperti data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi saja, jumlah SMA swasta di 34 provinsi mencapai 15,6 ribu atau dua kali lipat dari jumlah SMA negeri yakni 7,7 ribu sekolah.
Ketimpangan tersebut juga didapati di jenjang SMK, yakni ada 10,7 ribu SMK swasta dan hanya 3,6 ribu SMK negeri di penjuru Indonesia. Tetapi, perbedaan proporsi tersebut berangsur menipis seiring dengan semakin kecilnya jenjang pendidikan. Seperti di jenjang SMP, ada 34,8 ribu SMP swasta dan 25,2 ribu SMP negeri.
Sementara di jenjang pendidikan dasar, SD negeri jumlahnya jauh lebih banyak, yakni 132,9 ribu, dibanding SD swasta yang jumlahnya hanya 42,6 ribu. Dengan situasi ini menunjukkan negara hanya mampu memenuhi tanggung jawab pendidikan warga sampai jenjang pendidikan dasar. Sementera di jejang selanjutnya, diambil oleh sekolah swasta.
Belum lagi, pengenaan PPN terhadap sekolah swasta dikhawatirkan bakal menarik biaya terlalu mahal lagi. Karena komersialisasi pendidikan akan berbahaya. Nantinya pendidikan berkualitas hanya bisa diakses masyarakat ekonomi menengah dan keatas.
Secara tak langsung, kondisi ini juga akan memunculkan sekolah unggulan. Sehingga menyebabkan adanya ketimpangan kualitas bagi sekolah yang berbayar mahal dan sekolah dengan biaya murah atau gratis.
Namun demikian, Sri Mulyani menganggap pemberitaan mengenai sekolah dikenakan PPN tak utuh. Dia menganggap, sekolah yang bakal dikenakan PPN bagi jasa pendidikan yang komersial. Seperti sekolah TK, SD, SMP, SMA secara umum tidak dikenakan PPN.
Nah, pendidikan yang dikenakan PPN meliputi jasa pendidikan seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional, serta jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Dalam hal ini, PPN atas jasa pendidikan memang akan dikenakan, tapi terhadap jasa pendidikan komersil yang membutuhkan uang banyak. Misalnya, PPN atas jasa pendidikan hanya dikenakan kepada sekolah bertaraf internasional yang umumnya memungut biaya ratusan juta per tahun. Sehingga, azas ability to pay dalam perpajakan Indonesia bisa dirasakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta internasional.
Karena menurut Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Said Abdullah selama ini sekolah yang bertaraf internasional tidak dikenakan pajak. Karena itu menurut Said, sejauh ini pembahasan mengenai pengenaan pajak masih dibahas oleh Kemenkeu dan Komisi XI DPR.
Pasalnya, mayoritas sekolah internasional tak masuk dalam koridor undang-undang (UU) terkait Sisdiknas. Sehingga, hal ini nanti tetap akan dibahas lewat Panja RUU KUP antara Komisi XI dan pemerintah.
Terlebih lagi, pemerintah belum menyampaikan rencana tersebut ke DPR. Hanya, dugaan Said, besaran tarif 7 persen akan tercantum dalam aturan turunan UU KUP kelak, yakni peraturan pemerintah (PP). Tapi, pemerintah harus berkonsultasi dengan DPR terkait rencana itu.
Karena kebijakan PPN baru bisa diimplementasikan pada 2023. Dengan catatan, RUU KUP disahkan akhir tahun ini.
Karena, dalam jangka menengah pendek, belum saatnya pemerintah menjadikan jasa pendidikan sebagai objek PPN. Sebab, kualitas dan sistem pendidikan masih rendah.
Seperti data US News & World Report 2021, Indonesia berada di peringkat 55 dari 73 negara di dunia dengan sistem pendidikan terbaik. Posisi Indonesia ini ada di bawah negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura yang ada di peringkat 19, Malaysia nomor 38, serta Thailand 46.
Makanya, pemerintah harus tetap mengecualikan PPN jasa pendidikan. Soalnya, penghasilan yang didapat dari universitas swasta pun digunakan untuk membiayai tenaga pendidik yang pada akhirnya meningkatkan kualitas, memberikan ilmu, dan membangun koneksi internasional. [WIS]
Baca juga: