Tanggal 31 Mei 2025 menjadi momen penting bagi banyak masyarakat di dunia, terutama komunitas Tionghoa, dalam memperingati Festival Perahu Naga Internasional. Dirayakan setiap tahun pada hari kelima bulan kelima dalam kalender Lunar Tiongkok, festival ini bukan hanya pertunjukan budaya yang semarak, tetapi juga perayaan yang sarat makna sejarah dan spiritual. Tahun ini, perayaan tersebut bertepatan dengan 31 Mei dalam kalender Masehi sebuah pengingat akan kisah tragis dan heroik dari seorang pujangga sekaligus patriot bernama Qu Yuan.
Asal-Usul Festival
Festival Perahu Naga lahir dari kisah nyata yang kemudian dilapisi oleh mitos dan keyakinan masyarakat Tiongkok Kuno. Qu Yuan, sosok sentral dalam festival ini, hidup pada masa Dinasti Zhou ketika Tiongkok masih terpecah menjadi negara-negara bagian yang saling berseteru. Ia menjabat sebagai pejabat tinggi di pemerintahan Negara Chu, dan dikenal sebagai penyair dengan kepedulian mendalam terhadap kondisi sosial serta politik di sekitarnya.
Keberaniannya dalam mengkritik sistem pemerintahan yang korup membuatnya menjadi musuh bagi para pejabat yang merasa tersudut. Ia dituduh melakukan pengkhianatan, lalu diasingkan oleh rajanya sendiri. Dalam pengasingan, Qu Yuan terus menulis puisi yang mengangkat tema nasionalisme, kerinduan pada negeri, dan keindahan Tiongkok.
Namun, ketika mendengar bahwa pasukan dari negara Qin — yang terkenal sebagai kekuatan militer terkuat kala itu telah berhasil menaklukkan wilayah Chu, Qu Yuan merasa kehilangan harapan. Demi cintanya yang begitu besar kepada tanah air, ia memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di Sungai Miluo, pada hari kelima bulan kelima kalender lunar.
Tradisi dan Makna Simbolik
Warga Chu yang mendengar kabar kematiannya segera berkumpul dan menyusuri sungai dengan perahu untuk mencari jenazah sang pujangga. Mereka memukul genderang dan mendayung keras, berharap bisa mengusir roh jahat dan predator air yang mungkin akan mengganggu tubuh Qu Yuan. Masyarakat juga melemparkan bola-bola nasi ketan ke sungai, sebuah tindakan simbolis untuk memberi makan ikan dan menjaga jenazah Qu Yuan agar tidak terganggu. Dari sinilah muncul dua tradisi khas festival ini: balap perahu naga dan makan zongzi, yaitu makanan dari nasi ketan yang dibungkus daun dan diisi dengan aneka bahan.
Legenda ini berkembang seiring waktu, dan kematian Qu Yuan tidak hanya menjadi tragedi, tetapi juga awal dari sebuah penghormatan tahunan. Karya-karya puisinya disebarluaskan dan dikenang hingga kini, menjadikannya salah satu tokoh sastra paling dihormati dalam sejarah Tiongkok.
Tujuan Festival
Selain sebagai penghormatan terhadap Qu Yuan, Festival Perahu Naga juga memiliki dimensi spiritual yang sangat penting dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok Kuno. Hari kelima di bulan kelima lunar dianggap sebagai hari yang penuh kesialan, diyakini membawa penyakit, hama, kekeringan, dan nasib buruk lainnya. Oleh sebab itu, festival ini juga menjadi sarana ritual penolak bala.
Melalui tabuhan genderang, perlombaan perahu naga, serta tradisi-tradisi lain yang dijalankan, masyarakat berusaha mengusir energi buruk dan roh jahat yang dipercaya mengintai pada hari tersebut. Dengan semangat kebersamaan dan semarak budaya, Festival Perahu Naga menjadi momentum bagi komunitas untuk membersihkan diri secara spiritual dan menyambut keberuntungan.
Kini, Festival Perahu Naga tidak hanya dirayakan di Tiongkok saja. Di berbagai negara dengan komunitas diaspora Tionghoa yang besar seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan hingga Kanada dan Amerika Serikat, festival ini diadakan dalam skala internasional. Ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan atau bahkan ikut serta dalam lomba perahu naga yang menghiasi sungai-sungai dan danau, menjadikan festival ini ajang pertukaran budaya yang menghubungkan sejarah dengan masa kini. [UN]