Mengapa Arab Berusaha Keras Rayu Evangelis AS

Pertemuan Presiden Mesir Abudl Fatah al-Sisi dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tak mungkin terjadi tanpa inisiasi kelompok evangelis.

Koran Sulindo – Sementara delegasi pemimpin Kristen evangelis tiba di Azerbaijan akhir pekan ini, keramahan negeri itu menjadi bagian tren lebih luas dari banyak negara Muslim dan Arab yang meningkatkan hubungannya dengan kaum evangelis khususnya dari Amerika.

Marc Schneier rabi ortodoks yang bermarkas di New York menyebut Azerbaijan merupakan negara yang paling mendukung Israel di antara negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. “Azerbaijan sangat unik dalam komitmennya pada dialog dan kegiatan antaragama,” kata Schneier.

Bertemu dengan tokoh-tokoh politik terkemuka di Azerbaijan, delegasi tersebut menghadiri konferensi bertemakan From Interfaith and Intercivilizational Dialogue to Cooperation. Mereka juga dijadwalkan bertemu duta besar Israel untuk Baku, George Deek.

Dengan 60 juta penganut di AS, bersama pemerintahan Presiden Donald Trump mereka menikmati pengaruh politik kuat terutama berkaitan dengan kebijakan luar negeri.

Kondisi itulah yang memicu negara lain berusaha meraup lebih banyak pengaruh di Washington, dengan menjangkau mereka untuk memenangkan dukungannya.

Kelompok evangelis umumnya dikenal sebagai pendukung utama Israel yang membuat beberapa negara Arab dan Muslim menekankan hubungan mereka negara Yahudi itu sebagai ‘nilai tawar’ bagi mereka.

Tentu saja Azerbaijan tak sendirian berinvestasi dalam hubungannya dengan komunitas evangelis. Sebelumnya, dalam 18 bulan terakhir beberapa evangelikal terkemuka di AS telah bertemu dengan para pemimpin dari Mesir, Yordania, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Juga Qatar dan Bahrain yang jelas-jelas melakukan pendekatan serupa.

Di antara tokoh-tokoh evengelis, salah satu yang memainkan peran penting dalam hubungan baru ini adalah Joel C. Rosenberg, penulis buku best seller kelahiran AS namun tinggal di Israel.

Rosenberg, yang juga merupakan Kristen evangelis  telah menulis sejumlah thriller politik di Timur Tengah, termasuk penggambaran dirinya tentang bagaimana ISIS menaklukkan Yordania dan bagaimana dia memfokuskan diri memerangi pengaruh Iran di kawasan itu.

Bermula dari kunjungan perdana Presiden Mesir Abdel-Fattah al-Sissi ke Washington pada April 2017, al-Sisi juga menghadiri diskusi tak resmi dengan para ‘pembentuk opini’ di AS yang berurusan dengan Timur Tengah.

Rosenberg berada di sana dan hadir di acara itu bersama beberapa mantan pejabat AS, rekan-rekan senior di berbagai lembaga think tank serta pemimpin kelompok Amerika-Yahudi. Pada kesempatan itulah Rosenberg memperkenalkan dirinya kepada presiden al-Sisi.

“Saya mengatakan kepadanya bahwa dalam beberapa tahun ini saya telah mengamati bahwa Mesir telah mengundang Paus dan bertemu dengan para pemimpin Kristen lainnya tapi tak pernah memiliki interaksi khusus dengan kaum evangelis,” kata Rosenberg.

Rosenberg mengatakan kepada al-Sisi, “anda mungkin ingin mencoba dan melakukan itu karena selain 60 juta di AS terdapat 10 kali jumlah evangelis di seluruh dunia. Tanpa berkedip, al-sisi mengatakan kepada saya, ‘Apakah Anda tertarik untuk mengadakan pertemuan seperti itu?” Rosenberg mengenang.

Tujuh bulan kemudian, tepatnya pada bulan November 2017 belasan evangelis berpengaruh AS termasuk beberapa anggota dewan penasihat evangelis Trump tiba di istana presiden Sissi di Kairo. Peristiwa itu merupakan kali pertama Presiden Mesir menjadi tuan rumah bagi model delegasi semacam itu.

