Gerbang Kota Kuningan, Jawa Barat. (foto: ist/net)
Gerbang Kota Kuningan, Jawa Barat. (foto: ist/net)

Koran Sulindo – Setiap tanggal 1 September, Kabupaten Kuningan memperingati hari jadinya yang ke-526. Sebagai daerah yang terletak di kaki Gunung Ciremai, Kuningan memiliki sejarah panjang yang sudah dimulai sejak ribuan tahun sebelum masehi.

Perjalanan panjang ini telah menjadikan Kuningan sebagai salah satu daerah dengan warisan sejarah yang kaya di Indonesia.

Dilansir dari situs resmi Kabupaten Kuningan, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kuningan telah menetapkan peraturan daerah nomor 21/DP.003/XII/1978 tanggal 14 Desember 1978 tentang Sejarah dan Hari Jadi Kuningan.

Berdasarkan peraturan daerah tersebut, sejarah Kuningan disusun sejak mulai adanya tanda-tanda pemukiman atau perkampungan yang telah mempunyai pemerintahan hingga perkembangannya sampai sekarang.

Sekitar 3500 tahun sebelum masehi, telah ditemukan tanda-tanda bahwa Kuningan sudah memiliki pemukiman masyarakat yang mencapai tingkat kebudayaan yang relatif maju. Hal ini dibuktikan melalui peninggalan-peninggalan yang ditemukan di wilayah tersebut.

Kehadiran suatu pemukiman masyarakat baru diwujudkan dalam bentuk kekuatan politik seperti negara yang disebut “Kuningan” pada tanggal 11 April 732 Masehi. Negara atau kerajaan Kuningan ini terbentuk setelah penobatan Seuweukarma sebagai raja atau kepala pemerintahan yang kemudian bergelar Rahiangtang Kuku atau Sang Kuku.

Ia bersemayam di Arile dan Saunggalah, serta menganut ajaran “Dangiang Kuning” yang berpegang kepada “Sanghiang Darma” dan “Sanghiang Siksa”, dengan sepuluh pedoman hidup yang dipegang teguh yaitu :

1. Tidak membunuh mahluk hidup,
2. Tidak mencuri,
3. Tidak berzinah,
4. Tidak berdusta,
5. Tidak mabuk,
6. Tidak makan bukan pada waktunya,
7. Tidak menonton, menari, menyanyi dan bermain musik,
8. Tidak mewah dalam berbusana,
9. Tidak tidur ditempat yang empuk,
10. Tidak menerima emas dan perak.

Selama pemerintahannya, Seuweukarma menghadapi persaingan dengan Sanjaya, penguasa daerah Kerajaan Galuh sebelah timur. Setelah Sanjaya memerintah Kuningan selama sembilan tahun, kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya, Rahiang Tamperan.

Rahiang Tamperan memiliki dua putra, yaitu Sang Manarah dan Rahiang Banga. Setelah dewasa, Sang Manarah menjadi raja di sebelah timur, sedangkan Rahiang Banga menguasai Kuningan yang dahulu dibawah kekuasaan Rahiangtang Kuku.

Pada tanggal 22 Juli 1175 Masehi, Kuningan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda di bawah Rakean Darmasiksa, putra ke-12 Rahiang Banga. Setelah bertahta selama 12 tahun di Saunggalah, Rakean Darmasiksa memindahkan keraton ke Pakuan Pajajaran.

Selanjutnya Kuningan yang ada dibawah kekuasaan Aria Kamuning kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Pajajaran dan namanya berganti menjadi Kajene, yang berarti “kuning” atau “emas”.

Dalam rangka penyebaran agama Islam, seorang ulama besar dari Caruban (Cirebon) bernama Syekh Maulana Akbar singgah di Buni Haji, daerah Luragung, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Kajene yang saat itu penduduknya masih menganut agama Hindu.

Syekh Maulana Akbar mendirikan pesantren di Sidapurna yang berkembang pesat, dan karena pengikutnya semakin banyak, ia membentuk pemukiman baru yang diberi nama Purwawinangun, yang berarti “mula-mula dibangun”. Syekh Maulana Akbar meninggal dan dimakamkan di Astana Gede.

Pada tahun 1481 Masehi, Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati datang ke Luragung. Saat itu, Ki Gedeng Luragung yang memimpin pemerintahan masuk Islam.

Pada waktu yang bersamaan, datanglah putri Ong Tien dari Cina yang kemudian menikah dengan Syarif Hidayatullah. Putri Ong Tien kemudian berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Sumanding.

Syarif Hidayatullah dan istrinya mengangkat putra Ki Gedeng Luragung sebagai anak mereka, yang diberi nama Sang Adipati. Mereka kemudian menuju Kajene, yang saat itu diperintah oleh Pangeran Aria Kamuning.

Setelah Sang Adipati dewasa, tepat pada tanggal 1 September 1498 Masehi, ia dinobatkan sebagai kepala pemerintahan Kajene dan bergelar Sang Adipati Kuningan. Sejak saat itu, nama Kajene dikembalikan menjadi Kuningan, dan tanggal 1 September ditetapkan sebagai hari jadi Kuningan.

Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Adipati Kuningan dibantu oleh Aria Kamuning, Dipati Ewangga, atau disebut juga Dipati Cangkuang, dan Rama Jaksa. Untuk memperkuat penyebaran Islam, Sunan Gunung Jati mengirim Syekh Rama Haji Irengan ke Kuningan, yang memilih tinggal di Darma.

Syekh Rama Haji Irengan, dengan bantuan para wali, membuat kolam yang sekarang dikenal sebagai Balong Kancra atau Balong Kramat di Darma Loka.

Sang Adipati Kuningan dan pasukannya turut serta dalam berbagai pertempuran, termasuk melawan Galuh dan membantu mendirikan pemerintahan Wiralodra di Indramayu di bawah pimpinan Fatahillah dari Cirebon.

Pasukan Kuningan juga berperan dalam menggempur Sunda Kelapa dan mendirikan pemerintahan Jayakarta. Beberapa dari mereka menetap di Jayakarta, dan nama Kuningan kini menjadi salah satu kelurahan di wilayah Jakarta Selatan.

Warisan sejarah perjuangan para leluhur Kuningan dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Pada masa Hindia Belanda, ulama besar dari Lengkong, Eyang Hasan Maolani, diasingkan ke Gorontalo, Sulawesi Utara, dan meninggal di sana.

Pada masa kemerdekaan, perundingan antara Indonesia dan Belanda diadakan di Linggarjati, menjadikan nama Linggarjati dikenal di seluruh dunia.

Setelah Yogyakarta diserang oleh tentara Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, panglima besar Jenderal Soedirman menginstruksikan untuk membentuk 4(empat) Markas Besar Komando Djawa (MBKD), yang meliputi MBKD Jawa Timur, MBKD Jawa Tengah, MBKD Jawa Barat Dan MBKD Luar Jawa.

Untuk MBKD Jawa Barat dipimpin oleh Letkol r.k. Sukanda Bratamanggala, yang berkedudukan di desa Subang dan dijadikan basis gerilya melawan Belanda.

Sesuai dengan keputusan dewan pertahanan daerah keresidenan Cirebon dan brigade V, maka Ciwaru dijadikan basis pertahanan dan pusat pemerintahan keresidenan Cirebon.

Rakyat Ciwaru dengan ikhlas menyerahkan rumah mereka untuk dipergunakan sebagai kantor-kantor, staf militer, pemondokan dan lain-lain. Ciwaru menjadi pusat daerah perjuangan perang kemerdekaan.

Memasuki tahun 1950-an, Kuningan menghadapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan keamanan, termasuk gangguan DI/TII. Namun, rakyat Kuningan bersama TNI bahu membahu memadamkan pemberontakan tersebut.

Dalam upaya mengisi kemerdekaan, masyarakat Kabupaten Kuningan dengan semangat gotong royong terus melaksanakan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila.

Berikut adalah daftar kepala pemerintahan Kuningan dari masa ke masa:

Zaman Hindu:
1. Seuweukarma
2. Sanjaya
3. Rahiang Tamperan
4. Rahiang Banga
5. Rakean Darmasiksa
6. Aria Kamuning

Zaman Islam:
1. Aria Kamuning
2. Sang Adipati Kuningan
3. Geusan Ulun
4. Dalem Mangkubumi

Zaman Penjajahan Belanda:
1. R. Brata Adiningrat
2. Doejeh Brataamidjaja
3. R. Dali Soerjanataatmadja
4. R. Moch. Achmad
5. R. Umar Said

Zaman Jepang:
1. R. Umar Said

Zaman RI 1945:
1. R. Asikin Niti Admadja

Zaman Pendudukan NICA (Recomba):
1. R. Asikin Joedadibrata
2. R. Hollan Soekmadiningrat
3. R. Abdoel Rifai
Zaman RI 1950 sampai sekarang:
1. R. Noer Armadibrata
2. R. Moch. Hafil
3. R. Tikok Moch. Ichlas
4. R. Soemitra
5. Tb. Amin Abdulah
6. Saleh Alibasah
7. Usman Djatikusumah
8. Rd. Komar Suryaatmadja
9. S. Soemintaatmadja
10. Aruman Wirananggapathi
11. Karli Akbar
12. R. H. Unang Sunardjo, S.H.
13. Drs. H. Moch. Djufri Pringadi
14. Drs. H. Subandi
15. H. Yeng Ds. Partawinata, SH.
16. Drs. H. Arifin Setiamihardja, MM.
17. H. Aang Hamid Suganda, S.Sos (Bupati); Drs. H. Aan Suharso, Msi. (Wakil Bupati)
18. H. Aang Hamid Suganda, S.Sos (Bupati); Drs. H. Momon Rochmana, MM (Wakil Bupati)
19. Hj. Utje Choeriah Hamid Suganda, S.Sos,.M.AP (Bupati); H. Acep Purnama, SH, MH (Wakil Bupati).
20. H. Acep Purnama,SH,.MH (Bupati); Dede Sembada, St (Wakil Bupati).
21. H. Acep Purnama,SH,.MH (Bupati); Muhammad Ridho Suganda, SH., M.Si.(Wakil Bupati)

Sejarah panjang Kabupaten Kuningan mencerminkan perjalanan suatu daerah yang kaya akan tradisi, kebudayaan, dan peradaban yang telah berkembang selama ribuan tahun.

Dari masa ke masa, Kuningan tidak hanya menjadi saksi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di tanah Sunda, tetapi juga berperan aktif dalam perubahan dan perkembangan sejarah nasional.

Dari masa kerajaan hingga zaman modern, Kuningan tetap mempertahankan identitasnya sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, baik dalam aspek keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

Perjalanan ini telah menempatkan Kuningan sebagai daerah dengan warisan sejarah yang tak ternilai, menjadikannya sebagai salah satu titik penting dalam peta sejarah Indonesia.

Sebagai warga Kuningan, menghargai dan melestarikan warisan ini adalah sebuah tanggung jawab bersama, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya terus hidup dan memberi inspirasi bagi generasi mendatang.

Dengan demikian, hari jadi Kuningan yang diperingati setiap tanggal 1 September bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga momentum untuk merefleksikan kembali peran penting daerah ini dalam perjalanan panjang sejarah bangsa. [UN]