Koran Sulindo – Hal pertama yang bisa menjadi pelajaran dari hasil Pilkada DKI Jakarta adalah latar belakang etnis dan agama kandidat masih berpengaruh besar pada pemilih pada bagian terbesar penduduk ibu kota.
Sekitar 1 tahun lalu, kelompok muslim garis keras sudah melayangkan penolakan pada Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang Cina Kristen itu memenangkan Pilkada.
Memang, ada beberapa isu lain yang menyerang Ahok, misalnya korupsi di Rumah Sakit Sumber Waras, atau kebijakannya yang keras menggusur kawasan kumuh di sekitar bantaran kali yang dihuni orang-orang miskin kota. Namun, tak ada yang bisa mengundang kepedulian banyak orang di kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu selain isu agama.
Ingatlah, unjuk rasa dengan jumlah orang yang banyak, baru terjadi setelah tuduhan orang Belitung Timur Provinsi Bangka itu sebagai penista agama tersebar di dunia maya. Status di media sosial dan meme yang melabeli Ahok sebagai “Penista Agama” terus berkembang tak bisa dihentikan.
Imaji Ahok, seorang Cina non muslim yang menista agama mayoritas menimbulkan dampak signifikan pada keputusan para pemilih.
Akhirnya terjadilah. Pada hitung cepat hasil Pilkada Rabu (19/4) sore, mungkin mengejutkan bagi banyak orang, pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat hanya mendapat 43 persen suara, bahkan turun dari capaian putaran pertama lalu. Pesaingnya, Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan pertarungan dengan 57 persen.
Banyak yang tak menduga perolehan suara dua pasang kandidat itu begitu jauh.
“Fakta bahwa isu etnik dan agama adalah faktor utama yang mepengaruhi pilihan warga metropolitan Jakarta mengkhawatirkan. Fakta ini mungkin memberi inspirasi pada politisi memakai isu itu sebagai alat politik, tak peduli dampak sosial pada kerukunan masyarakat Indonesia,” kata Dr Johanes Herlijanto, yang sekarang sedang studi di Indonesia Study Programme pada ISEAS Yusof Ishak Institute di Singapura, dalam tulisannya di channelnewsasia.com.
Dalam kasus ini, polarisasi dari pertarungan brutal Pilkada Jakarta tak hanya membagi ibu kota menjadi muslin dan non muslim, tapi juga muslim garis keras dengan muslim moderat yang mendukung Ahok.
Pola politisasi agama yang terbukti sukses ini, mungkin akan makin sering dipertontonkan di perpolitikan Indonesia. [DAS]