Mengikis Hidup 24 Tahun

Ilustrasi (AI/AT)

Catatan Cak AT:

Keponakan saya, anak semata wayang, belum lama menemukan keindahan dunia usaha. Namun, harapan itu patah — secara harfiah. Suatu pagi, saat menarik pintu rumahnya, tubuhnya ambruk. Bukan karena ada jeritan “maling!”, melainkan karena tulangnya tiba-tiba seperti kerupuk yang direndam teh hangat.

Rumah sakit di Jakarta menyerah mendiagnosis, hingga Malaysia menjadi pelabuhan terakhir. Di sana, alat diagnosa mendeteksi bahwa darahnya “memakan” tulangnya, seperti air garam menggerus baja. Akhirnya, engsel tulang selangkangannya diganti dengan buatan sepanjang 20 cm.

Cerita ini menjadi pembuka yang memilukan, tetapi juga menjadi pertanyaan besar: apa yang sebenarnya terjadi padanya? Salah satu dugaan kuat hasil diagnosa, kerapuhan itu dampak dari vaksin Covid-19. Sebuah dugaan yang, meskipun kontroversial, kian mendapatkan perhatian berkat sederet fakta mencengangkan.

Narasi fakta seolah sulit ditelan. Pernahkah Anda mendengar bahwa vaksin mRNA bisa memperpendek usia manusia? Sebuah laporan dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) yang diungkapkan oleh Dr. Robert Malone, penemu teknologi mRNA, menyebutkan bahwa: “Vaksin Covid-19 dapat mengurangi harapan hidup hingga 24 tahun.”

Seperti keponakan yang tulangnya keropos, dampaknya juga diam-diam. Menurut data dari Cleveland Clinic, semakin banyak dosis vaksin yang diambil, semakin rentan tubuh terhadap infeksi Covid-19.

Sebagai contoh, di tahun 2022, orang dengan tiga dosis vaksin 35 kali lebih mungkin terinfeksi Covid-19 dibandingkan mereka yang tidak divaksin. Lebih dari itu, angka kematian meningkat 7% per dosis setiap tahunnya.

Ini bukan angka sembarangan; ini adalah statistik yang dihasilkan dari data besar. Vaksin, yang semula dianggap sebagai penyelamat, kini berubah menjadi antagonis dalam drama kesehatan global.

Jika hidup adalah panggung teater, vaksin Covid-19 adalah aktor antagonis yang memenangkan peran utama. Dengan janji “perlindungan”, ia justru membawa kita ke era baru imunodefisiensi buatan, atau dalam bahasa satiris: “AIDS versi farmasi.” Seperti kisah keponakan saya, banyak yang merasa tubuh mereka telah “diupdate” seperti aplikasi ponsel —sayangnya, hasilnya adalah bug besar.

Bayangkan jika vaksin ini dijual seperti produk di e-commerce. Deskripsinya mungkin akan berbunyi: “Vaksin anti-Covid, meningkatkan kemungkinan tertular hingga 35x, bonus risiko kanker, dan pengurangan harapan hidup hingga 24 tahun. Stok terbatas, beli sekarang!” Ironisnya, orang tetap saja membelinya karena “ini perintah.”

Kisah keponakan saya adalah pengingat bahwa kita hidup di zaman di mana fakta dan fiksi sering bercampur aduk. Apakah benar vaksin menyebabkan tulangnya rapuh? Atau ini hanyalah kebetulan medis yang tragis?

Fakta-fakta dari CDC, Cleveland Clinic, dan berbagai studi lainnya memang menunjukkan korelasi yang mengerikan. Namun, seperti kata pepatah, “korelasi tidak selalu berarti kausalitas.”

Tapi, di mana kita menarik batas antara kehati-hatian dan paranoia? Jika vaksin benar-benar memiliki dampak sebesar ini, mengapa pemerintah global tidak segera menghentikan programnya? Apakah ini murni konspirasi, ataukah hanya ketidaktahuan yang merajalela?

Keponakan saya mungkin hanyalah satu dari sekian banyak korban “eksperimen global” ini. Cerita tentang tulang rapuhnya mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah, tetapi ia adalah cermin dari kebingungan dunia tentang vaksinasi.

Di tengah klaim-klaim yang membingungkan, satu hal yang pasti: kita butuh lebih banyak transparansi, lebih banyak data, dan lebih banyak keberanian untuk mengakui kesalahan jika memang ada.

Karena pada akhirnya, kita semua ingin hidup sehat, bukan sekadar menjadi statistik dalam laporan tahunan badan kesehatan dunia. Dan tentu saja, kita ingin melihat orang seperti keponakan saya menari lagi, kali ini bukan tarian patah tulang, tetapi tarian kemenangan atas tragedi.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis