Mengenang Persahabatan Tulus Taufiq Kiemas dengan Wartawan

Pemimpin Redaksi Koran Suluh Indonesia yang juga penulis biografi Taufiq Kiemas, Imran Hasibuan, berziarah ke makam Taufiq Kiemas di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, 8 Juni 2016.

Koran Sulindo – Rabu sore sampai malam ini (8/6), Keluarga Besar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memperingati haul 1.000 hari wafatnya Taufiq Kiemas, mantan Ketua MPR yang merupakan suami dari Megawati. Haul ini dilaksanakan di kediaman keluarga mereka di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Berbagai tokoh pun hadir, termasuk Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Menurut Jokowi dalam sambutannya, Taufiq Kiemas adalah sosok yang banyak mendamaikan konflik antar-individu dan golongan. “Kita kembali mengingat beliau yang selalu dengan ikhlas, dengan segala risiko, bisa kita lihat banyak sekali konflik individu, beliau selalu menjadi jembatan kembalinya antar-individu, antar-lembaga yang telah berkonflik,” tutur Jokowi.

Selain itu, lanjutnya, Taufiq Kiemas selalu memberikan orientasi empat pilar kebangsaan kepada para pejabat pemerintah dan lembaga semasa hidupnya. “Pancasila sebagai dasar negara, sebagai kegiatan sehari hari, beliau selalu ingatkan itu,” tutur Jokowi.

Taufiq Kiemas memang sosok multidimensi. Dan, beliau semasa hidupnya terlihat sebagai seorang nasionalis yang gigih. Perjalanan panjangnya sebagai aktivis, politisi, dan kemudian menjadi seorang negarawan dapat menjadi landasan yang kuat untuk membuktikan pernyataan itu.

Bukti yang masih bergema hingga kini adalah upayanya yang sungguh-sungguh, baik sebagai pribadi maupun sebagai Ketua MPR semasa hidupnya, untuk melakukan reaktualisasi terhadap nilai-nilai dasar kebangsaan dan kebernegaraan, yang beliau namakan “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” dan dengan cepat menjadi populer dengan sebutan “Empat Pilar”: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.

Secara historis, gerakan ini memang tak terlepas dari fenomena mengerasnya politik identitas setelah Orde Baru tumbang. Namun, semangat Taufiq Kiemas yang menggelora dalam mengampanyekan dan menyosialisasi “Empat Pilar” itu ke seluruh lapisan masyarakat bisa juga dibaca sebagai upaya peneguhan dirinya sebagai penggenggam warisan kaum nasionalis, yang di dalamnya tertera nama-nama sebagian besar pejuang perintis kemerdekaan dan Bapak Bangsa republik ini. Taufiq Kiemas begitu yakin bahwa nasionalisme yang terkandung dalam “Empat Pilar” adalah jawaban yang paling rasional sekaligus memiliki kandungan historis untuk menghadapi persoalan-persoalan yang melanda bangsa dan negara Indonesia yang plural, baik kini maupun di masa yang akan datang.

Lihatlah bagaimana Taufiq Kiemas memulai kehidupannya sebagai seorang aktivis. Pidato Bung Karno ketika membubarkan Partai Masjumi dan PSI telah membetot perhatiannya dan mewarnai hari-hari remajanya, sampai akhirnya Taufiq Kiemas ketika menjadi mahasiswa memilih Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sebagai wadah aktivitasnya. Ayahnya, Tjik Agus Kiemas, sampai menangis karena pilihannya tersebut. Bukan menangis haru karena sang sulung bergiat dalam hal yang positif, tapi benar-benar menangis sedih. Pasalnya, Tjik Agus Kiemas adalah seorang kader Masjumi dan seluruh keluarganya adalah pendukung partai berideologi Islam itu. Taufiq Kiemas telah “menyeberang”, yang lewat diskusi panjang akhirnya sikapnya ini bisa dipahami oleh kedua orang tuanya dan juga seluruh keluarganya.

Sebagai aktivis GMNI, Taufiq Kiemas juga bukan sekadar mengepalkan tinju atau berteriak untuk mengekspresikan tanggung jawab sosial terhadap rakyat kecil. Tapi, Taufiq Kiemas menghayati kehidupan rakyat dengan terjun langsung ke tengah mereka. Bersama kawan-kawannya sesama aktivis GMNI di Palembang, Taufiq Kiemas pernah membuat koperasi untuk para tukang becak dan mengorganisasi gerakan buruh di Palembang. Sejalan dengan itu, Taufiq Kiemas muda juga menyadari, seorang aktivis harus selalu mengembangkan wawasannya, terutama yang berkenaan dengan politik kebangsaan. Untuk itu, aktivitas Taufiq Kiemas muda juga diisi dengan laku ngangsu kawruh kepada tokoh-tokoh pejuang yang ada di daerahnya, Palembang dan sekitarnya—seperti A.K. Gani, Johan Hanafiah, dan Abihasan Said—dan juga bertekun dengan banyak buku bacaan.

Ketika aktif di GMNI inilah Taufiq Kiemas merasakan dua kali dinginnya lantai penjara: yang pertama pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru di Palembang; yang kedua dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, Jakarta, ketika Orde Baru telah berkuasa. Lepas dari penjara, Taufiq Kiemas menjalani kehidupannya sebagai politisi yang melakukan gerakan secara tertutup atau klandestin, terutama karena rerpresifnya rezim Orde Baru.

Selama belasan tahun bergerak di bawah tanah melawan kesewenang-wenangan rezim otoriter Orde Baru, lagi-lagi Taufiq tergugah oleh Bung Karno dalam menjalankan kehidupan berpolitiknya. “Aku pelajari dan aku renungkan, Bung Karno tidak pernah berpolitik secara tertutup. Bung Karno selalu berpolitik secara terbuka, dengan mendirikan partai politik dan menggugah kesadaran politik rakyat lewat pidato-pidato politiknya di tengah masyarakat,” ungkap Taufiq Kiemas.

Kesadaran Taufiq pun muncul untuk mengikuti jejak Bung Karno dalam berpolitik, yakni berpolitik secara terbuka. Apalagi, pada tahun 1973 Taufiq Kiemas resmi menjadi menantu Bung Karno, menjadi suami dari Megawati Soekarnoputri. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang kawannya dan tokoh-tokoh politik senior, Taufiq Kiemas pun pada akhirnya memutuskan untuk masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada awal 1980-an.

Cara berpolitik yang terbuka ini tentu saja membawa konsekuensi logis pada perubahan pola gerakan dan pemikiran strategis Taufiq Kiemas. Sungguhpun begitu, cara berpolitik tertutup yang Taufiq lakoni selama belasan tahun juga tak serta-merta sirna jejaknya. Justru, apa yang telah ia jalani di masa silam memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam kehidupan politik Taufiq Kiemas yang disalurkan lewat PDI. Maka, tak mengherankan juga ketika Taufiq Kiemas pada rentang waktu ini lebih banyak berkiprah di belakang layar dan membangun jejaring politik sampai ke pelosok-pelosok desa.

Soal membangun jejaring politik ini juga bisa ditafsirkan sebagai upaya Taufiq Kiemas merintis jalan menuju kursi kekuasaan, suatu peluang bagi dirinya sebagai seorang nasionalis untuk menerapkan gagasan-gagasan kebangsaan dan kebernegaraan di tanah air yang ia cintai. Walaupun pada akhirnya, sejarah mencatat, yang kemudian menduduki kursi nomor satu di republik ini adalah sang istri, Megawati Soekarnoputri. Toh, apa yang dilakukan Taufiq Kiemas punya andil yang tak sedikit untuk itu. Pada akhirnya, memang, pasangan Taufiq Kiemas-Megawati Soekarnoputri bukan sekadar pasangan suami-istri biasa, tapi sepasang politisi yang saling mengisi dan melengkapi, yang dimatangkan oleh suka-duka bersama dalam perjuangan membawa bangsa dan negara ini mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.

Kesempatan berada di lapisan teratas kekuasaan membuat jangkauan pandangan Taufiq Kiemas menjadi lebih luas terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan negaranya. Pada gilirannya, ini membuat Taufiq Kiemas menjadi semakin arif dan bijak sebagai seorang politisi. Dari titik inilah tranformasi terjadi pada sosok Taufiq Kiemas: dari seorang politisi yang cenderung berpikir untuk taktis dan praktis menjadi seorang negarawan, yang memprioritaskan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Taufik Kiemas berhasil menunjukkan perannya sebagai sosok yang memiliki kebijaksanaan dan kemampuan mengarahkan urusan bangsa dan negara serta isu-isu publik penting sebagai persoalan bersama, terutama ketika beliau mulai menjadi Ketua MPR.Sebagai politisi, pergaulan Taufiq Kiemas memiliki spektrum yang luas, bahkan ketika banyak pihak menilai predikat “negarawan” layak disematkan di dadanya. Dari sekian luas rentang pergaulan Taufiq Kiemas atau biasa disapa TK, pertemanan dengan kalangan wartawan adalah salah satu yang istimewa. Sejak masa-masa awal menjadi anggota parlemen, ia sudah menjalin pertemanan dengan para wartawan yang bertugas atau ngepos di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.

Rumah keluarga TK dan Megawati Soekarnoputri di Jalan Kebagusan IV, Jakarta Selatan, dan dua SPBU—yang berlokasi di Lapangan Ros-Jakarta Selatan dan di Pejompongan-Jakarta Pusat—juga menjadi saksi sejarah bagaimana pergumulan TK dengan para wartawan, yang saat itu menjadi benih kekuatan melawan dominasi dan otoritarianisme politik Orde Baru. Gerakan TK bersama Megawati, yang saat itu menjadi anggota DPR/MPR dari PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi, masih kelompok kecil.

Meski Megawati adalah putri Proklamator Bung Karno, saat itu potensinya sebagai simbol perlawanan belum begitu terlihat, karena memang geraknya dikekang rezim Orde Baru. Mungkin itu sebabnya TK berupaya agar Megawati bisa menjadi simbol perlawanan dan saluran aspirasi. Dan, upayanya tersebut banyak terbantu berkat pergaulan TK yang erat dengan banyak wartawan. Lewat peran media massa, tak bisa dinafikan, baik bangsa Indonesia maupun kalangan internasional semakin mengenal sosok Mega, baik pemikiran, sikap, maupun tindakannya.

Figur TK yang mudah bergaul, hangat dalam membangun perkawanan, dan pandai melihat situasi, tanpa logistik yang “wah” sekalipun, ternyata dapat memerankan diri sebagai pendamping dan pendorong Mega sebagai simbol perlawanan wong cilik yang sudah cukup geram dengan situasi politik Orde Baru. TK sendiri mengakui peran penting para wartawan dalam menyalurkan suara arus bawah.

Di tengah keterbatasannya dan tekanan rezim Orde Baru, TK masih bisa berbuat banyak karena menyadari punya banyak teman wartawan. “Kita tidak mungkin berani kalau wartawannya tidak punya jalur dengan arus bawah. Jadi arus bawah disuarakan wartawan, lalu kita didorong maju. Waktu itu yang didorong Bu Mega,” kata Taufiq.

Sukses menjadi pelaku sejarah dengan para wartawan memang kemudian memisahkan “nasib” bagi sebagian mereka yang dulunya ikut berbaur dalam konsolidasi di Jalan Kebagusan, serta sekadar kongko membicarakan situasi nasional di SPBU Lapangan Ros atau SPBU Pejompongan. Meski ada beberapa wartawan yang kemudian ikut bersama Taufiq terjun ke politik dan terpilih sebagai anggota DPR, kebanyakan memilih untuk tetap pada jalurnya sebagai wartawan.

Namun, apakah itu menjadi pemisah komunikasi persahabatan antara Taufiq dan wartawan? Tidak. Saat PDI yang kemudian berubah nama menjadi PDI Perjuangan dengan kepemimpinan Mega menjadi pemenang Pemilihan Umum 1999 dan Mega menjadi wakil presiden, dan kemudian menjadi presiden, pertemanan Taufiq sebagai suami presiden dengan para wartawan yang selama ini ikut “berjuang” bersamanya tetap terjaga.

Dalam buku 70 Tahun Taufiq Kiemas dipaparkan bagaimana hubungan Taufiq Kiemas dengan Sururi Alfaruq, Pemimpin Redaksi Harian Seputar Indonesia (Sindo), misalnya. Sururi Alfaruq adalah salah satu wartawan yang saat itu secara batin dan sikap ikut partisan dan menunjukkan keberpihakannya kepada Megawati.

Dia adalah salah satu yang rajin menyambangi Megawati di Kebagusan untuk mewawancarai agar masyarakat mengetahui bagaimana sikap politik dan pemikirannya. Saat itu, semua wartawan tahu bagaimana berhubungan dengan Mega sangat susah.

Memang, jika sudah bertemu dan mengenal, Mega selalu menyambut baik, tetapi untuk bertemu saja susah. Nah, saat itu, TK menyalurkan atau mencairkan kebekuan antara Mega dengan wartawan. “Dia selalu yang merayu Mega agar mau terima,” kata Sururi.

Sururi menceritakan, dalam perjalanannya, hubungan TK dengan wartawan sangat baik, karena tidak sekadar hubungan personal antara narasumber dan media. Tapi, secara batin, TK sangat dekat dengan wartawan. Untuk membuktikan itu, TK selalu ingat nama-nama wartawan yang sudah dikenalnya dan ketika kumpul dia tahu namanya siapa saja, sehingga ketika ada satu yang tidak kelihatan dia langsung bertanya.

Memori TK kuat sehingga ingat wajah dan nama dan ditunjukkan dengan sikap yang wellcome. “Bagi TK, wartawan sangat penting, apalagi Mega dan PDI versi Mega itu dizalimi Orde Baru. Banyak yang saat itu tidak mau berteman dengan Mega karena akan dicurigai oleh rezim,” ungkap Sururi.

Dengan kondisi yang dizalimi itu, ternyata masih banyak wartawan yang memang secara obyektif mau menjadikan Mega sebagai narasumber dan teman. Apalagi, ada semacam sikap partisan dan keberpihakan dari beberapa wartawan untuk menjadikan Megawati sebagai simbol perlawanan. Di situlah TK merasakan keberadaan wartawan penting, agar di situasi yang terjepit dibantu oleh media, agar masyarakat lain tahu Mega masih ada suaranya, dan suara yang disampaikan suara kebenaran. Kalau suara itu tidak disampaikan, masyarakat juga tidak akan tahu Mega seperti apa dan bagaimana sikap dan pemikirannya.

“Di situlah peran strategis TK yang selalu menjembatani, selalu mencairkan hubungan Mega dengan wartawan agar tidak beku. TK tahu cara mendekati Bu Mega itu sulit, tapi tetap dia menjadikan para wartawan itu ada semangat ke Mega. Makanya, dia menjadikan suasana agar para wartawan itu tetap nyaman,” kata Sururi lagi .Ada cerita menarik yang pernah dialami Sururi saat mau mewawancarai Mega. Saat itu, dia sudah datang ke Jalan Kebagusan. Namun, belum ada kepastian apakah Mega mau diwawancarai atau sekadar untuk menemui dirinya. Dan ternyata, TK menangkap kegelisahan itu dan memberikan rahasia untuk merayu Mega. Saat itu, Sururi dan teman-teman wartawan yang ada di situ dikasih tahu oleh TK bahwa Megawati sedang menginginkan martabak tipis dan ikan bakar yang dijual di Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, dekat kantor Guruh Soekarnoputra. Sururi dan teman wartawan langsung menuju tempat dijualnya makanan kesukaan Megawati itu, kemudian kembali ke Jalan Kebagusan.

“Begitu sampai di Kebagusan, TK bilang ke Mega, ‘Mah, wartawan bawa martabak dan ikan bakar kesukaan Mamah nih.’ Nah, itu TK yang bocorkan, karena melihat wartawan menunggu Mega luar biasa,” kata Sururi.

Di antara wartawan senior yang sudah sejak lama mengenal TK adalah Birma, yang saat itu menjadi wartawan Sinar Pagi. Kehebatan TK diakui Birma karena tidak gampang menyerah dan tidak memetakan wartawan meski saat itu dirinya tidak terlalu menganggap kekuatan Mega dan TK. Sebab, saat itu, yang dia lihat adalah PDI dengan pemimpinnya Soerjadi. Saat itu, Birma malah lebih dekat dengan kubu Soerjadi dan tidak pernah membayangkan upaya perlawanan yang digulirkan TK untuk mendorong Mega bisa menggelinding menjadi besar.

Namun, setelah dalam perjalanannya ternyata Mega menjadi besar dan TK adalah figur sentral yang berhasil mendorong Mega melalui berbagai strategi. Dan, TK tetap bisa menerima Birma sebagai kawan dan tidak dipetakan sebagai wartawan sebelah.

“Bahkan, sampai sekarang, beliau ini masih tetap mengenal dan memosisikan saya sebagai sahabat. Ini sangat luar biasa,” kata Birma dalam buku 70 Tahun Taufiq Kiemas.

Sulistiyo dari Harian Wawasan juga menceritakan bagaimana TK yang—meski saat itu bisa dikatakan sudah kaya, walau sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan beban perjuangannya—tetap menunjukkan sikap semangat sehingga membuat wartawan yang ikut mendorong perubahan dengan menjadikan Mega sebagai simbol perlawanan tetap semangat. Sulistiyo menggambarkan, TK adalah manusia yang pikirannya tidak pernah tidur, mimpinya tidak pernah terhenti untuk mendorong lahirnya reformasi.

“Dulu partainya kecil, dan ‘ATM’-nya hanya beliau. Tetapi terbukti sangat kuat. Ini perlu menjadi contoh bagaimana petarung politik dalam membangun demokrasi. Pikirannya tidak pernah tidur, melebihi wartawan pada umumnya,” ungkap Sulistiyo.Wartawan bagi TK memang bukan sekadar teman secara emosional, tetapi juga banyak yang di antaranya dilibatkan langsung dalam perjuangan dan bermain di belakang layar dalam membesarkan PDI dengan simbol kepemimpinan Megawati. Mereka yang terlibat langsung misalkan Nuah Torong dari Koran Merdeka, Rahadi Zakaria dari Pelita, Yosep Umar Hadi (Kompas), Jakobus Mayong Padang (Suara Pembaruan Biro Makasar), dan tentunya juga Panda Nababan (Sinar Harapan). Mereka kemudian dalam Pemilihan Umum 1999 ikut menjadi calon anggota legislatif dan beberapa lolos ke Senayan, ada juga yang memulai dari DPRD seperti Rahadi Zakaria yang dua kali di DPRD Jawa Barat dan kemudian lolos di DPR RI.

“Berkawan dengan wartawan itu pilihan sadar TK karena wartawan itulah yang bisa membangun jaringan koneksi politik,” kata Andus Simbolon, mantan wartawan Harian Terbit, yang juga terlibat langsung cukup lama dalam pergumulan politik dengan TK.

TK juga sangat jeli dalam melihat wartawan yang secara ideologis sudah menunjukkan keberpihakannya dari tulisan dan geraknya memang searah dengan dirinya. Maka, dengan beberapa wartawan yang saat itu masih aktif meliput dan menulis berita di tempatnya bekerja, para wartawan beberapa di antaranya membentuk semacam tim untuk menyukseskan misi mengambil alih kepemimpinan PDI. TK yang hampir tiap hari menemui kader PDIP dari berbagai daerah yang datang ke Kebagusan untuk menyampaikan aspirasi dan dukungan terhadap Mega melihat betul bahwa arus bawah memang menghendaki perubahan, khususnya di internal PDI dan secara umum perubahan perpolitikan nasional.

Awal-awal mengalirnya dukungan arus bawah terhadap Mega memang masih belum serta-merta bisa mendapatkan jawaban kesediaan Mega untuk memimpin PDI. Namun, dari lobi TK dan juga gencarnya masukan dari wartawan serta semakin derasnya arus bawah yang datang ke Kebagusan untuk menyampaikan aspirasi dan dukungan, akhirnya Mega bersedia menjadi kandidat Ketua Umum PDI dalam kongres luas biasa di Surabaya.

Merespons kesediaan Mega memimpin PDI, TK yang melihat potensi beberapa wartawan kemudian membuat tim wartawan dengan nama sandi Tim Garuda. Tim yang beranggotakan beberapa wartawan, seperti Panda Nababan, Yoseph Umar Hadi, Rahadi Zakaria, dan Nuah Torong, tersebut dibentuk untuk menyukseskan Megawati di Kongres Luar Biasa PDI dia Surabaya kala itu.

Dengan posisi sebagai wartawan, mereka dengan mudah bisa masuk ke arena KLB meski ada penjagaan ketat. Mereka juga yang kemudian melakukan wawancara secara eksklusif untuk kemudian diwartakan. Hasilnya, tentu menjadi pemberitaan yang positif bagi Mega dan memberikan harapan segar bagi para simpatisan PDI yang mendukung Mega.

Menurut Sururi Alfaruq, TK dari segi personal sangat merakyat. TK adalah orang kaya yang sederhana. “Bayangkan, dia itu suami yang mendampingi Mega dalam posisi pernah menjadi wakil presiden dan presiden. Namun, dalam keseharian, TK mau bertemu dengan siapa pun, termasuk para wartawan. Dia memanggil siapa saja yang ingin diajak ngobrol, diajak untuk berbaur di lingkaran kepresidenan. Bahkan, ketika TK sudah menjadi Ketua MPR, dia masih hangat dengan semua wartawan yang dulu pernah bersama-sama di Kebagusan saat masih tertindas secara politik,” kata Sururi.

Ia mengaku merasakan sendiri bagaimana seorang Ketua MPR, suami dari Megawati, mau menyempatkan diri datang ke rumahnya. “Makan pecel daun turi sama daun genjer layaknya rakyat biasa di rumah saya itu adalah sikap yang sulit dicari seorang pejabat tinggi yang masih punya sikap seperti itu. Waktu ke rumah saya itu hanya makan siang, dia ingin melihat kondisi saya. Bayangkan sampai seperti itu, mungkin karena saya kenal beliau saat berjuang sampai sekarang, mungkin dia ingin tahu. Sangat surprise, cara bersahabat itu membuat wartawan bangga, merasa nyaman,” ungkap Sururi.

Ia juga sulit membayangkan bagaimana TK jauh-jauh dalam perjalanan dari Bandung mampir ke rumahnya di Bekasi. Ketua MPR itu begitu perhatian dan peduli dengan orang yang ia anggap teman. Sikap seperti itu yang tentu membuat wartawan yang dikenal TK menjadi bangga.Berdasarkan pengetahuan Sururi, TK merupakan figur yang tidak sungkan membantu wartawan yang kesulitan. Dia selalu tanya bagaimana kondisi keluarga, bagaimana sekolah anak, dan bagaimana kesehatannya. Tentu dengan cara-cara seperti itu, dengan ketulusan yang ditunjukkan TK dalam bersahabat, seoraang wartawan sangat merasakan bangga dan merasa diperhatikan. Apalagi, yang memberikan perhatian itu adalah sahabat yang merupakan orang besar dan pejabat besar di republik ini.

“Jadi, memang luar biasa dan langka ada orang yang menjadi pejabat masih seperti itu. TK menunjukkan bahwa sikapnya terhadap wartawan semenjak partainya masih kecil dulu, kemudian saat Mega menjadi wapres, hingga kemudian jadi presiden, bahkan ketika belian menjadi Ketua MPR tidak berubah,” ujar Sururi.

Komunikasi dengan wartawan yang dikenal juga berlangsung meski secara fisik jarang bertemu. TK pasti menyadari, mungkin wartawan segan atau bahkan kebingungan menelepon dirinya untuk sekadar berdiskusi. Nah, TK punya perasaan yang peka karena sering tanpa diduga menelepon wartawan untuk sekadar menanyakan kabar dan mendiskusikan situasi nasional terkini. Karena memang orangnya tulus, wartawan yang ditelepon TK pun menjadi bangga dan tidak ada beban. Malah merasa diperhatikan karena ternyata masih diingat.

“Yang juga susah dibayangkan adalah TK itu tidak segan untuk membuatkan kopi untuk wartawan yang datang ke kediamannya di Kebagusan,” tuturnya.

Andus Simbolon merupakan salah satu wartawan yang mengetahui betul langkah-langkah TK dan bagaimana pergaulannya dengan wartawan sejak dulu. TK bagi Andus adalah figur peduli dengan wartawan, termasuk terhadap dirinya. Andus punya pengalaman sederhana waktu diminta ke SPBU di Pejompongan, tempat dia selalu menggunakan sepeda motor tua satu-satunya. Menurut Andus, TK selalu memperhatikan bagaimana kondisi ban sepeda motornya, ditanya bagaimana olinya, yang itu semata-mata sikap perhatian untuk memastikan tidak terjadi apa-apa di jalan. “Beberapa kali aku dikasih uang untuk ganti ban, ganti oli, hanya agar jangan sampai ada apa-apa di jalan. Bukan masalah materinya, tetapi saya menjadi tersentuh,” kata Andus.

Hal lain yang membuat dia terkesan dengan perhatian TK adalah ketika dia ditawari pilihan mau mobil atau rumah. Saat itu, Andus memilih dikasih mobil walaupun belum bisa menyetir. Andus merasakan bagaimana bisa memiliki mobil Kijang tahun 1999 yang dia ambil dari SPBU di Lapangan Ros, dengan BPKB atas nama M Taufiq Kiemas. Namun, mobil itu tidak lama di tangannya. Karena kebutuhan, Andus tanpa memberitahukan ke TK menjual mobil itu. TK yang baru mengetahui beberapa bulan berikutnya bahwa mobil pemberiannya sudah dijual, menurut Andus, menunjukkan sikap marah. Dia didiamkan saat bertemu dengan TK. Namun, lama-lama terbiasa lagi karena TK juga memaklumi bagaimana kondisi Andus dalam mengelola keuangan.

Selain mobil, Andus juga pernah dibelikan kamera Cannon dan pager. Saat beli, dia diajak langsung jalan ke Blok M menggunakan mobil yang selalu dikendarai TK. Sampai pada puncaknya menjelang Pemilu 1999, yang sudah ada tanda-tanda kemenangan PDIP, TK minta ke Roy BB Janis agar nama Andus masuk daftar caleg untuk DPRD DKI Jakarta. Andus dikasih formulir oleh Roy, namun Andus menolak karena merasa tidak berbakat sebagai politisi. “Kalau saya mau pasti jadi, karena waktu itu dapat 32 kursi di DKI,” ujarnya sambil terkekeh.Secara umum, perhatian TK terhadap wartawan yang suda dikenalnya itu sangat emosional. Ada banyak yang Andus ketahui bagaimana TK menanyakan keluarga dan memberikan perhatian terhadap teman-teman wartawan. Terhadap wartawan Suara Karya Saul De Orne, TK hampir sama perlakuannya sebagaimana dengan Andus. Dia bahkan sempat dipinjamkan rumah di Tebet beberapa tahun karena TK saat itu melihat dia pindah-pindah kontrakan untuk keluarganya di Jakarta. Dalam perjalanannya, TK juga yang menikahkan dengan Saul dengan seorang wartawan Suara Pembaruan Erri Siahaan.

Cerita lain yang juga menunjukkan bagaimana humanisnya TK adalah waktu sedang kunjungan di daerah dalam posisinya sebagai anggota DPR saat itu. Salah satu rombongan yang ikut adalah Nazaruddin dari Suara Merdeka. Saat posisi sudah sampai di Buton, Sulawesi Tengah, Nazaruddin ditelepon oleh keluarganya yang melaporkan anaknya sakit keras. Karena posisinya sedang ikut rombongan TK, Nazaruddin menyampaikan informasi itu. TK seketika itu juga langsung telepon ke Jakarta dan meminta stafnya untuk mengurus secepatnya anak Nazaruddin ke rumah sakit. Jadi begitu cepat TK merespons ketika mengetahui salah seorang wartawan anaknya dalam kondisi sakit. Berkali-kali TK menelepon stafnya untuk memastikan apakah anak Nazaruddin sudah dibawa ke rumah sakit atau belum. Setelah ada kepastian stafnya sudah membawa ke rumah sakit, TK meminta Nazaruddin agar pulang untuk menemani dan mengurus anaknya.