Larry Ross, salah seorang ahli hubungan masyarakat dari Texas hadir dalam pertemuan dengan al-Sisi mengingat pertemuan itu sebagai, “dijadwalkan sekitar 30 menit tetapi kami akhirnya duduk bersamanya selama tiga jam.”

Dalam pembicaraan tersebut al-Sisi menyebut bahwa ia ingin ‘membangun warisan’ Anwar Sadat, presiden Mesir yang menandatangani perjanjian damai bersejarah antara Israel dan Mesir di akhir 1970-an.

Al-Sisi juga menekankan pentingnya menemukan cara untuk menciptakan perdamaian antara Israel dan Palestina dan mengatakan bahwa perjanjian seperti itu bakal membuka kemungkinan ‘perdamaian regional’ antara Israel dan seluruh dunia Arab.

Dua hari setelah pertemuan dengan al-Sisi itu, delegasi terbang ke Yordania dan bertemu dengan tuan rumahnya; Raja Abdullah II. Meski Abdullah sebelumnya pernah bertemu dengan para pemimpin evangelis, bagi delegasi khusus ini pertemuan tersebut merupakan sebuah prestasi. Bertemu dua pemimpin paling penting di Arab hanya dalam sebuah perjalanan singkat.

Meski pertemuan itu segera menjadi tajuk pemberitaan media massa di Timur Tengah, langkah itu tak lebih dari permulaan saja. Al-Sisi kembali mengadakan pertemuan kedua dengan kelompok Rosenberg di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York bulan September lalu.

Tentu itu bukan kebetulan, pertemuan itu terjadi tepat sebelum pertemuan langka antara al-Sisi dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Kejutan masih berlanjut ketika di bulan Desember muncul perkembangan yang paling tidak terduga; Rosenberg dan anggota delegasinya diundang mengunjungi UEA dan Arab Saudi untuk bertemu dengan putra-putra mahkota mereka yakni Mohammed bin Zayed dan Mohammed bin Salman.

Johnnie Moore, seorang pendeta injili dari California yang terlibat dalam pertemuan itu menyebut hal itu sebagai kejutan.

Mencatat Saudi sebagai negara terkeras dalam soal-soal agama dan mempertahankan reputasi itu selama puluhan tahun, Moore menyebut fakta bahwa kunjungan kelompok evangelis itu bisa terjadi karena “tanda perubahan besar.”

Fakta bahwa pemimpin delegasi itu adalah Rosenberg yang meruapakan warga negara Israel, sekaligus mengajak putranya yang juga warga negara Israel, pertemuan itu dengan sendirinya signifikan dalam hubungan Arab-Israel.

Secara tak resmi Saudi bagaimanapun tak mengizinkan warga Israel untuk memasuki negara itu. Namun dengan dua dua warga Israel duduk di dalam istana putra mahkota di Riyadh jelas menjadi bukti bahwa untuk memenangkan dukungan kaum evangelis, kepemimpinan di Saudi terbuka untuk memperbarui beberapa sikapnya.

Selain Mesir dan Saudi, Bahrain dan Qatar juga bersusah payah menggaet kaum injili terkemuka baru-baru ini. Qatar bahkan menghabiskan puluhan ribu dolar untuk membawa Mike Huckabee –pendeta evangelis sekaligus ayah dari Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders.

Sementara pemerintah Arab didominasi oleh Muslim Sunni, Azerbaijan adalah negara mayoritas Syiah. “Ini adalah bagian dari proses panjang menciptakan kemitraan nyata antara orang-orang dari agama yang berbeda,” kata Schneier.

Salah satu alasan yang jelas bagi pemerintah Muslim untuk mencoba menarik dukungan evangelis adalah pengaruh komunitas evangelis pada administrasi Trump. Wakil Presiden Mike Pence dan Sekretaris Negara Mike Pompeo sama-sama evangelis, dan keduanya memainkan peran kunci di pemerintahan soal isu-isu di Timur Tengah.[TGU]