Tempat pembuangan Boven Digul semasa pemerintahan kolonial Belanda di Nusantara/Java Post

Koran Sulindo – Rezim militer fasis Soeharto 1965 tidak saja telah melakukan pembantaian terbesar dan terkejam di Indonesia, tapi juga menyembunyikan, memutar balik dan memanipulasi fakta sejarah serta melemparkan fitnah-fitnah paling busuk dan keji terhadap PKI, ormas-ormas kiri dan progresif pendukung Bung Karno. Keluarga, kawan-kawan dan keturunan orang-orang komunis dan mereka yang dituduh komunis menderita pengucilan dan macam-macam stigma yang membebani dan menimbulkan rasa rendah diri atau bahkan menenggelamkan hidupnya.

Kita dapat melawan kebohongan dan fitnah Orde Baru dengan mempelajari sejarah bangsa dan rakyat Indonesia secara benar, membedakan informasi yang benar dan yang palsu.

Salah satu fakta sejarah yang tak terbantahkan adalah pemberontakan nasional pertama melawan penjajah Belanda, 12 November 1926, yang dipimpin PKI. Sebelum para jenderal dan perwira tinggi TNI anti-komunis lahir dan menuduh PKI anti-agama dan pengkhianat bangsa, justru orang-orang PKI, dan banyak haji dan kiai haji di antara mereka, yang paling duluan menunjukkan keberanian melawan penghisapan dan penindasan kolonial dan berani juga menanggung akibat terberatnya, yaitu digantung atau dipenjara dan diasingkan ke Boven Digul atau daerah lain.

Mengapa kita sebut “pemberontakan nasional pertama”? Karena pemberontakan melawan Belanda yang dilancarkan sebelumnya bersifat lokal. PKI adalah partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia dan berhasil meluas sampai ke Sumatra dan Sulawesi. Karakter nasionalnya juga ditandai oleh sifat multi-etnis dari anggotanya.

Orba dan kaum anti-komunis tak dapat menghapus fakta bahwa PKI-lah yang memimpin pemberontakan itu. Tak mungkin mereka menggantikannya dengan TNI, bukan? Tapi mereka berusaha mengurangi bahkan menghapus keyakinan komunis para perintis kemerdekaan Indonesia itu.

Dalam bukunya Vijftien jaar Boven-Digoel, I.F.M. Salim (adik H. Agus Salim), juga seorang Digulis, menulis bahwa 60% dari mereka yang dibuang ke Boven Digul adalah orang komunis, sedangkan sisanya orang-orang nasionalis. Ia merasa heran dan tak mengerti mengapa Sjahrir, dalam bukunya Indonesische Overpeinzingan (Indonesian Reflection) menulis bahwa di Boven Digul sebetulnya secara keseluruhan tidak ada orang komunis. Sikap Sjahrir yang ingin menghilangkan peran kaum komunis dalam perjuangan kemerdekaan disebabkan oleh karakter anti-komunisnya. Bahwa Sjahrir sangat anti-komunis juga diungkapkan I.F.M.Salim dalam bukunya Lima Belas Tahun Boven Digul itu.

Buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex. Digul yang diterbitkan Direktorat Jenderal Bantuan Sosial Departamen Sosial,  pada 1977, juga bertujuan mengecilkan sampai sekecil mungkin peran kaum komunis sebagai perintis kemerdekaan  dan jumlah orang komunis di Boven Digul.  Di situ tertulis: “Bahkan sebagian terbesar dari mereka terdiri dari golongan Islam, sebagian lagi terdiri dari orang nasionalis dan hanya sebagian kecil yang dinilai sebagai orang komunis. Orang interniran yang ada di Tanah Merah atau Boven Digul paling banyak hanya 2% dari jumlah 1.400 orang interniran yang dapat dimasukan ke dalam golongan orang komunis. Mereka memberontak menentang penjajahan Belanda bukanlah karena membela paham komunis atau  karena mereka mengerti komunisme”.

Paham komunis mengajarkan para penganutnya menentang penghisapan, penindasan, ketidakadilan dan perampokan sumber daya alam oleh kaum imperialis dan kolonial. Para haji dan umat Islam turut berontak  karena melawan penghisapan dan penindasan kolonial Belanda. Itu sesuai dengan paham  komunis. Mempertentangkan paham komunis dengan semangat berontak melawan penjajahan disebabkan karena penulis Citra dan Perjuangan… tidak mengerti apa itu paham komunis.

