Koran Sulindo – Uber, Gojek, dan Grab telah membanjiri pasar transportasi urban dengan citra sebagai penghubung antara pengemudi dan penumpang. Pengemudi disebut sebagai “mitra” atau “wirausahawan mikro” yang dapat menentukan berapa banyak uang yang ingin mereka hasilkan, kapan pun mereka mau.
Namun, penelitian saya menunjukkan bagaimana citra seperti itu mengecoh, bahkan mengelabui pengemudi dan penumpang. Selama enam bulan, dari November 2016 hingga April 2017, saya menganalisis narasi dan testimoni pengemudi dalam berbagai forum di Facebook dan Google+ yang diikuti lebih dari 80.000 anggota. Saya juga berbincang dengan sepuluh pengemudi di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar pada pertengahan 2017.
Saya menemukan bahwa, alih-alih menjalani hubungan kemitraan, pengemudi mengalami relasi eksploitatif. Mereka diperlakukan seperti buruh informal dengan perlindungan kerja yang minim atau bahkan tak ada sama sekali.
Menggunakan teknologi dan retorika, perusahaan transportasi daring berhasil mendikte pengemudi dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara. Sistem tersebut menciptakan ketimpangan akses dan kuasa yang membuat perusahaan mampu memaksa pengemudi terus memeras keringat. Di saat yang sama, perusahaan mengeliminasi hak-hak pengemudi sebagai pekerja dan membebankan biaya dan risiko kepada mereka.
Otomatisasi kontrol
Memang benar bahwa pengemudi dapat memutuskan untuk mematikan aplikasi kapan pun mereka mau. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Sesudah masuk ke dalam app, program tersebut mengontrol pengemudi – ke mana mereka pergi, pesanan apa yang mereka ambil. Pilihan pekerjaan datang dalam hitungan detik. Pengemudi hanya memiliki waktu 10 detik untuk memilih “terima” atau “menolak” order yang ditujukan pada mereka.
Gojek, Grab, dan Uber mengatur jumlah minimum penerimaan pesanan yang membuat pengemudi harus terus-menerus mengambil penumpang. Jumlah order yang dijalankan sangat menentukan dalam pendapatan bonus bagi pengemudi. Tarif pengemudi (Rp 1.000-2.000 per kilometer untuk ojek) tidak cukup menutupi kebutuhan hidup. Akibatnya, kebanyakan pengemudi bergantung pada bonus harian sebagai pendapatan utama.
Bonus diberikan berdasarkan poin. Mengantar penumpang untuk jarak jauh dan pesanan tertentu seperti pengantaran makanan dihargai dengan poin lebih tinggi. Namun pesanan jenis ini juga memakan lebih banyak biaya bagi pengemudi karena mereka harus menanggung bahan bakar dan parkir.
Jumlah bonus dan poin berbeda di tiap-tiap perusahaan. Untuk Gojek contohnya, bonus harian maksimum sekitar Rp 90.000 untuk motor – jumlah ini terus menurun dari bulan ke bulan.
Agar bisa mengambil bonus, pengemudi harus meraih 60-75% rata-rata tingkat penerimaan pesanan (persentase pekerjaan yang tuntas dari seluruh pesanan, atau persentase performa) dan mendapat rating 4,5 dari penumpang.
Sistem semacam ini membentuk pola yang saya sebut “gamification of work” atau kerja yang dibuat menyerupai permainan. Perusahaan menentukan target pencapaian penghasilan yang mendorong pengemudi untuk bekerja lebih lama dan lebih keras. Kerja pengemudi tidak hanya sesederhana memberikan tumpangan tapi juga permainan matematika: pengemudi harus terus mengkalkulasi poin, bonus, persentase performa, dan rating agar mendapatkan upah yang cukup.
Namun, aturan permainan tidak jelas. Seringkali persentase kinerja pengemudi tidak bertambah meski mereka telah menyelesaikan pesanan. Sebaliknya, jika order dibatalkan–baik oleh pengemudi maupun pelanggan–persentase performa mereka jatuh drastis.
Seorang pengemudi yang menjadi informan saya mengekspresikan keheranannya:
“Performa itu kayak rupiah: naiknya susah, tapi gampang banget terjun bebas.”
Ketika pengemudi mencoba melaporkan masalah teknis ini ke perusahaan, mereka mendapat jawaban standar, “Memang sudah begitu diatur oleh sistem”. Namun bagi para pengemudi tidaklah masuk akal bahwa mesin bisa mencurangi mereka. “Pasti manusia yang curang pada kami.”
Bonus sebagai insentif ditunjang dengan pengenaan skors (suspend) sebagai alat mendisiplinkan pengemudi. Sistem skors adalah strategi utama untuk memaksa pengemudi mengikuti aturan.
