Lukisan tentang Diao Si Gui. (Foto: lorethrill.com)

Ketika membicarakan hantu dalam budaya Tiongkok, kebanyakan orang mungkin akan langsung teringat pada Jiangshi, hantu mayat hidup yang melompat-lompat dengan wajah kaku dan mantra di dahinya.

Sosok ini memang populer dan sering muncul dalam film, buku, serta cerita rakyat. Namun di balik sorotan yang diterima Jiangshi, ada roh lain yang jauh lebih sunyi dan mengerikan: Diao Si Gui, hantu yang digantung. Tidak seaktif Jiangshi dalam menakut-nakuti secara fisik, Diao Si Gui justru hadir dalam bentuk penderitaan mendalam dan teror psikologis yang membekas.

Di balik lidah merahnya yang menjuntai dan langkahnya yang tak menyentuh tanah, tersembunyi kisah tragis tentang kematian, kesepian, dan luka yang belum tertutup. Artikel ini akan menyelami sosok Diao Si Gui yang jarang diketahui, yang memiliki tempat penting dalam narasi roh-roh penasaran Tiongkok.

Roh dengan Lidah Merah dan Kaki yang Tak Menyentuh Bumi

Menurut laman MythLok, Diao Si Gui (吊死鬼), atau yang dikenal sebagai “Hantu yang Digantung”. Sosok ini bukanlah sekadar roh penasaran, melainkan representasi spiritual dari jiwa-jiwa yang meregang nyawa di ujung tali, entah karena bunuh diri atau eksekusi. Keberadaannya menyimpan cerita tentang penderitaan, keputusasaan, dan luka yang tak kunjung sembuh.

Penampakan Diao Si Gui bukanlah pemandangan yang mudah dilupakan. Dalam banyak cerita rakyat, mereka digambarkan dengan wajah pucat membiru, kulit keabu-abuan, dan mata kosong yang seakan tak mengenal dunia tempat mereka pernah hidup. Namun, ciri paling mencolok yang membedakan mereka dari hantu lainnya adalah lidah merah panjang yang menjulur dari mulut mereka, sebuah ikon tragis dari sesak napas dan kematian yang menyakitkan.

Seringkali roh ini digambarkan melayang tanpa kaki menyentuh tanah, terperangkap dalam limbo, antara dunia orang hidup dan akhirat. Bekas tali yang mencengkeram leher mereka kadang masih tampak sebagai simbol penderitaan yang belum tuntas. Dalam kegelapan, beberapa digambarkan menyala samar, memantulkan aura yang dingin dan mengganggu.

Berbeda dengan entitas mitologis lain dalam kebudayaan Tiongkok yang memiliki ikatan dengan keluarga roh atau klan spiritual, Diao Si Gui adalah pengembara sepi. Kematian yang mereka alami sering kali menyendiri, tanpa dukungan atau cinta, membuat mereka terasing bahkan dalam kematian.

Namun, bukan berarti mereka tak pernah berkumpul. Beberapa kisah menyebutkan bahwa mereka dapat ditemukan berkumpul di lokasi-lokasi bekas eksekusi, pohon tua yang dikenal angker, atau bangunan yang telah lama ditinggalkan.

Kehadiran mereka yang terkonsentrasi sering kali menciptakan zona panas spiritual, tempat-tempat di mana batas antara dunia fisik dan dunia arwah menjadi sangat tipis. Pengunjung tempat-tempat ini melaporkan mendengar bisikan lirih, merasa diamati, atau melihat sosok-sosok dengan ciri khas lidah menjulur di kejauhan.

Nama-Nama dan Makna Budaya

Istilah “Diao Si Gui” mungkin merupakan sebutan paling umum, namun tiap daerah memiliki istilah sendiri yang menandai keberadaan roh ini. Di beberapa wilayah, mereka disebut “Hantu Lidah Merah”, sementara di tempat lain, mereka dikaitkan dengan Yuan Gui, roh dendam yang meninggal secara tidak adil.

Tak jarang pula mereka disebut sebagai “hantu tali” atau “roh pencekik”, dengan narasi yang menekankan bagaimana kematian mereka meninggalkan luka emosional yang dalam, bukan hanya bagi mereka sendiri, tetapi juga bagi yang hidup.

Nuansa budaya dari tiap nama memperkaya makna Diao Si Gui, menunjukkan bagaimana masyarakat Tiongkok memahami kematian yang tak wajar sebagai tragedi yang lebih dari sekadar akhir hidup melainkan beban moral dan spiritual yang tak kunjung reda.

Teror dalam Bentuk Kesedihan

Diao Si Gui bukan sekadar hantu pengganggu; mereka membawa kekuatan yang melampaui dunia fisik. Cerita rakyat menyebutkan bahwa mereka memiliki daya tarik hipnotis, sebuah kemampuan untuk menggoda korban dengan janji kedamaian, reuni dengan orang tercinta, atau jalan keluar dari penderitaan. Tapi daya tarik ini membawa konsekuensi fatal: mereka yang terjerat kerap kehilangan semangat hidup, bahkan terdorong untuk mengikuti jejak sang hantu.

Mereka juga dikisahkan mampu masuk ke dalam mimpi atau mengacaukan persepsi korban melalui ilusi. Dalam mimpi-mimpi itu, suara mereka terdengar memohon atau membujuk, membuat korban percaya bahwa menyerah pada kematian adalah satu-satunya jalan. Ini adalah bentuk manipulasi psikologis yang mengerikan, karena tidak tampak secara fisik namun meresap dalam pikiran, menyerang titik paling rentan dari jiwa manusia.

Meskipun lahir dari narasi kuno, Diao Si Gui masih relevan dalam imajinasi kolektif zaman sekarang. Dalam film horor Asia Timur, sosok ini sering muncul sebagai wanita berambut panjang dengan tubuh menggantung dan lidah menjulur, tanpa perlu dijelaskan siapa mereka, penonton langsung tahu maknanya. Dalam sastra, mereka hadir sebagai metafora penderitaan mental yang tak terucapkan, luka batin yang tak terlihat namun sangat nyata.

Dalam dunia digital dan forum komunitas penggemar supranatural, cerita-cerita tentang penampakan Diao Si Gui terus bermunculan, terutama di lokasi yang dikenal sebagai tempat bunuh diri atau tragedi masa lalu.

Bahkan, para peneliti dalam bidang psikologi kini mulai melihat fenomena ini dalam kerangka “hantu sugestif” yakni bagaimana ekspektasi budaya terhadap roh tertentu dapat memengaruhi persepsi dan pengalaman seseorang, terutama dalam kondisi emosi yang ekstrem.

Diao Si Gui bukan hanya makhluk gaib yang menyeramkan; mereka juga adalah cerminan dari luka-luka sosial yang belum tersembuhkan. Mereka menjadi simbol penderitaan akibat pengabaian, depresi, dan stigma terhadap mereka yang meninggal secara tragis. Di tengah ketakutan yang mereka timbulkan, terselip panggilan untuk empati, untuk tidak melupakan mereka yang mungkin pernah berseru dalam diam.

Dalam cara yang sunyi dan mengerikan, Diao Si Gui mengingatkan kita bahwa hantu sejati tak selalu berasal dari dunia lain, kadang mereka adalah bayangan dari rasa sakit yang ditinggalkan oleh sesama manusia.

Sebuah peringatan sekaligus cermin, bahwa penderitaan yang tidak diakui bisa hidup lebih lama dari kematian itu sendiri. Namun, sebesar apapun sebuah masalah, mengakhirinya dengan bunuh diri bukanlah sebuah solusi. [UN]