Kebijakan kolonial Belanda terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia tidak hanya terbatas pada pembatasan ekonomi, tetapi juga mencakup pemisahan sosial yang signifikan.
Dengan adanya kebijakan Passen en Wijken Stelsel, pemerintah Belanda secara sistematis membatasi mobilitas dan interaksi antar etnis, khususnya dengan komunitas Tionghoa.
Kebijakan ini mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi orang Tionghoa secara mendalam, menumbuhkan perasaan keterasingan, dan memicu perjuangan panjang untuk mendapatkan kesetaraan.
Kebijakan ini bukan hanya membatasi mobilitas orang Tionghoa, tetapi juga mengatur tempat tinggal mereka di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Dalam artikel ini, kita akan mengkaji lebih dalam tentang dua kebijakan utama dalam sistem Passen en Wijken Stelsel, yaitu Passenstelsel dan Wijkenstelsel, serta dampaknya yang jauh melampaui masa kolonial.
Passenstelsel: Pembatasan Mobilitas Orang Tionghoa
Melansir laman esi.kemdikbud,go.id, Passenstelsel atau sistem pembatasan perjalanan, diwajibkan untuk diterapkan kepada orang Tionghoa yang ingin bepergian keluar dari kampung mereka.
Dalam sistem ini, orang Tionghoa harus memiliki surat izin perjalanan (pass) yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda jika ingin melakukan perjalanan antar daerah atau kota.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengisolasi komunitas Tionghoa dan menghalangi kemungkinan adanya percampuran atau hubungan sosial yang erat antara mereka dengan masyarakat pribumi.
Sebelum kebijakan ini diberlakukan, ada kemungkinan bagi berbagai suku bangsa di Indonesia untuk menjalin hubungan sosial yang lebih bebas. Namun, sejak penerapan kebijakan ini, pergerakan orang Tionghoa menjadi sangat terbatas. Politik pemisahan antar golongan ini membuat interaksi antara etnis Tionghoa dan bumiputera semakin sulit terjadi.
Wijkenstelsel: Pengaturan Pemukiman Orang Tionghoa
Selain pembatasan mobilitas, pemerintah Belanda juga memberlakukan Wijkenstelsel, yaitu sistem pengaturan pemukiman yang memaksa orang Tionghoa tinggal di kawasan tertentu yang telah disediakan oleh pemerintah.
Setiap kelompok etnis diwajibkan tinggal di kampung-kampung yang terpisah, sehingga meminimalisir interaksi antara orang Tionghoa dan suku bangsa lainnya. Sistem ini mengatur pembagian wilayah tempat tinggal berdasarkan etnisitas, dengan tujuan agar tidak terjadi percampuran antara orang Tionghoa dan masyarakat lokal.
Walaupun pemisahan ini mengurangi interaksi sosial, hubungan antar elit dari berbagai suku bangsa dalam kota tertentu kadang-kadang tetap terjadi. Namun, pemisahan secara umum membatasi peluang orang Tionghoa untuk berbaur dengan masyarakat luas dan mengembangkan potensi mereka di luar sektor ekonomi.
Latar Belakang Penerapan Kebijakan dan Tujuan Ekonominya
Kebijakan Passen en Wijken Stelsel muncul dalam konteks sejarah yang lebih luas, pasca-pembubaran VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada akhir abad ke-18.
Setelah VOC bangkrut pada tahun 1799, wilayah kekuasaan VOC diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Untuk mempertahankan monopoli atas perdagangan dan tenaga kerja pertanian, pemerintah Hindia Belanda melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh VOC, termasuk pembatasan terhadap pergerakan dan pemukiman orang Tionghoa.
Pada awal abad ke-19, kebijakan ini semakin ketat, terutama setelah tahun 1830. Orang Tionghoa yang sebelumnya tinggal di daerah pedalaman dipaksa untuk pindah ke kota-kota besar dan meninggalkan usaha serta rumah yang telah mereka bangun. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa terpaksa menghadapi kemiskinan dan kesulitan hidup di pemukiman yang sudah disediakan bagi mereka.
Dampak Sosial dan Ekonomi terhadap Komunitas Tionghoa
Kebijakan Passen en Wijken Stelsel memberikan dampak yang cukup besar bagi kehidupan orang Tionghoa di Hindia Belanda. Pembatasan terhadap mobilitas dan tempat tinggal tidak hanya menghambat perkembangan ekonomi mereka, tetapi juga menyebabkan ketegangan sosial.
Banyak orang Tionghoa yang merasa terisolasi dan tidak bisa berkembang karena pembatasan-pembatasan ini. Mereka terpaksa tinggal di kawasan-kawasan yang sudah ditentukan, dan interaksi dengan masyarakat lokal menjadi terbatas hanya pada aspek ekonomi.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan ini, orang Tionghoa mulai mengorganisir diri mereka melalui Pers Melayu Tionghoa untuk menuntut penghapusan kebijakan Passen en Wijken Stelsel.
Mereka juga bergerak untuk memperjuangkan hak-hak mereka melalui pergerakan emansipasi, dengan menuntut kesetaraan hak antara orang Tionghoa dan warga Eropa.
Pada tahun 1914, kebijakan Passenstelsel akhirnya dihapuskan, meskipun pada beberapa periode kebijakan serupa diberlakukan kembali karena alasan-alasan tertentu. Namun, kebijakan Wijkenstelsel baru benar-benar dihapuskan pada tahun 1918 di Jawa dan Madura setelah pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap komunitas Tionghoa.
Penghapusan kedua kebijakan ini menandai awal dari perubahan dalam perlakuan terhadap orang Tionghoa di Indonesia, meskipun perjuangan untuk kesetaraan penuh masih berlanjut.
Meskipun demikian, kebijakan Passen en Wijken Stelsel tetap menjadi bagian penting dalam sejarah diskriminasi etnis di Indonesia dan menjadi salah satu pengingat penting tentang betapa politik pemisahan golongan dapat membatasi potensi kemajuan sosial dan ekonomi suatu kelompok masyarakat.
Kebijakan Passen en Wijken Stelsel yang diterapkan oleh pemerintah Belanda di Indonesia menunjukkan betapa besar pengaruh politik kolonial terhadap kehidupan sosial dan ekonomi orang Tionghoa.
Pembatasan mobilitas dan pemukiman ini mengisolasi mereka dan mengekang perkembangan sosial mereka. Meskipun kebijakan ini akhirnya dihapuskan, dampaknya terhadap komunitas Tionghoa tetap terasa dan menjadi bagian dari sejarah perjuangan mereka untuk mendapatkan hak yang setara di tanah yang mereka huni. [UN]