Pengemudi tidak dapat menolak atau membatalkan terlalu banyak pesanan. Risikonya, pengemudi dapat dikenai sanksi mulai dari suspend sementara sampai putus mitra.
Sebagai gambaran, Gojek memiliki daftar yang panjang pelbagai aturan yang dapat berakibat pengenaan sanksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan putusnya kerja sama (putus mitra).
Beberapa kasus di Gojek dan Grab menunjukkan bahwa pengemudi tidak dapat menarik uang di akun deposit mereka jika mereka diberhentikan.
Ilusi “Kemitraan”
Perusahaan menutupi praktik ekploitasi tenaga kerja dalam bingkai retorika kebebasan, fleksibilitas, dan kemitraan. Retorika ini bertumpu pada konsep konvensional hubungan kerja yakni pemberi kerja memiliki alat produksi dan membayar upah per jam. Kenyataan bahwa perusahaan hanya menyediakan aplikasi selalu ditekankan untuk menciptakan kesan bahwa pengemudi bukanlah pekerja.
Jauh dari sebuah platform yang netral, aplikasi ini menciptakan hierarki antara penumpang-perusahaan-pengemudi. Perusahaanlah yang berada di puncak kekuasaaan, dengan kontrol pada teknologi, modal, dan akses. Sementara itu, “penumpang bertindak sebagai manajer” karena rating mereka menentukan bonus yang diterima pengemudi.
Walau rating membantu memastikan kualitas pelayanan, penumpang yang tidak memahami standar rating bisa merugikan pengemudi. Seorang teman saya enggan memberikan lima bintang karena menurutnya “kesempurnaan hanya milik Tuhan.” Sementara bagi pengemudi, bintang empat sudah menjatuhkan rata-rata rating mereka.
Jika ada perselisihan, perusahaan hampir pasti membela penumpang. Salah seorang narasumber saya mengatakan temannya diblok aksesnya selama tiga hari oleh Grab karena seorang penumpang salah mengirimkan komentar buruk kepadanya soal pengemudi lain.
Posisi sebagai “mitra” mengharuskan pengemudi untuk menyediakan alat produksi mereka sendiri (kendaraan) dan menanggung biaya bahan bakar, parkir, perawatan, asuransi kendaraan, dan komunikasi dari saku mereka sendiri.
Akibatnya, semakin banyak mereka bekerja, semakin mahal pengeluaran, semakin besar risiko kelelahan dan kecelakaan yang mereka hadapi.
Pada akhirnya, perusahaan memegang kendali dalam menentukan aturan tenaga kerja. Sesudah memotong subsidi bagi pengemudi, manuver terbaru adalah mengurangi jumlah bonus secara perlahan dan menambah persentase performa minimum. Perusahaan sangat sering mengubah dan menambah aturan, sementara pengemudi tidak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi.
Pengemudi telah berupaya memperjuangkan hak mereka melalui aksi protes di jalanan. Namun pada 2017, perusahaan mulai melarang pengemudi terlibat dalam aksi unjuk rasa apa pun.
Kekosongan Hukum
Temuan penelitian saya beririsan dengan riset dan investigasi mengenai aturan tenaga kerja Uber di Amerika Serikat, Inggris, dan India. Pengemudi Uber telah mengajukan berbagai tuntutan hukum di pengadilan Amerika dan Eropa untuk memperjuangkan hak-hak pekerja mereka.
Di Indonesia, perusahaan seperti Gojek, Grab dan Uber dapat mengekploitasi tenaga kerja tanpa adanya batasan hukum. Peraturan Menteri Perhubungan mengenai transportasi online hanya mengatur hal-hal teknis seperti batas tarif uji kelayakan kendaraan untuk taksi online. Aturan ini pun dibatalkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung.
Dalam hal perlindungan kerja, Undang-Undang Ketenagakerjaan saat ini belum mengatur hak dan perlindungan buruh dalam relasi kerja semi informal gaya baru, seperti yang ada di industri transportasi online.
Pola-pola eksploitasi yang terjadi secara global menyoroti pentingnya kehadiran regulasi yang tanggap dengan cara-cara kerja baru di era digital. Sudah saatnya kita mulai mendorong perdebatan agar lebih fokus pada hak-hak pengemudi sebagai pekerja. [Aulia Nastiti]
Aulia Nastiti adalah mahasiswa tingkat doktoral di Fakultas Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat.
Disalin dari https://theconversation.com/cerita-pengemudi-menguak-eksploitasi-di-gojek-grab-dan-uber-84599; di bawah lisensi Creative Commons