Koran Sulindo – Di tengah gempuran rezim Orde Baru yang membatasi kebebasan berekspresi, Munir Said Thalib muncul sebagai suara lantang yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia.
Berpihak pada kaum tertindas seperti buruh, mahasiswa, dan aktivis, Munir tak kenal lelah menyuarakan ketidakadilan. Sebagai advokat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ia tidak hanya berkutat di ruang pengadilan, tetapi juga terjun langsung di lapangan, ikut serta dalam aksi-aksi untuk melawan penindasan.
Namun, perjuangan gigih Munir berakhir tragis. Dilansir dalam p2k.unkris.ac.id, pada 7 September 2004, di sebuah pesawat dalam perjalanan menuju Belanda, Munir menghembuskan napas terakhir setelah diracun dengan arsenik.
Kematian aktivis yang juga pendiri Imparsial dan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu hingga kini menyisakan misteri—siapa dalang sebenarnya di balik pembunuhan ini?
Kronologi Kematian Munir
Kisah tragis ini dimulai pada 6 September 2004. Malam itu, pukul 21.55 WIB, Munir menaiki pesawat Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta menuju Belanda. Perjalanan itu adalah bagian dari rencananya untuk melanjutkan studi di Universitas Utrecht, Amsterdam.
Pesawat sempat transit di Bandara Changi, Singapura, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju Amsterdam.
Tak lama setelah meninggalkan Singapura, Munir mulai merasakan sakit perut. Sekitar pukul 08.10 waktu setempat, rasa sakit itu semakin parah setelah ia meminum segelas jus jeruk.
Menurut saksi mata di pesawat, Munir beberapa kali ke toilet dan tampak kesakitan. Seorang penumpang yang juga seorang dokter mencoba memberikan pertolongan.
Munir pun dipindahkan ke kursi sebelah dokter tersebut, tetapi tak lama setelah itu, ia menghembuskan napas terakhir. Melansir dari Majalah Tempo, kematian Munir terjadi di ketinggian 40.000 kaki di atas wilayah Rumania, hanya dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam.
Dua bulan kemudian, hasil autopsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian Belanda mengungkap bahwa Munir meninggal karena racun arsenik. Senyawa beracun tersebut ditemukan dalam kadar yang sangat tinggi di air seni, darah, dan jantungnya.
Temuan ini mengejutkan dunia, memicu kemarahan publik, dan menambah daftar panjang kejahatan terhadap aktivis HAM di Indonesia.
Siapa Dalang di Balik Pembunuhan Munir?
Pembunuhan Munir tidak hanya dilihat sebagai tindakan kejahatan biasa, melainkan sebuah operasi yang diduga melibatkan berbagai pihak berkedudukan tinggi. Nama Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda Indonesia, muncul sebagai sosok yang paling mencurigakan.
Pollycarpus, yang sebenarnya sedang libur, secara misterius ditugaskan sebagai kru tambahan dalam penerbangan itu. Ia dinyatakan sebagai orang yang meracuni Munir dengan arsenik.
Pengadilan sempat menjatuhi Pollycarpus hukuman 20 tahun penjara. Namun, hukuman tersebut kemudian dikurangi menjadi 14 tahun setelah peninjauan kembali. Pada November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018.
Selain Pollycarpus, Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, juga diduga terlibat dalam konspirasi ini. Indra memberikan surat tugas yang memungkinkan Pollycarpus bergabung dalam penerbangan tersebut, meskipun seharusnya hari itu Pollycarpus tidak bertugas.
Keberanian yang Tak Pernah Mati
Meski kematiannya begitu tragis, warisan Munir terus hidup. Ia adalah simbol keberanian melawan ketidakadilan dan korupsi yang telah mengakar dalam sistem. Hingga kini, kasus pembunuhan Munir masih menyisakan tanda tanya besar.
Setiap 7 September, para aktivis HAM dan masyarakat sipil memperingati hari wafatnya Munir sebagai pengingat akan pentingnya melawan ketidakadilan. Munir telah gugur, tetapi semangat perjuangannya terus membara.
Di tengah ketidakpastian hukum dan kebenaran, satu hal yang pasti: suara Munir akan terus menggema, memanggil kita semua untuk tak menyerah memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan keadilan di negeri ini.
Hingga hari ini, pertarungan untuk mengungkap kebenaran atas kematian Munir masih berlangsung, dan namanya akan terus menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. [UN]