Koran Sulindo – Gubernur Jenderal Dirk Fock yang berkuasa dari 1921-1926, mengeluarkan undang undang (UU) untuk menindas pemogokan, kebebasan media dan berbicara di depan umum. Penjara dan pembuangan adalah hukuman bagi mereka yang melanggar UU tersebut.
Upaya penguasa kolonial untuk membungkam dan menghancurkan perlawanan dengan segala macam UU, hukuman penjara dan pembuangan tidak cukup untuk menghambat pengaruh orang-orang komunis di kalangan rakyat. Usaha penguasa kolonial ini mendapat bantuan antek-antek pribuminya. Misalnya, bupati Sumedang memelopori pembentukan Sarekat Hejo untuk meneror dan mengintimidasi PKI, Sarekat Islam Merah/Sarekat Rakyat dan para simpatisannya. Mereka merusak dan membakar kantor-kantor dan sekolah-sekolah yang mereka dirikan, mengganggu dan membubarkan pertemuan dan rapat-rapatnya.
Tan Malaka, dalam Menuju Republik Indonesia (1925) menulis “Penderitaan massa bertambah pesat. Harapan dan kemauannya untuk merdeka berlangsung bersama-sama dengan penderitaannya. Politik revolusioner merembes di antara rakyat Indonesia makin lama makin meluas…..Suara merdu politik etis sekarang, diganti dengan suasana tongkat karet yang menjemukan dan kemerincing pedang di Bandung, Sumedang, Ciamis dan Sidomulyo. Imperialisme Belanda telah melampaui batas politik etis. Pelaksanaan politik tongkat karet dan pistol diresmikan dengan darah dan jiwa proletar. …… Krisis ekonomi ini tak akan dapat disembuhkan dalam beberapa tahun.”
Sedangkan Alimin dalam Analysis menulis: “Sebelum timbulnya krisis dunia pada 1929 krisis kapitalis yang sehebat-hebatnya yang belum pernah terjadi dalam kapitalisme-imperialisme, gelombang krisis itu telah mulai menyerang ekonomi kapitalisme di negeri jajahan. Penarikan kembali duurtettoeslag (tunjangan biaya hidup), pengurangan upah kaum kerja, pemanjangan waktu bekerja dan penaikan beberapa jenis pajak dan bea dan permulaan mengurangi Staatsbegroting (anggaran belanja negara) di seluruh cabang-cabang perekonomian di Indonesia, itu semua sangat merusak lagi penghidupan rakyat di Indonesia seluruhnya. Krisis-krisis itu ialah akibatnya peperangan imperialisme pada tahun 1914-1918. Telah beberapa kali Gubernur-jenderal menerangkan di hadapan Volksraad adanya kekacauan ekonomi di Indonesia dan telah memerintahkan pada sekalian pembesar-pembesar Departementen supaya segera mengurangi belanja Negeri dan menghemat segala harta benda pemerintahan Belanda di Indonesia.”
Konferensi Candi Prambanan
Sebagai partai pelopor, PKI tidak dapat membiarkan perlawanan dan pemberontakan rakyat terus berlangsung tanpa pimpinan. Dalam rangka menanggapi situasi di mana penghisapan, penindasan dan kekerasan kolonial semakin berat dan kejam, yang membuat rakyat makin berani melakukan perlawanan, pada tanggal 25 Desember 1925, PKI menyelenggarakan konferensi di Candi Prambanan.
Konferensi dihadiri para anggota pimpinan pusat yang berada di Tanah Air ketika itu dan beberapa pimpinan daerah. Kesepakatan dicapai untuk bersiap memimpin aksi-aksi pemogokan dan pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan pemerintah kolonial Belanda.
Selesai konferensi, pimpinan pusat segera mengirim utusan ke daerah-daerah, antara lain Makassar, Palembang, Surakarta, Surabaya, Semarang, Cirebon,Tegal, Banten dan daerah-daerah Priangan. Sebuah Komite Pemberontak yang bertugas memimpin aksi juga dibentuk. Alimin dan kemudian Musso dikirim ke Timur Jauh untuk konsultasi dengan wakil Komite Eksekutif Komintern.
Di sinilah permulaan pertentangan antara pimpinan PKI dengan Tan Malaka, yang ketika itu menjadi salah seorang anggota Sekretariat Komite Eksekutif Komintern dan berada di Filipina. Tan Malaka tidak menyetujui keputusan yang diambil dalam konferensi Prambanan dan menuntut supaya dicabut.
