Menguak Sejarah Freeport dan Insiden 2 Presiden

Siapa pun yang pertama kali menyaksikan proyek  PT Freeport di Tambagapura, Papua, pasti akan menggelengkan kepala. Apalagi, orang Indonesia umumnya punya ingatan pendek.  “Wah, kita tidak mampu membangun proyek raksasa itu”. Padahal, proyek raksasa itu dibuat guna memindahkan isi dua gunung dalam masa kontrak  untuk pemurnian di luar Indonesia. Dengan begitu, kita kehilangan kontrol atas mineral-mineral ikutan dan Freeport bisa memperoleh semua itu secara gratis. Akibatnya, kekayaan negeri ini terkuras habis, sementara bangsa Amerika Serikat menikmati devisa terbesar dari tambang di negeri kita.

Sejak Perang Dingin, Amerika Serikat terus-menerus mengobok-obok Indonesia, agar kekayaan itu tidak jatuh ke pihak lain. Maka, Amerika Serikat senantiasa berusaha ikut campur dalam politik dalam negeri Indonesia agar tetap menguasai Freeport.

Presiden AS, John F Kennedy (JFK) tewas terbunuh di Dallas ketika kampanye pemilihan presiden untuk kedua kalinya, 22 November 1963. Presiden RI, Soekarno, tokoh dunia ketiga yang paling disegani kaum kapitalis di seantero dunia dengan sikap tanpa kompromi, dipaksa mengundurkan diri pada 23 Februari 1967 karena terdesak oleh pengambilalihan kepemimpinan yang dilakukan Soeharto dengan bantuan CIA.

Ternyata, kedua insiden ini memiliki benang merah. Belum sebulan setelah Soeharto resmi dilantik oleh MPRS, ia menandatangani kontrak pertambangan yang sangat merugikan bagi republik dan bangsa ini. Jika Soekarno saat itu menuntut  perusahaan pertambangan minyak Caltex untuk melakukan pembagian hasil pada Indonesia sebesar 60%, Soeharto setuju hanya diberi 9,6% dari tembaga. Akan halnya mineral lain—seperti emas, perak, dan dua mineral lainnya lagi—gratis seluruhnya untuk Amerika Serikat.

Tiga dekade setelah kejatuhan Soekarno, Lisa Pease, seorang penulis kenamaan, menyelidiki kaitan peristiwa-peristiwa itu. Hasilnya dirangkum dalam tulisannya:  “JFK, Soekarno, CIA, dan Freeport”. Tulisan ini menjadi arsip penting di National Archive di Washington DC.  Ternyata, Fereport merupakan pertambangan emas terbesar di dunia! Bukan tembaga, tulis Lisa Pease.

Majalah Minning International melaporkan, Freeport bukan saja tambang emas terbesar, tetapi juga memiliki emas berkualitas terbaik di dunia. Dan, paling murah biaya operasionalnya!

Sebagian kebesaran dan kemegahan Amerika Serikat sekarang ini adalah hasil perampokan resmi mereka atas gunung emas di Papua. Sebaliknya,  bagi segelintir pejabat negeri ini, beberapa jenderal, dan para politisi busuk, Freeport memberi kenikmatan hidup. Mereka  bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini. “Mereka ini tidak lebih baik dari seekor lintah,” tulis Lisa Pease.

WALAU dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak penandatanganan kontrak pada  April 1967, sebenarnya kiprahnya di negeri ini sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Dalam penelitiannya, Lisa Pease mendapatkan temuan bahwa Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba pada tahun 1959.

Ketika itu, Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Castro menasionalisasi seluruh perusahaan asing di negeri itu. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya di sana terkena imbasnya. Ketegangan pun terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula mereka menemui kegagalan.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian itu, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan  dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan Van Gruisen. Dalam pertemuan itu, Gruisen bercerita, dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy pada tahun 1936. Dozy bersama Collijn melakukan ekspedisi ke puncak Gunung Cartenz pada 20 November 1936. Keduanya  mengumpulkan contoh batu-batuan, yang oleh geolog Dr C Shouten dikatakan mengandung emas dan tembaga.

Namun, laporan itu lama terlupakan. Karena, Eropa dilanda Perang Dunia II. Perhatian Eropa terpusat pada keselamatan diri masing-masing. Laporan itu bahkan sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpustakaan Nasional Belanda.

Ternyata, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu. Ia pun membaca dengan saksama.

Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur bahwa kandungan biji tembaga yang ada di seantero tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah. Mineral itu tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat yang ketika itu masih dikuasai Belanda, untuk mengecek kebenaran cerita tersebut. Di dalam benaknya, jika isi laporan itu benar perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutannya di Kuba setelah diusir Castro.

Selama beberapa bulan, Forbes Wilson dan De Flint melakukan survei dengan cermat atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. “Inilah harta kartun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi, karena semua harta karun itu terhampar di permukaan tanah,” tulis Forbes dalam bukunya, The Conquest of Cooper Mountain. Dilihat dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.

Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuat dirinya gila. Selain biji tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi  biji emas dan perak. Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain atau Gunung Emas, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang ahli pertambangan, Wilson memperkirakan Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal.

Pemimpin Freeport Sulphur pun bergerak  cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerja sama dengan East Borneo Company untuk mengekplorasi gunung tersebut.

Kendati begitu, lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam hubungan Indonesia dengan Belanda. Situasi politik memanas.  Soekarno—yang sahabat Castro—bahkan mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.

Tadinya, Wilson ingin meminta bantuan pada Presiden Amerika Serikat John F Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun, ironisnya, JFK malah cenderung mendukung Soekarno.

JFK mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan dana segar  untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mundur dari Irian Barat.

Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Lain halnya jika Belanda mengetahui fakta sesungguhnya bahwa nilai bantuan Marshall Plan yang mereka terima dari Amerika Serikat tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.

Belanda pun  mundur dari Irian Barat. Ini menyebabkan perjanjian kerja sama dengan  East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar, apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi  kepada Indonesia sebesar US$ 11 juta, dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!

Segalanya berubah 180 derajat ketika Presiden Amerika Serikat John F Kennedy tewas tertembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar kepentingan kaum globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika Serikat.

PRESIDEN Amerika Serikat Lyndon B Johnson yang menggantikan Kennedy.  Johnson mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Ia malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali ke militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat 1964, adalah Augustus C Long, seorang anggota direksi Freeport. Long dicurigai yang mendesain kejatuhan Soekarno.

Long punya kepentingan besar atas Indonmesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of Callifornia).

Soekarno di tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60% dari labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno itu.

Dokumen CIA yang sudah dibuka untuk umum beberapa tahun lalu membuktikan: Augustus C Long sangat marah kepada Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini (Soekarno) disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang menguntungkan Long: ia juga aktif di Presbysterian Hospital di New York dan dia pernah dua tahun menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat itu merupakan simpul pertemuan para tokoh CIA.

Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan Long antara tahun 1964 sampai tahun 1970. Long pensiun sementara sebagai pemimpin Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang krusial?

Pease mendapatkan data: pada Maret 1965,  Augustus  C Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Augustus 1965, Long diangkat menjadi anggota Dewan Penasihat Intelijen Kepresidenan Amerika Serikat untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki  pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia Amerika Serikat di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno ,yang dilakukan Amerika Serikat dengan menggerakan sejumlah perwira  Angkatan Darat yang disebut sebagai Our Local Army Friend (Lihat Dokumen CIA 1965).

Sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan “kelompok Jenderal Soeharto akan mendesak Angkatan Darat agar mengambil alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan tetap”. Mantan pejabat CIA, Ralph Mc Ghee, juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.

Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno, Forbes Wilson mendapat telepon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams,yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget.

Ketika itu Soekarno masih sah sebagai Presiden Indonesia bahkan hingga 1967. Lalu, dari mana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?

Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah punya kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elite Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija, mantan perwira KNIL.

Soeharto sendiri adalah mantan Sersan KNIL. Tahija  berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri  sangat berpengaruh di dalam Angkatan Darat, karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.

Sebab itulah, ketika Undang-Undang Nomor 1/1967 tentang penanaman Modal Asing (PMA), yang draft-nya dirancang di Jenewa-Swiss dan didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Jenderal Soeharto adalah menyerahkan Freeport menguras emas di Papua. Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat.

Jika di zaman pemerintahan Presiden Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, kontrak kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia sejak Soeharto berkuasa.

Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel, perusahaan Amerika Serikat yang banyak memperkerjakan pentolan CIA. Direktur CIA, John Mc Cone, memiliki saham Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978 pada perusahaan itu.

Barulah di tahun 1980, Freeport menggandeng Mc Moran milik James ”Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari US$ 1,5 miliar per tahun.

Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport- Mc Moran, George A Maley, menulis sebuah buku berjudul Grasberg setebal 384 halaman dan memaparkan bahwa tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia , sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar di dunia. Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan, di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga senilai US$ 40,3 miliar dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis bahwa biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yan g ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.

Jadi, istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura, karena gunung tersebut memang gunung emas. Walau juga mengandung tembaga, tapi emas jauh lebih banyak.

Soeharto sendiri dalam kunjungannya ke Timika di tahun 1968 serta-merta memberi nama kota tempat kompleks pertambangan itu dengan nama Tembagapura, karena memang dia termasuk penguasa yang tidak tahu bahwa di sana lebih banyak emas daripada tembaga.

Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu, walau sedikitpun. Karena itulah Freeport  membangun pipa–pipa raksasa dan kuat dari Grasberg ke Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafura, tempat telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika Serikat. “Sungguh-sungguh suatu perampokan besar,” tulis Pease. Perampokan yang direstui oleh Pemerintah Indonesia sampai sekarang.

Sementara ini diperkirakan Gunung Gresberg  dan Ersberg masih menyimpan 18 juta ton cadangan tembaga dan 1.430 ton cadangan emas. Di lokasi Ersberg dari tahun 1973-1994 diperkirakan 2,5 miliar ton emas, jauh lebih banyak daripada tembaga.

KEGIATAN di Freeport yang mengabaikan hak tradisional suku Amungme adalah pelanggaran hak asasi manusia berat dengan kekerasan. Pada tahun 1971, mereka dipindahkan ke lembah-lembah tanpa menghormati hak atas tanah leluhur mereka dan juga hutan yang menyediakan binatang perburuan bagi suku itu.

Tampaknya, gunung salju yang dicatat Capten Jan Cartenz, pelayar Belanda yang mencatat dalam logbook-nya pada 16 Februari 1623, telah membawa bencana bagi kehidupan masyarakat Papua, terutama bagi suku Amungme, pemilik asli gunung emas itu.

Setiap hari mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri  dengan sorot mata yang mengandung dendam kapal-kapal mengangkut tanah yang dikeruk dari perut Ibu Pertiwi, ibu bumi mereka, sebanyak 700.000 ton yang mengandung sedikitnya 225 ribu ton bijih emas.

Menurut mitologi, Tanah Amungme adalah jelmaan dari ibu leluhur mereka. Hanyalah suku Amungme yang bisa merasakan betapa perihnya tubuh Sang Ibu leluhur itu diluluhlantakkan. Sepanjang hari dalam deru mobil proyek, mereka senantiasa mendengar ada tangisan Ibu Amungme.

Bung Karno pernah mengatakan, biarkan kekayaan itu tertanam dalam perut Ibu Pertiwi sampai anak-anaknya sendiri mampu menggalinya. Dalam tulisannya jauh sebelum merdeka, Bung Karno mengingatkan, kaum kapitalis akan datang kembali ke negeri ini dengan berbagai cara untuk menguras kekayaan bangsa Indonesia. Karena itu, lebih dari 5.000 pemuda disekolahkan  ke luar negeri, termasuk mantan Presiden RI BJ Habibie.

Sementara itu, CIA berkejaran dengan waktu agar  proyek mereka, sarjana-sarjana dalam sindikat Berkeley, lebih dulu kembali untuk mengatur politik ekonomi di Tanah Indonesia. Kelak setelah Soeharto berkuasa, merekalah yang merekayasa Undang-Undang Penanaman Modal Asing, yang justru lebih menguntungkan negara-negara kapitalis.

Kita jangan terkagum-kagum pada proyek raksasa Freeport, karena dibuat dengan teknologi raksasa. Tekhnologi secanggih itu mereka lakukan adalah dengan tujuan  untuk menguras habis isi perut Gunung Ersberg dan Gunung Grasberg selama jangka waktu kontrak.

Tentu berbeda apabila bangsa kita yang mengeksploitasi sendiri emas dan tembaga di sana, semestinya terukur sesuai dengan kebutuhan APBN kita setiap tahun. Dengan demikian kita pun akan menguasai mineral ikutan lain yang juga mahal dan terutama  tidak merusak sama sekali alam Papua dan pasti tidak mengabaikan kepentingan suku Amungme.

Siapa bilang kita tidak bisa mengelola Ersberg dan kekayaan negeri kita sendiri? Lihatlah buku The Golden World. Sampul buku itu adalah mahkota  Raja Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang dibuat oleh para perajin dari Pulau Ndao, Kabupaten Rote Ndao. Profesor James Fox dalam sebuah penilitiannya membenarkan keahlian masyarakat di Pulau Ndao. Mereka belum dianggap dewasa apabila belum mampu membuat perhiasan dari emas.

Kenyataan itu membuktikan, kita mampu mengolah emas kita sendiri, meski tanpa teknologi secanggih Freeport. Terukur sesuai kebutuhan dan bisa menyejahterakan anak negeri ini sepanjang negeri ini masih ada.  Soekarno pada masanya bisa melakukan itu. Fidel Castro, dan kemudian  pemimpin negara-negara Amerika Latin, juga mampu mengusir kaum kapitalis. Lalu, mengapa kita tidak bisa? [Peter A Rohi]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 26 Januari 2016

Baca juga: