Fidel Castro bersama Che Guevara serta tokoh revolusioner Kuba berhasil menggulingkan rezim Batista pada 1959 [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Pada Agustus 2016, Fidel Castro Ruz, pemimpin revolusi Kuba genap berusia 90 tahun. Hanya berselang tiga bulan, peletak dasar sosialisme Kuba itu meninggal dunia. Tepatnya pada Jumat malam, 25 November 2016.

Presiden Kuba, Raul Castro secara resmi mengumumkan berita tentang kematian Fidel tanpa menjelaskan penyebab kematiannya di Havana. Fidel yang meninggal pada usia 90 tahun itu berasal dari Biran, daerah perkebunan tebu di sebelah timur Kuba.

Fidel merupakan seorang tokoh yang tersohor pada paruh kedua abad ke-20. Kesehatannya memburuk setelah mengidap infeksi usus dan nyaris membunuhnya pada 2006. Lalu, dua tahun kemudian, ia secara resmi menyerahkan kepemimpinan Kuba pada Raul Castro, adik kandungnya yang bersama-sama mengangkat senjata menjatuhkan rezim Batista pada 1959.

Televisi milik negara menyiarkan secara langsung pengumuman kematian Fidel. Raul mengenakan seragam militer berwarna hijau tampak berdiri membacakan pengumuman tersebut.

“Sekitar 10.29 malam, pemimpin revolusi Kuba, Fidel Castro meninggal dunia,” dan “Berjuang terus sampai menang,” kata Raul saat membacakan kematian Fidel seperti dikutip reuters.com, Sabtu (26/11).

Setelah pengumuman itu, jalan-jalan di Havana terlihat sepi dan tenang. Beberapa warga terlihat kaget dan merasa sedih atas kematian Fidel. Berbeda dengan di Miami, Amerika Serikat – dikenal dengan Little Havana – orang-orang anti-Fidel bergembira menyambut berita itu. Mereka melambaikan bendera Kuba sambil menari dan bersorak serta memukuli kuali dan wajan.

“Saya marah dengan video itu. Sebab, bagaimanapun Fidel merupakan tokoh yang dihormati dan dicintai di seluruh dunia,” kata Sariel Valdespino, seorang mahasiswa di Havana menanggapi sorak-sorai kaum buangan anti-Fidel itu.

Sejak memimpin Kuba pada 1959, lembaga intelijen Amerika Serikat CIA bersama kelompok anti-Fidel telah merancang lebih dari 60 kali pembunuhan terhadap pria berjenggot itu. Ia berkuasa sekitar 49 tahun dan membawa kemajuan yang cukup baik pada rakyat Kuba. Ia juga menjadi salah satu tokoh kuat pada era Perang Dingin.

Negara-negara AS dan sekutunya kerap mengejek “kemiskinan” rakyat Kuba. Mereka menyebut Fidel sebagai “setan”. Mereka acap membandingkan Kuba – dalam situasi yang diembargo secara total – dengan negara di Eropa Barat dan AS. Mereka mengejek toko-toko kosong dimana warga Kuba mengantre untuk membeli makanan.

AS dan sekutunya juga mempropagandakan bahwa di Kuba tidak ada demokrasi. Rakyatnya tak bisa berlibur dan lain sebagainya. Padahal kenyataannya tidak demikian. Rakyat tetap punya hak bersuara dan mendapat jaminan sosial dari negara terutama kesehatan dan pendidikan.

Semua rakyat mendapatkan perawatan kesehatan dan pendidikan gratis. Inilah pencapaian sosialisme ala Kuba di bawah Fidel. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengakui sistem kesehatan Kuba terbaik di dunia. Ia karena itu dikagumi banyak kalangan kiri dunia terutama kaum revolusioner di Amerika Latin dan Afrika.

Selain dari rakyatnya, ucapan berduka cita juga datang dari pemimpin dunia antara lain Presiden Meksiko Enrique Pena Nioeto lewat akun Twitter mengatakan: “Saya berduka atas kematian Fidel Castro Ruz, pemimpin revolusi Kuba dan panutan pada abad ke-20.”

Sejak adiknya Raul memimpin terjadi perubahan di Kuba terutama dalam bidang ekonomi. Raul kemudian memperkenalkan sistem ekonomi pasar dan menyetujui membuka hubungan diplomatik dengan AS pada Desember 2014.

Kendati ia kerap memuji Raul, Fidel tidak memberi dukungan terhadap kebijakan ekonomi itu. Penegasannya itu kemudian terlihat ketika ia menolak bertemu dengan Presiden AS Barrack Obama ketika melawat Kuba pada awal tahun ini. Kunjungan pertama presiden AS sejak 1928.

Beberapa hari kemudian Fidel menulis kolom kritik kepada AS: “Jangan terilusi dengan kata-kata dan janji.” Ia justru mengingatkan Kuba soal upaya AS yang merancang begitu banyak kegiatan untuk menggulingkan dan melemahkan pemerintahan Komunis.

Sejak tak lagi memimpin, Fidel praktis hanya menulis analisa tentang politik dunia. Kadang-kadang bertemu dengan beberapa pemimpin dunia. Ia mulai tinggal di tempat yang boleh dikatakan semi-pengasingan.

Salah satu tulisannya yang dimuat di en.granma.cu pada 15 Agustus 2016 berjudul “The Birthday”. Fidel mengenang tempat kelahirannya, Biran. Sebuah desa yang sulit dicari dalam peta. Pada suatu waktu, ia – ketika itu sekitar delapan atau sembilan tahun – bersama ayahnya pergi ke Pinares de Mayari.

Ayahnya seperti kebanyakan orang Spanyol merupakan penyewa lahan di daerah itu untuk berkebun tebu dan tanaman pertanian lainnya. Daerah ini berada di ketinggian sekitar 500 meter dari permukaan laut, miring dengan lereng bebatuan. Namun, pada ketinggian tertentu, membentang lahan yang luasnya sekitar 200 kilometer persegi dengan kekayaan alam yang melimpah.

“Daerah itu kaya nikel dan sumber daya mineral lainnya seperti emas, timah dan lain-dan lain. Sumber daya alam yang saat ini bernilai ekonomis tinggi. Sayang ayah saya meninggal beberapa tahun sebelum Revolusi 1959 dan sebelumnya ia mengalami penderitaan di bawah rezim Batista,” kenang Fidel.

Dalam wasiatnya, Fidel meminta agar jasadnya dikremasi. Pemakamannya akan dilakukan pada Sabtu ini. Kematian Fidel lalu memunculkan pertanyaan tentang masa depan Kuba. Ketika adiknya menggantikannya tidak ada terjadi gejolak politik di Kuba.

Akan tetapi, banyak orang menganggap Fidel terlalu lama berkuasa sehingga meninggalkan kekosongan besar untuk generasi selanjutnya. Raul, 85 tahun berjanji akan mundur setelah masa jabatannya berakhir pada 2018. Partai Komunis Kuba telah mengangkat seorang pemimpin muda Miguel Diaz-Canel, 56 tahun. Kini menjabat sebagai Wakil Presiden dan kemungkinan akan menggantikan Raul. Hasta la Victoria Siempre dan adios comandante Fidel! [Kristian Ginting]