Anggota HTS di selatan Suriah.

Koran Sulindo – Dengan makin banyak bus-bus hijau yang memuat para teroris diberangkatkan menuju Idlib, akhir perang saudara di Suriah jelas sudah dipastikan.

Di wilayah yang menjadi rumah bagi 2,9 juta orang itu, separuh jumlah penduduknya justru berasal dari banyak tempat yang sebelumnya dikuasai teroris dari mana mereka melarikan diri atau dievakuasi.

Idlib sekarang adalah satu-satunya benteng besar terakhir bagi mereka yang berusaha menggulingkan Bashar al-Assad selama tujuh tahun terakhir ini.

Jika pada akhirnya Idlib jatuh, mereka yang melawan Assad bakal mendapati dirinya tercerai berai di berbagai kantong kecil di seluruh negeri dan secara efektif menandakan kekalahan mereka.

Dari puluhan faksi yang saling cakar di Idlib, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) adalah kekuatan paling dominan dan menguasai berbagai wilayah penting termasuk ibu kota provinsi dan perbatasan dengan Turki di Bab al-Hawa. Kelompok ini memiliki sedikitnya 10.000 tentara termasuk banyak di antaranya adalah militan-militan asing.

Dengan media Barat menyebut Idlib sebagai benteng terakhir ‘pemberontak moderat’ istilah itu jelas bias karena membungkus wajah HTS yang sesungguhnya. Fakta di lapangan menunjukkan Idlib adalah kubu Al Qaeda dan segala afiliasinya termasuk ISIS dan keluarga mereka.

Istilah ‘pemberontak’ semestinya tak berlaku bagi salah satu dari kelompok-kelompok tersebut.

HTS resmi terbentuk 28 Januari 2017 dari merger antara Jabhat Fateh al-Sham, Front Ansar al-Din, Jaysh al-Sunna, Liwa al-Haqq, dan Gerakan Nour al-Din al Zenki. Jabhat Fateh al-Sham adalah rebranding dari Jabhat al-Nusra yang merupakan cabang Al-Qaeda di Suriah.

Ketika pertama kali muncul bulan Januari 2012, Jabhat al-Nusra tak segera mengumumkan keterlibatan resminya dengan Al-Qaeda karena khawatir kehilangan dukungan lokal. Mereka bertindak seperti kelompok lain yang lahir dari Musim Semi Arab seperti gerakan Ansar al-Syari’ah di Tunisia, Libya, atau Yaman.

Sementara orang masih sibuk mengdiidentifikasi kelompok itu sebagai gerakan jihadis transnasional yang lebih luas, di akhir 2012 al-Nusra sudah tampil sebagai aktor militer penting dalam pemberontakan di Suriah.

Kedok mereka baru terbuka lebar April 2013, ketika itu Abu Bakr al-Baghdadi secara sepihak menuntut al-Nusra harus bergabung membentuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Mempertahankan otonominya dari al-Baghdadi sekaligus berharap pembelaaan, Abu Muhammad Al-Jaulani pemimpin al-Nusra justru mengumumkan ‘pembaruan’ baiat kepada kepemimpinan Ayman al- Zawahiri di Al-Qaeda.

Sebagai jawaban baiat itu, al-Zawahiri memerintahkan al-Baghdadi untuk Negara Islam untuk kembali ke Irak sebagai Islam Negara Irak sekaligus mendesak kedua belah pihak agar bekerja sama.Perintah itu terang-terangan diabaikan Baghdadi dan kelompoknya tetap bertahan di Suriah.

Merek Baru

Popularitas al-Nusra justru melejit di antara para pemberontak Suriah setelah mereka bergabung dengan perang habis-habisan melawan ISIS sejak Januari 2014. Di sisi lain, meski persatuan faksi menjadi konsep ideal operasi militer yang efektif untuk mencapai tujuan politik di Suriah, gagasan tersebut tak pernah bisa diterapkan di lapangan.

Hambatan khas dari terwujudnya persatuan itu adalah lokalisme dan perselisihan pribadi di antara pemimpin kelompok pemberontak. Dalam kasus Jabhat al-Nusra, kekhawatiran masuk daftar hitam atau kehilangan patron atau donator luar negeri membuat kelompok-kelompok lain enggan bergabung.

Belakangan, masalah al-Nusra terpecahkan ketika al-Zawahiri pada bulan Januari 2014 memberikan restunya jika kelompok itu berniat memutuskan hubungan dengan Al-Qaeda jika hal tersebut membantu mendorong persatuan di kalangan pemberontak Suriah.

Ketika pada bulan Juli 2016, sebuah laporan perjanjian antara AS-Rusia muncul untuk bersama-sama menargetkan al-Nusra, al-Jaulani pada 28 Juli 2016 mengumumkan pembubaran Jabhat al-Nusra sekaligus membentuk Jabhat Fateh al-Sham sebagai badan baru yang diklaim tak memiliki hubungan dengan pihak eksternal.

Menurut al-Jaulani, tujuan Jabhat Fateh al-Sham termasuk, “bekerja untuk persatuan faksi-faksi mujahidin, dan untuk memungkinkan kita untuk membebaskan Suriah dari aturan tiran dan melenyapkan rezim dan sekutu-sekutunya.”

Sembari berusaha mengindari menjadi target AS dan Rusia, tujuan baru itu memancing minat kerja sama tokoh-tokoh terkemuka di Ahrar al-Sham, salah satu pesaing utama Jabhat Fateh al-Sham.

Bersaing sengit

Pembicaraan antara kedua kelompok itu segera terhenti ketika menyangkut kepemimpinan dan baru dilanjutkan setelah Aleppo direbut Damaskus bulan Desember 2016.

Ketika akhirnya kesepakatan dicapai, Abu Ammar Taftanaz dari Ahrar al-Sham ditunjuk menjadi pemimpin faksi sementara al-Julani bertindak sebagai komandan militer. Perundingan kembali macet ketika beberapa faksi kunci di Ahrar al-Sham menolak bergabung.

Analis menyebut penolakan itu dipicu kekhawatiran pendukung asing mereka akan daftar hitam organisasi teroris.

Sementara AS dan Rusia mulai meningkatkan serangan udara pada target-target Jabhat Fateh al-Sham. Turki mulai menggiring faksi-faksi pemberontak di utara Suriah untuk berpartisipasi dalam perundingan di Astana ibukota Kazakhstan.

Jabhat Fateh al-Sham menuding kelompok ini sebagai ‘faksi Astana’ dan menyebutnya ancaman.

Ketika wakil-wakil faksi pemberontak di utara yang didukung asing berunding di Astana, Jabhat Fateh al-Sham mengirim konvoi untuk mengepung pangkalan mereka satu demi satu, memaksa menyerah atau memberikan persediaan senjata-senjata mereka.

Di sisi lain meski Ahrar al-Sham ngotot mundur dari kerja sama, al-Julani menolak membatalkan perjanjian yang sudah dinegoisasikan dan mengumumkan pembentukan Hayat Tahrir al-Sham pada 28 Januari 2017.

Dalam pengumuman video yang disebarluaskan, HTS menyebut, “..proyek ini menjadi inti yang menyatukan kemampuan revolusi, mempertahankan jalurnya, dan mewujudkan tujuan yang diharapkannya. Sebuah langkah untuk menyelamatkan medan perang dari ketegangan militer dan politik yang meletus di antara faksi-faksi.”

Sementara perundingan Astana menyepakati perjanjian de-eskalasi antara pemberontak dengan rezim Assad, persaingan untuk legitimasi dan kontrol sosial antara HTS dengan Ahrar al-Sham justru makin sengit.

Ahrar al-Sham berkeras mengalahkan HTS sebagai pemimpin simbolis oposisi revolusioner di barat laut Suriah, termasuk ketika mengadopsi bendera tiga warna di samping spanduk Islamnya sendiri.

Setelah berbulan-bulan terlibat persaingan terselubung, konfrontasi keduanya pecah secara terbuka. HTS berhasil mengisolasi unsur terkuat Ahrar al-Sham di selatan Idlib dan Hama sementara pada saat yang sama memusatkan kekuatannya yang paling efektif menyerang kubu Ahrar al-Sham di utara Idlib.

Hanya dalam hitungan hari, Ahrar al-Sham runtuh dan kepemimpinannya menyetujui penyelesaian untuk menyerah.

Menyusul penyerahan itu, HTS secara optimis menerbitkan pernyataan berjudul “Revolusi Berlanjut,” di mana kelompok itu membenarkan “langkah-langkah berani untuk menyatukan revolusi Suriah dan visi eksternalnya.”

Tentu saja, boleh HTS merasa optimistis. Namun, dengan persiapan Tentara Suriah menyerbu Idlib yang hampir tuntas, nasib HTS boleh jadi sudah ditentukan. Mereka tak bakalan berbeda nasib dengan pendahulunya yang telah tumpas, ISIS. [TGU]