Tan Malaka punya hak untuk tidak menyetujui keputusan Prambanan. Namun, sebagai seorang anggota Partai Komunis yang memiliki disiplin, seharusnya ia juga tahu bahwa tidaklah tepat melakukan kegiatan memecah belah partai yang sedang menyiapkan sebuah pemberontakan yang dalam waktu beberapa bulan saja sudah akan digerakkan.
Persekusi terhadap orang-orang komunis dan revolusioner lainnya dari pihak penguasa kolonial Belanda dan juga penguasa kolonial Inggris (di Hongkong, Singapura dan Malaya) dan Amerika yang menguasai Filipina ketika itu, tidak memungkinkan diselenggarakannya dengan baik pertemuan dan diskusi. Keadaan objektif yang begitu menuntut disiplin dan kekompakan para anggota pimpinan dalam menghadapi rencana pemberontakan.
Tan Malaka punya hak untuk mempertahankan pendapatnya, namun usahanya untuk menarik beberapa anggota pimpinan pusat dan daerah untuk tidak ikut berontak ketika pemberontakan sudah meletus, tidak dapat dianggap lain kecuali sebuah sabotase dan tikaman dari belakang terhadap PKI.
Dalam Menuju Republik Indonesia, Tan Malaka bicara soal disiplin baja yang harus dimiliki PKI. Ia tulis bahwa setiap anggota mempunyai hak penuh untuk mengemukakan dan mempertahankan pendapatnya, menentang atau mendukung pendapat orang lain. Tetapi jika mayoritas mengambil keputusan yang bertentangan dengan pendapatnya, maka ia harus tunduk pada putusan itu dan sebagai anggota atau pemimpin ia harus melaksanakannya.
Namun dalam praktik, Tan Malaka menyimpang dari disiplin yang ia kemukakan sendiri. Keputusan yang diambil dalam konferensi Prambanan adalah keputusan kolektif pimpinan partai ketika itu, bukan kehendak satu orang. Tan Malaka tak berhasil meyakinkan mayoritas pimpinan untuk membatalkannya. Konsekuensinya, Tan Malaka seharusnya menjalankan keputusan itu. Bukannya menjegal!
Sebagai seksi dari Komintern, pimpinan PKI juga sadar akan kewajibannya untuk konsultasi dengan pimpinan Komintern di Moskow. Oleh karena itu dikirim Musso dan Alimin. Hasil konsultasi tidak keburu disampaikan kepada partai di Tanah Air. Jarak dan kesulitan dalam perjalanan jauh itu telah menghambat kembalinya mereka ke Indonesia.
Kegagalan pemberontakan yang disebabkan karena kelemahan dan kekurangan PKI, selalu digunakan para pendukung Orba dan pengikut Tan Malaka untuk memojokkan dan merusak nama PKI sebagai pencetus dan pemimpin perlawanan nasional pertama. Mereka mengabaikan dampak positif pemberontakan yang telah meningkatkan kesadaran rakyat dan mendorong maju gerakan kemerdekaan, dan juga menggoncangkan sendi-sendi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Hal ini antara lain dibuktikan oleh tindakan pemerintah Belanda yang membentuk Komisi Penyelidik untuk secara khusus mempelajari sebab dan akibat dari pada pemberontakan 12 November. Laporan Komisi itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Inggris dan bahasa Eropa lainnya, supaya pemerintah kolonial Eropa bisa mengambil pelajaran dari kegoncangan pemerintah Hindia Belanda yang disebabkan oleh pemberontakan rakyat itu.
Sebelum PKI berdiri, kaum tani, kaum buruh dan juga kaum bangsawan sudah melakukan berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Tak satupun dari pemberontakan dan perlawanan itu berhasil mengusir kaum penjajah. Apakah kegagalan itu dapat dijadikan alasan untuk menyalah-nyalahkan dan bahkan mengutuknya? Mengapa kita tidak menyalahkan Pangeran Diponegoro atau Imam Bonjol atau Teuku Umar atau Pattimura atas kegagalannya?
Pemberontakan kaum buruh dan rakyat pekerja Prancis pada 1871 melawan kekuasaan kaum borjuasi untuk kemudian mendirikan Komune Paris juga gagal. Marx dan Engels mengkritik kesalahan-kesalahannya dengan maksud menarik pelajaran yang sangat berharga dari pengalaman pertama kaum buruh merebut kekuasaan politik. Namun pengorbanan 30.000 orang Parisiens yang mati dalam pertempuran mempertahankan Komune dan 50.000 yang ditangkap kemudian tidaklah sia-sia. Mereka terukir dalam sejarah dan ingatan rakyat pekerja Prancis dan dunia yang terus berjuang mewujudkan cita-cita membangun hari depan yang cerah bagi umat manusia.
Dalam keadaan yang tidak sehat ini, tidak mengherankan munculnya tulisan dan pendapat yang ingin menghilangkan fakta sejarah yang menunjukkan sumbangan PKI kepada usaha membebaskan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda. Sebagai gantinya, ditampilkan tokoh yang bertentangan dengan PKI.
Salah seorang tokoh yang ditonjolkan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah Tan Malaka. Menarik perhatian, di antara mereka yang dengan antusias mendorong ke depan ketokohan Tan Malaka adalah orang-orang eks PKI yang sudah mengingkari ideologi dan teori perjuangan yang dulu dianutnya.
Dalam Menuju Republik Indonesia, cetakan pertama, 2000, penerbit Komunitas Bambu menulis pengantar yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Pada masa buku ini pertama kali diterbitkan (tahun 1925), karena Tan Malaka mantan ketua PKI (pada tahun 1921) dan menjadi wakil Komintern untuk Asia Tenggara ketika buku ini ditulis, maka PKI memiliki konotasi sebagai organisasi revolusioner. Tetapi dalam buku ini ditekankan pula bahwa sifat PKI dan komunisme yang menjadi penggerak perjuangan bukanlah sifat yang eksklusif, anti-agama dan anti-nasional, dan lain-lain sifat negatif yang kemudian menjadi ciri khas PKI setelah ditinggalkan Tan Malaka, melainkan bersifat nasionalis, mendukung perjuangan seluruh kelas dan kelompok di Indonesia, ……”.
Pendapat penerbit Komunitas Bambu jelas: di bawah pimpinan Tan Malaka, PKI dianggap sebuah organisasi revolusioner, yang mendukung perjuangan seluruh kelas di Indonesia, tidak anti-agama dan tidak anti-nasional. Setelah ditinggalkan Tan Malaka, PKI menjadi organisasi yang tidak revolusioner, anti-agama, anti-nasional, dan masih ada lagi sifat negatif, yang konkretnya tidak disebut sifat apa. Sesuaikah tuduhan ini dengan kenyataan sejarah?
Tan Malaka baru sampai di Jawa awal 1921. Ia diajak temannya turut serta dalam Kongres SI, Maret 1921. Di situ ia berkenalan dengan Semaun. Tinggal bersama Semaun di Semarang untuk membantu membangun sebuah sekolah yang disponsori SI. Ketika terjadi perpecahan dalam Kongres SI, Oktober 1921, Tan Malaka berkomentar: “Sebagai orang baru dalam gerakan, saya mencoba melihat sebab perpechan ini”. Dengan jujur ia mengakui sebagai “orang baru”.
Kepergian Semaun pada akhir Oktober 1921 ke luar negeri membuat Tan Malaka naik menjadi ketua PKI, walau dia baru beberapa bulan saja masuk PKI. Setelah kegagalan pemogokan pegawai pegadaian yang dipimpin Tan Malaka dan Bergsma, pada bulan Maret 1922, Tan Malaka harus meninggalkan Indonesia. Jadi kiprah Tan Malaka dalam PKI di Indonesia tidak sampai satu tahun. Dan sebagai ketua PKI hanya kira-kira enam bulan.
Penerbit Komunitas Bambu mengklaim Tan Malaka-lah yang membuat PKI tidak bersifat eksklusif, anti-agama, dan anti-nasional. Lantas bagaimana dengan pimpinan PKI lainnya seperti Haji Misbach yang sudah berkiprah sejak 1914? Tahun 1919 ditangkap karena memimpin pemogokan kaum tani, tahun 1920 kembali dipenjara. Ketika SI pecah, sebagaimana halnya dengan banyak haji dan orang-orang Islam lainnya, tanpa ragu-ragu Haji Misbach memilih SI Merah. Seorang propagandis PKI dan SI Merah yang ulung, berani dan konsekuen sampai akhir hayatnya di pembuangan Manokwari!
Kehadiran dan Hak Hidup PKI di Indonesia
Ketika bicara tentang Peristiwa 1965, Prof. Salim Said mengemukakan “mungkin kondisi masyarakat kita belum lagi siap menerima orang-orang yang punya aliran kiri sebagai bagian yang harus kita terima dalam pluralisme pemikiran masyarakat kita”. Rupanya ingatan selektif guru besar ilmu politik universitas di mana para perwira TNI menimba ilmu, cukup besar, sehingga apa yang tak sesuai dengan keyakinannya hilang dari memorinya.
Kelahiran PKI tahun 1920 disambut oleh rakyat. Terbukti oleh kecepatan perkembangannya sampai ke luar Pulau Jawa. Politik orang-orang komunis di Sarekat Islam pun terbukti lebih sesuai dengan harapan dan semangat anggotanya sehingga ketika pecah, mayoritas memilih Sarekat Islam Merah. Siapa yang membenci dan melarang PKI? Kaum penguasa kolonial dan antek-antek pribuminya.
Pada zaman penjajahan Jepang, hadirkah orang-orang komunis dalam perlawanan? Amir Sjarifudin, Wikana, Widarta, Sidik Kertapati, D.N.Aidit, M.H. Lukman berhasil lolos dari kematian, tapi Pamudji, Sjaifulah, Sukadjat, Aziz, dan Abdurochim mati di tangan algojo-algojo Kenpeitai.Tak tertutup kemungkinan masih ada lagi nama-nama yang tak tercatat, terutama di daerah di luar Jawa.
Kemudian dalam perjuangan proklamasi, membela dan mempertahankan kemerdekaan, dapatkah Prof. Said membantah partisipasi orang-orang kiri dan komunis? Di samping dalam bentuk organisasi partai (Partai Buruh, Partai Sosialis dan PKI), kegiatan orang-orang kiri dan komunis di laskar rakyat, organisasi massa dan sosial tak terbantahkan. Seandainya kekuatan kiri-komunis tidak besar dan tak berpengaruh dalam gerakan kemerdekaan, kaum imperialis dan antek pribuminya tak akan susah-susah mencari cara untuk menghancurkannya. Peristiwa Madiun adalah buktinya. Cukup lama sudah PKI dituduh berontak di Madiun, 1948. Tiba waktunya akademisi seperti Prof. Said dengan se-rius membongkar dan mencari kebenaran.
Fakta lain yang patut diingat Prof. Said adalah pada pemilu 1955, 7 tahun setelah Provokasi Madiun dan 4-5 tahun setelah pembangunan kembali partai, PKI dipilih oleh lebih dari 6 juta rakyat, menjadi partai terbesar keempat di Indonesia. Massa rakyat memberi suaranya dengan bebas dan tanpa ketakutan kepada PKI. Sebaliknya, beberapa tahun kemudian, begitu takutnya kaum kanan reaksioner dan militer pro-imperialis pada pertumbuhan pesat PKI, sehingga para petinggi militer kanan seperti Nasution berhasil meyakinkan Bung Karno untuk menunda dan akhirnya menghilangkan sama sekali pemilu.
Yang merampas hak hidup kaum kiri dan kaum komunis di Indonesia adalah kudeta militer Soeharto dengan dukungan penuh kaum imperialis serta pembantaian, penyiksaan, pemenjaraan, penghilangan paksa. Bukan masyarakat Indonesia yang tidak siap menerima kaum kiri dan kaum komunis. Mereka sudah hadir dan berkiprah di tanah Nusantara sebelum TNI dan kaum intelektual seperti Prof. Salim Said lahir.
Jelaslah, bedil, teror dan fitnah yang dipaksakan dan dicekokkan Orba dengan dan tanpa Soeharto sampai sekarang; kepicikan, kebodohan dan ketidaktahuan akan sejarah perjuangan bangsa dan rakyat; semua ini merupakan faktor pokok yang memisahkan, untuk sementara, massa rakyat pekerja dari partai pelopornya, satu-satunya partai yang berani dan rela mengorbankan jiwanya demi kemerdekaan bangsa dan pembangunan sebuah masyarakat baru berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat yang terhisap dan tertindas. [Tatiana Lukman]