Masjid yang masih berdiri ditempa tsunami di Aceh. (foto: ABC.net)

Pagi itu, suara deburan ombak yang seharusnya menenangkan justru membawa teror yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Dalam hitungan menit, Aceh berubah menjadi lautan puing dan duka. Hari ini, dua dekade setelah Tsunami Aceh 2004 mengguncang dunia, kenangan akan tragedi itu tetap hidup, bukan hanya sebagai peristiwa sejarah, tetapi juga sebagai pengingat akan rapuhnya manusia di hadapan alam sekaligus ketangguhan yang lahir dari luka mendalam.

Dari reruntuhan, Aceh kembali bangkit. Namun, sebelum melangkah lebih jauh ke masa kini, penting untuk merefleksikan peristiwa yang mengubah wajah wilayah tersebut dan mengajarkan kita tentang arti solidaritas, kesiapsiagaan, dan harapan. Apa yang sebenarnya terjadi pada 26 Desember 2004? Bagaimana masyarakat dunia merespons bencana ini? Dan apa pelajaran yang bisa kita petik untuk masa depan? Mari kita kenang bersama, untuk mereka yang telah tiada dan untuk masa depan yang lebih siap.

Hari ini, 26 Desember 2024, genap dua dekade berlalu sejak Tsunami Aceh 2004 melanda dan meninggalkan luka mendalam bagi Indonesia dan dunia. Tragedi ini tercatat sebagai salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah modern. Bencana tersebut terjadi akibat gempa bumi berkekuatan 9,1–9,3 skala Richter yang mengguncang wilayah barat Sumatra pada pukul 07:58 WIB, dengan pusat gempa sekitar 157 km barat Meulaboh pada kedalaman 30 km. Gempa ini dipicu oleh pergeseran lempeng Indo-Australia dan Eurasia di zona megathrust.

Gempa dahsyat tersebut menghasilkan tsunami dengan gelombang setinggi 30 hingga 34 meter yang menerjang pantai-pantai di Banda Aceh hanya sekitar 20 menit setelah gempa terjadi. Gelombang raksasa ini meluas ke berbagai wilayah di sekitar Samudra Hindia, mengakibatkan kehancuran dan kehilangan di 14 negara, termasuk Sri Lanka, India, dan Thailand. Dampaknya begitu masif sehingga tsunami Aceh menjadi salah satu bencana global yang menggugah perhatian dunia.

Korban Jiwa dan Kehilangan

Tragedi ini menewaskan lebih dari 220.000 orang di Indonesia saja, menjadikan negara ini sebagai yang paling parah terdampak. Total korban jiwa diperkirakan mencapai 227.898 hingga 280.000 jiwa, termasuk korban di negara lain seperti Sri Lanka (35.000), India (18.000), dan Thailand (8.000). Selain itu, sekitar 93.285 orang dinyatakan hilang, meninggalkan keluarga dan masyarakat dalam duka mendalam.

Proses pemulihan pascabencana berlangsung selama empat tahun, dari 2005 hingga 2009, dengan fokus pada rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur di Aceh. Pemerintah Indonesia bersama dengan berbagai lembaga internasional menggelontorkan dana lebih dari 10 triliun rupiah untuk membangun kembali rumah, sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur lainnya. Upaya ini juga mencakup peningkatan sistem peringatan dini untuk mencegah terulangnya korban besar pada masa mendatang.

Tragedi ini meninggalkan banyak pelajaran penting bagi dunia, terutama dalam hal kesadaran akan mitigasi bencana dan pentingnya solidaritas global. Saat ini, Banda Aceh telah bangkit dengan berbagai peninggalan yang menjadi pengingat, seperti Museum Tsunami Aceh yang dirancang untuk mengenang korban sekaligus memberikan edukasi tentang mitigasi bencana.

Hari ini, kita mengenang mereka yang telah tiada, mendoakan para korban, dan menghormati keteguhan masyarakat Aceh dalam menghadapi tragedi ini. Peristiwa ini mengingatkan kita akan kekuatan alam dan pentingnya persiapan untuk menghadapi kemungkinan bencana di masa depan. Tsunami Aceh 2004 bukan hanya tragedi, tetapi juga simbol ketangguhan dan kebangkitan manusia di tengah derita. [UN]