Komunikasi TK dengan wartawan sangat intensif. Ketika TK sudah duduk di DPR saat Pemilihan Umum 1987, wartawan yang meliput di DPR hampir setiap hari ke lantai sembilan. Selain TK, di ruangan tersebut juga menjadi ruangan rekan separtai di Komisi I DPR, seperti Sabam Sirait, Marsel Beding, BN Marbun, dan Sophan Sophiaan. Ruangan itu kelak ditempati TK sebagai Ketua MPR.

Kalau kongko dengan wartawan, TK sudah terbiasa seharian menghabiskan waktu hanya untuk ngobrol, mulai dari obrolan santai hingga soal politik. Karena dulunya TK merupakan perokok berat, ruangannya tidak pernah sepi dari wartawan. Apalagi, saat itu memang sudah banyak wartawan yang merasa sepikiran dengan TK untuk melawan hegemoni kekuasaan Orde Baru.

Pribadi TK yang merakyat dan hangat juga dirasakan oleh Haryono, wartawan senior Merdeka yang kemudian menjadi Rakyat Merdeka. Hampir tidak ada teman-teman wartawan yang merasakan adanya perbedaan sikap TK dari dulu sampai akhir hayatnya. Sikapnya yang baik hati, merakyat, mau berbaur dengan siapa pun masih ajek sampai akhir hayatnya.

Haryono pernah melihat langsung kebahagiaan teman wartawan yang tidak menyangka saat anaknya khitanan ternyata TK mau memenuhi undangan. “Beliau menjaga persahabatannya itu komit. Tidak sungkan datang ke rumah wartawan yang anaknya sunatan meski saat itu beliau saat itu adalah suami wakil presiden,” ungkap Haryono.

Benar, saat itu wartawan senior Media Indonesia yang juga peliput di DPR Kleden Suban pernah menyampaikan undangan secara lisan ke TK melalui Andus Simbolon untuk acara khitanan anaknya. TK waktu itu tentu sudah dalam posisi yang waktunya cukup padat dengan berbagai acara sebagai suami wakil presiden. Di rumah Kleden, TK yang juga ditemani Andus cukup lama karena memang di situ juga banyak teman wartawan yang hadir.

Di waktu yang berbeda, dengan posisi Mega juga sudah menjadi wakil presiden, TK juga menyempatkan melayat ketika mengetahui wartawan senior Sinar Harapan Petron Coery meninggal dunia. “Waktu itu Ibu Mega sudah jadi wakil presiden, saya ikut Bang TK melayat di rumah duka di kawasan Tomang,” kata Andus.

Pengalaman-pengalaman unik antara TK dengan wartawan sebagai gambaran bagaimana sosok TK yang begitu low profile dan gampang berbaur dengan siapa pun adalah bagaimana dalam berbagai kesempatan selalu menyempatkan untuk berkunjung ke kampung-kampung di daerah Bogor, Jawa Barat. Dengan mobilnya, TK sering mengajak wartawan keliling Bogor untuk sekadar nongkrong sambil minum kopi dan makan gorengan di pinggir jalan atau di tempat tongkrongan masyarakat sekitar. Dari tongkrongan dan obrolan seperti itulah kemudian oleh wartawan ditulis menjadi berita soal bagaimana pengenalan Mega yang disampaikan langsung oleh suaminya ke masyarakat. “Dulu kalau klayaban seringnya ke Bogor, nongkrong beli gorengan, orang jadi tahu suami Megawati. Pendekatannya merakyat dan mengena. Memang pemimpin yang baik perlu turun ke bawah diam-diam. Jalan-jalan dengan wartawan. Itu ciri pemimpin rakyat, mau bergaul dengan siapa saja,” tutur Haryono.

Pengalaman persahabatan ternyata tidak hanya dirasakan oleh para wartawan yang sudah lama mengenal TK. Banyak juga wartawan muda generasi baru yang merasakan betul kehangatan persahabatan dengan TK, di antaranya adalah wartawan RCTI Raja Bane Manalu dan wartawan Sindo Rahmat Sahid.

Bane yang awal mengenal TK karena intensitasnya meliput Mega dan PDIP saat pemilu dan pilpres 2009 lalu semakin akrab karena, selain sering berdiskusi, juga perlakuan TK yang lebih menunjukkan kekeluargaan. Bane menceritakan bagaimana dirinya harus sering menjawab pertanyaan sama berulang-ulang karena saat bertemu selalu ditanyakan bagaimana kondisi istrinya yang saat itu sedang mengandung anak pertamanya. Pertanyaan kabar dan kapan melahirkan selalu diutarakan setiap kali bertemu. Sikap seperti itulah yang menurut Bane sulit dilupakan dari TK karena dia merasa tersanjung tokoh sekelas dan sebesar TK menanyakan kehidupan dan kondisi keluarganya.

“Jadi, saya merasa, selain sebagai sahabat, juga ada semacam kekeluargaan. Apalagi, Pak TK juga tidak pernah mengatur-atur atau dalam istilahnya sok kuasa. Beliau melihat betul profesionalisme dalam pekerjaan, tetapi di satu sisi tetap memegang komitmen persahabatan,” ungkap Bane.

