Ilustrasi/Antara-Yudhi Mahatma

Koran Sulindo – Untuk mendisrupsi perdebatan atau diskusi mengenai sebuah isu hanya dibutuhkan sejumlah kecil berita palsu (hoaks), menurut penelitian yang diterbitkan baru-baru ini di PLOS ONE.

Namun, ada cara untuk mencegah penyebaran berita palsu dan bahkan menghapusnya sama sekali.

Penelitian ini bersifat eksperimental, berdasarkan pemodelan dan simulasi, tapi setidaknya menunjukkan kemungkinan untuk melawan penyebaran misinformasi.

Munculnya Berita Palsu

Selama berabad-abad dalam masyarakat penyebaran informasi yang salah dan jahat telah ada di dalam masyarakat.

Di era konektivitas digital global yang instan, arus “berita palsu” telah menjadi momok dan dieksploitasi untuk keuntungan pribadi atau politik.

Media sosial, yang dirancang untuk mendorong pengguna berkontribusi dan berbagi konten, telah menjadi alat penyebaran berita palsu.

Mulai dari negara-negara yang turut campur dalam politik demokrasi negara lain dan partai-partai politik mencoba memanipulasi opini publik, sampai industri “berita palsu” yang berorientasi keuntungan, semuanya mengeksploitasi penyebaran berita palsu untuk keuntungan, menyebarkan kebingungan dan perselisihan dalam populasi korban yang mereka targetkan.

Permainan Simulasi

Kami melakukan beberapa eksperimen yang bertujuan untuk memahami mekanisme yang lebih mendasar yang menentukan perilaku berita palsu dalam populasi.

Kami terutama tertarik pada dua pertanyaan: Seberapa besar dampak berita palsu mendorong pada pembentukan konsensus dalam suatu populasi. Lalu, dampak dari biaya mendistribusikan berita palsu terhadap kemampuannya menjangkiti populasi.

Di dunia nyata, biaya dapat bersifat eksternal seperti denda, penalti, pemecatan, belanja dalam menciptakan serta mendistribusikan berita palsu. Biaya juga bisa bersifat internal seperti perasaan kehilangan atau malu karena ditertawakan atau dipermalukan.

Alat yang kami gunakan adalah simulasi evolusi. Robot perangkat lunak sederhana dalam suatu populasi berinteraksi, memainkan permainan yang dikenal Dilema Narapidana. Intinya, seorang narapidana yang mengkhianati yang lain mendapatkan keuntungan besar, sementara tahanan yang dikhianati menderita kerugian yang besar, sementara keduanya hanya menang sedikit jika mereka bekerja sama, dan sama-sama menderita jika mereka mengkhianati satu sama lain.

Beda dari penelitian sebelumnya dalam bidang ini, kami membuat beberapa robot perangkat lunak dengan sedikit nakal, dengan menambahkan kode yang memungkinkan mereka untuk menipu satu sama lain. Korban penipuan semacam itu dibuat bingung tentang niat pemain lawan, atau meyakinkan pemain lawan adalah “orang baik” yang tidak kooperatif dan tidak egois.

Kami buat kode menggunakan pemodelan informasi teoretis. Ini memungkinkan pemetaan penipuan-penipuan yang diketahui ke dalam model teori permainan. Setiap penipu dalam simulasi mendapatkan ongkos ketika mereka tertipu, yang kemudian dikurangi dari hasil yang mereka hasilkan dalam permainan dilema tahanan.

Berapa Banyak Berita Palsu untuk Mengganggu Konsensus?

Kami menemukan bahwa persentase yang sangat kecil sekalipun dari pemain-pemain yang menipu dalam populasi–dalam simulasi kami kurang dari 1%–dapat mengganggu perilaku kooperatif dalam populasi simulasi tersebut.

Dalam kasus ekstrem saat penipuan bebas biaya (nol biaya)–di mana produsen berita palsu tidak terhalang–perilaku gotong royong lenyap sama sekali. Hanya saat ada biaya penipuan lebih dari nol, kerja sama bertahan (tetap terjadi). Saat biaya sangat tinggi, kerja sama benar-benar berkembang.

