Mengungkap Skandal Prostitusi Pekerja “Kemanusiaan”

Korban gempa di Haiti yang terjadi pada 2010 [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Terungkapnya skandal prostitusi di bawah umur yang melibatkan berbagai lembaga kemanusiaan baik di bawah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) maupun bukan, tidaklah mengejutkan. Setidaknya bagi sebagian orang. Pasalnya, daerah konflik, daerah rawan bencana dan miskin, perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban pelacuran.

Penulis The whole charitable sector uses prostitutes, not just Oxfam, Julie Bindel, misalnya, mengaku tidak terkejut dengan keterlibatan lembaga Oxfam dalam skandal prostitusi di bawah umur di Haiti. Ia punya pengalaman ketika kali pertama mengunjungi Kosovo pada 1999.

Kala itu, kata Bindel, sopir memberitahukan sejumlah tempat prostitusi sedang dibangun yang tidak berjauhan dengan lokasi sejumlah lembaga kemanusiaan dan PBB. Para “pekerja kemanusiaan” disebut sebagai pengguna pekerja seks komersil yang produktif. “Ini terlepas dari kenyataan bahwa mereka sedang mengerjakan strategi anti-perdagangan manusia,” tulis Bindel seperti dikutip The Independent beberapa waktu lalu.

Berdasarkan Wikipedia, Oxfam merupakan organisasi nirlaba berbasis di Inggris yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, bekerja sama dengan mitra lainnya untuk mengurangi penderitaan di seluruh dunia. Organisasi ini terdiri atas 15 organisasi dari 98 negara di dunia.

Seperti Bindel, ungkapan serupa juga disampaikan Shaista Aziz. Melalui The Guardian, Aziz mengatakan, ketika mendengar informasi tentang dugaan keterlibatan orang-orang Oxfam dalam skandal prostitusi di bawah umur di Haiti, sungguh itu tidak mengejutkannya. Juga tak terkejut ketika fakta tersebut akan ditutupi dan kebenaran tentangnya disembunyikan.

Aziz yang mengaku bekerja lebih dari satu dekade di lembaga-lembaga “kemanusiaan” termasuk Oxfam menuturkan, karena pekerjaan yang ia geluti itu lantas membawanya “berkeliling” dari Haiti, Suriah, Lebanon, Tajikistan dan Yordania. Dari pengalamannya itu, ia banyak bertemu orang – mulai dari orang yang brilian hingga orang yang biasa-biasa saja.

Dalam organisasi “kemanusiaan” itu, ia merasa budaya intimidasi dan rasis sudah menjadi umum. Kaum perempuan acap direndahkan. Budaya demikian, selain di Oxfam, juga terjadi di lembaga “kemanusiaan” lain. Aziz mengaku seringkali terlibat dalam masalah yang telah disinggung itu. Ketika ia membicarakan masalah itu, tapi tidak ada yang menanggapinya secara serius.

“Tidak hanya saya, sepanjang tahun lalu, ada banyak perempuan yang membagikan pengalamannya sebagai korban pelecehan seksual kepada saya,” kata Aziz seperti dikutip The Guardian pada pekan ini.

Sedangkan Bindel membagikan pengalamannya selain di Kosovo, ia ingat skandal petugas keamanan dari PBB yang terlibat prostitusi, memperkosa anak di bawah umur dan berperan dalam perdagangan seksual di Bosnia dan Herzegovina. Bindel ingat, ketika kasus itu mencuat, ia sedang berada di Balkan bersama sejumlah pejabat PBB. Beberapa lelaki yang ia ajak bicara membenarkan penggunaan pekerja seks dan sebagian lagi membantahnya.

Kasua serupa juga pernah terjadi pada 2009 di Bosnia. Enam orang perwira dari Rumania, Fiji dan Pakistan dituduh terlibat perdagangan manusia untuk dipekerjakan sebagai pelacur. Kendati banyak bukti yang ditemukan dalam kasus itu, akan tetapi banyak orang termasuk seorang perwira senior Ukraina mendesak agar kasusnya dihentikan.

Menanggapi tuduhan ini, perwakilan Oxfam di Haiti Roland van Hauwermeiren mengaku sebagai orang yang ikut menggunakan jasa pekerja seks komersil itu. Dan mungkin mereka, pekerja seks komersil itu termasuk perempuan di bawah umur. Kejadiannya terjadi pada 2010 ketika gempa melanda Haiti yang menewaskan 200 ribu orang, 300 ribu orang terluka dan sekitar 1,5 juta orang kehilangan tempat tinggal.

Menurut Bindel, orang-orang yang terlibat dalam skandal ini memungkinkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Mereka bahkan ikut menopang sistem yang menyebabkan penderitaan bagi perempuan dan anak-anak. Terlebih perdagangan seks dibangun atas kolonialisme, rasisme, dan misogyny. Istilah ini merujuk kepada sindrom yang dialami para lelaki yang begitu membanggakan budaya patriarki sehingga menimbukan rasa benci dan merendahkan kaum perempuan.

Pernyataan Bindel itu sekaligus membantah mitos perdagangan seks bahwa hubungan semacam itu merupakan saling menguntungkan. Satu sisi pengguna merasa telah memenuhi kewajibannya karena memberi bayaran, sedangkan satu pihak dianggap merasa “beruntung” karena telah mendapatkan sejumlah uang. Kemiskinan tidak lantas menjadi pembenaran atas perdagangan seks. Betul, kaum miskin perlu mendapat bantuan yang tentu saja berupa makanan, dan bukan “sesuatu” yang membuat mereka menjadi muntah. [KRG]