Pengalaman lain yang juga pernah dia alami adalah ketika dia mendapatkan telepon sehari setelah hari ulang tahun TK pada 2010 lalu. Saat itu, dalam pembicaraan di telepon, TK nadanya tinggi dan seperti menunjukkan rasa marahnya karena saat tanggal 31 Desember, di hari ulang tahun TK, Bane batal hadir meski sudah menjanjikan akan datang. Kebetulan, ulang tahun TK ketika itu dirayakan di Jakarta, sehingga Bane menyanggupi untuk ikut datang dan memberikan ucapan selamat. Namun, karena yang datang di acara itu orang-orang penting dengan mobil-mobil mewah, Bane memutuskan untuk tidak jadi masuk karena merasa tidak enak.

Namun apa yang terjadi, justru keputusan itulah yang membuat TK tersinggung. “Di telepon, saya dimarahi. Beliau bilang, ‘Kamu kan sahabat aku, kamu itu harusnya datang sebagai sahabat aku. Yang lain juga sama, sama-sama sebagai sahabat, jadi enggak ada bedanya.’,” tutur Bane.

Rahmat Sahid, yang dalam peliputan satu angkatan dengan Bane, juga punya pengalaman yang hampir sama. Dalam hal perhatian dan dianggap sebagai sahabat, Sahid merasa sangat tersanjung ketika dalam kesempatan ulang tahun cucu TK dan Mega, yakni anak laki-laki dari Puan Maharani, tanpa disangka TK memesan sate kambing dan sate ayam beserta ketupat kepada dirinya. Saat itu, Sahid memang baru saja membuka usaha kecil-kecilan berupa warung makan Pak Mat di bilangan Bantargebang, Bekasi. Dengan rasa bangga, dia menyediakan pesanan itu karena merasa mendapatkan perhatian. Sahid sulit membayangkan dan sulit percaya kenyataan bahwa, untuk acara ulang tahun cucu mantan presiden dan juga cucu dari Ketua MPR, dia dipercaya ikut menyediakan salah satu menu untuk disuguhkan di acara yang digelar di kediaman keluarga TK di Jalan Teuku Umar.

Saat itu, waktunya bertepatan dengan hari Sabtu dan hari pertama puasa Romadon tahun 2012. Selepas mengantarkan pesanan sate ayam kampung dan sate kambing itu, Sahid langsung menuju kantornya di kawasan Kebonsirih, jakarta Pusat. Dia memilih untuk melanjutkan kerja, tidak ikut dalam acara perayaan ulang tahun tersebut meski sebelumnya sudah diwanti-wanti TK untuk ikut.

Sekitar 15 menit menjelang waktu berbuka puasa, Sahid menerima telepon dari nomor yang tertuliskan Ajudan TK. Dan benar, di ujung sana sang ajudan mengatakan Ketua MPR ingin bicara. Dalam pembicaraan di telepon itu, TK meminta Sahid untuk datang dan mengikuti pengajian dan santunan anak yatim di acara ulang tahun cucunya itu. Melalui sambungan telepon itu, Sahid sempat menolak dengan alasan tidak enak dengan tamu-tamu yang lain. Tetapi, yang terjadi justru TK dengan nada sedikit meninggi menanyakan, “Jadi, Mas Sahid tidak mau datang?”

Akhirnya, dengan rasa sedikit minder, Sahid memutuskan datang dan ikut berbuka puasa di Jalan Teuku Umar setelah selesai pengajian dan santunan anak yatim. “Di situ, saya ikut berbuka satu meja dengan Pak TK dan beberapa tamunya. Di meja sebelah ada Ibu Mega yang juga ikut berbuka dengan para tamu yang hanya sekitar 25 orang. Agak minder sebenarnya, enggak enak, tapi bagaimana lagi? Pak TK maunya begitu,” kata Sahid.

Berbeda dengan kebanyakan orang besar atau pejabat tinggi yang cenderung hanya mau berbicara, TK justru menempatkan diri sebagai sosok yang mau mendengarkan, entah dari mana pun saran itu. Nah, posisi wartawan sebagai mitra diskusi adalah yang sering didengar saran-sarannya dan dia tidak sungkan untuk menanyakan atau sekadar meminta diceritakan kondisi politik belakangan dan bagaimana dinamikanya.

Beberapa wartawan sampai TK menjadi Ketua MPR, sebelum akhirnya dipanggil menghadap Ilahi, masih kerap diundang TK ke ruangannya untuk berdiskusi atau ditelepon setiap pagi setelah TK membaca koran dan melihat situasi politik terkini. Sururi Alfaruq, Haryono, dan Rahmat Sahid adalah beberapa di antara wartawan yang menceritakan bagaimana TK masih intensif mengajak diskusi. Itulah yang membuat banyak wartawan sulit melupakan sosok Taufiq Kiemas. [PUR, IHS]