Kami juga menemukan bahwa untuk semua simulasi, kemampuan pemain yang menipu untuk bertahan hidup sangat bergantung pada ongkos penipuan. Jika biayanya cukup tinggi, penipu tidak dapat bertahan hidup dalam populasi.

Dengan menerapkan ini pada penyebaran berita palsu, ongkos yang sangat tinggi akan menyebabkan kepunahan.

Dari Percobaan ke Dunia Nyata

Apa kesimpulan yang bisa kita ambil dari eksperimen ini tentang distribusi berita palsu di media sosial dan media massa di dunia nyata?

Kesimpulan pertama dan terbilang paling penting adalah bahwa hanya dibutuhkan sangat sedikit berita palsu untuk menciptakan kekacauan dalam suatu populasi, dan mencegah pembentukan konsensus yang sangat penting untuk debat publik. Apakah para korban menjadi bingung, atau percaya kebohongan, itu bukan yang terpenting. Yang menjadi masalah adalah kemampuan mereka mencapai konsensus yang dikacaukan.

Pemodelan kami berfokus pada kelompok-kelompok kecil influencer yang aktif memperdebatkan masalah. Ketika para influencer tidak sampai pada kesepakatan mengenai suatu masalah, para pengikuti mereka juga tidak dapat menyatu dan membentuk konsensus. Ini adalah salah satu alasan mengapa berita palsu sangat merusak masyarakat demokratis.

Hasil kedua adalah bahwa mematok biaya yang tinggi untuk prooduksi dan terutama untuk distribusi berita palsu terbukti adalah alat paling efektif yang kita miliki untuk mengalahkan penyebarannya. Investasi sosial yang tinggi untuk meningkatkan biaya ini sangat berharga, karena efek berita palsu sangat mengganggu.

Memutuskan Rantai

Penelitian tentang peperangan informasi lebih dari satu dekade lalu menemukan bahwa pengiriman tidak langsung atau wakil (proxy) adalah pengganda utama dalam distribusi propaganda beracun.

Misalnya, sadar atau tidak, media massa yang mendistribusikan citra kekerasan dan rekaman yang dihasilkan oleh teroris bertindak sebagai proxy bagi para teroris yang memproduksi propaganda.

Pengguna media sosial yang berbagi berita palsu juga bertindak sebagai perwakilan produser berita palsu. Pengguna seperti itu biasanya dianggap sebagai korban berita palsu, tapi setiap waktu mereka membagikan berita palsu, mereka juga menjadi partisipan dalam penipuan produsen berita palsu.

Menetapkan ongkos untuk distribusi berita palsu di media sosial tidak mudah. Pelaporan secara informal, pihak-pihak yang suka mengeluarkan berita palsu bisa jadi satu cara, yang sesuai dengan psikologi evolusi pendeteksian penipu.

Organisasi media sosial seperti Facebook mengatakan mereka mencoba menjadi lebih proaktif dalam mendeteksi berita palsu dengan teknologi pembelajaran mesin atau pemeriksa fakta pihak ketiga. Facebook bilang telah menemui hasil.

Tapi kedua ide ini menemui permasalahan rumit dalam penentuan mana yang disebut berita palsu dan bukan. Fakta yang tidak menyenangkan kerap kali dilabeli sebagai “berita palsu”.

Keandalan dan objektivitas pemeriksa fakta dapat bervariasi. Bias dan keterbatasan pemahaman sering menghalangi pemeriksa fakta untuk sampai pada kebenaran mendasar.

Pada saat ini, bertentangan dengan klaim oleh beberapa penyedia media sosial, AI (artificial intelligence) belum siap mengerjakan tugas menemukan dan menyiangi berita palsu. Tanggung jawab ini masih harus dipegang manusia.

Kita semua dapat berkontribusi dalam hal ini dengan pertama-tama berpikir sedikit sebelum kita memberi like, dan membagikan atau me-retweet informasi apa pun di media sosial. Ketika mendapat informasi kita dapat mengecek dengan melakukan pencarian di mesin pencari untuk melihat apakah informasi tersebut benar atau palsu.

Pengendalian hama merupakan praktik yang berkembang dalam ekosistem biologis, dan dalam ekosistem informasi, kita sudah jelas sudah terlambat. [Carlo Kopp dan Kevin Korb, Fakultas Ilmu Komputer Monash University Australia]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com. [DAS]