I.F.M. Salim yang sering bercakap-cakap dengan orang-orang komunis beragama Islam di Boven Digul, menyatakan bahwa mereka menganggap pertemuan antara ide-ide komunis dan agama sangat dimungkinkan. Menurut mereka, Nabi Muhammad mengajarkan “Kesetaraan dan persaudaraan untuk semua dan “dukungan kepada yang membutuhkan”. Salim mengakui bahwa PKI sangat toleran terhadap pandangan keagamaan anggotanya. Ia melihat itu sebagai mentalitas nasional. Orang Indonesia pada dasarnya toleran terhadap agama. Meskipun ada sekte Muslim fanatik di Nusantara yang mengambil posisi berbeda, tapi itu bukanlah pandangan umum orang Indonesia, tegas Salim.

Selanjutnya di Citra dan Perjuangan… tertulis : “Banyak juga guru agama atau pemuka agama yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda diasingkan dan dikucilkan ke Tanah Merah atau Boven Digul. Mereka ini bukan orang komunis. Mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat dan pasti menentang paham ateis yang mengingkari adanya Tuhan seperti yang dianut oleh orang komunis”.

Jelas, penulis membuat asumsi berdasarkan pada ideologi dan mentalitas Orde Baru yang mencekokkan kebohongan dan fitnah bahwa PKI anti-agama. Atas dasar apa ia memastikan para pemuka agama itu bukan komunis? Apakah Kiai Haji Achmad Chatib, Kiai Haji Dasuki Siradj dan Haji Misbach yang jelas anggota PKI bukan pemeluk agama Islam yang taat? Sudah tentu tidak semua anggota Sarekat Islam Merah/Sarekat Rakyat adalah anggota PKI. Dan tak tertutup kemungkinan terdapatnya umat Islam yang turut berontak dan menganggapnya sebagai perang sabil. Masalahnya, ada sementara orang dan sejarawan yang menilai pemberontakan sebagai perang sabil untuk menghapus keyakinan komunis para peserta pemberontakan dengan tujuan menghilangkan fakta sejarah di mana PKI memperlihatkan dirinya sebagai partai politik pertama yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam analisanya, mereka mengeluarkan perlawanan 1926 itu dari konteks sejarahnya dan bertolak dari pandangan terdistorsi yang dibentuk oleh rezim Orde Baru, yaitu bahwa PKI anti-agama, dan orang komunis tak bisa tidak orang yang tidak punya kepercayaan atau ateis.

Kejadian yang saya saksikan dalam kampanye Pemilu 1955 menunjukkan ada orang PKI yang menganut kepercayaan. Untuk mengusir ancaman hujan yang akan mengganggu bahkan membatalkan acara kesenian yang mendahului rapat umum yang diorganisasi cabang PKI lokal di daerah Rawasari, Jakarta, salah seorang organisator pertemuan keluar dari rumahnya dengan membawa sebuah keris. Setelah melakukan ritual yang tidak saya pahami, ia mengacungkan dan menggerakan keris di udara sambil mengucapkan sesuatu. Langit dan awan hitam perlahan-lahan menjadi biru, putih dan kecerahan hari itu mengelilingi semua yang hadir di lapangan itu.

Pengalaman lain adalah ketika pater yang memberi pelajaran budi pekerti di sekolah rakyat Melania, suatu hari berkata bahwa ia seorang komunis. Kok bisa seorang Katolik mengaku komunis?

Sebetulnya, justru Orba yang membunuh agama dan kepercayaan masyarakat suku bangsa yang berserakan di bumi Nusantara ini melalui pembatasan 5 agama yang diakui negara. Anggota komunitas terpaksa harus memilih salah satu agama resmi yang sebetulnya bukanlah yang mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Sarekat Islam
Tahun 1912, agar tidak membatasi gerakannya hanya dalam bidang perdagangan, Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI). Dengan begitu, ia bisa turut serta dalam kehidupan politik untuk membela haknya melawan ketidakadilan, eksploitasi dan penindasan pemerintah kolonial Belanda. Dasar agama Islam merupakan salah satu faktor yang mendorong perkembangan pesat SI di kalangan berbagai lapisan penduduk, dari golongan priyayi-intelektual, santri, Islam abangan, sampai kaum tani yang tidak berpendidikan.

Akibat logis dari keragaman kelas ini adalah perjuangan internal dalam perkembangan SI selanjutnya, antara mereka yang konservatif dan cenderung berkolaborasi dengan Belanda dengan mereka yang berkembang menjadi lebih radikal dalam menuntut kemerdekaan Indonesia dan membela kepentingan sosial dan ekonomi rakyat jelata.

Radikalisasi ini tidak dapat dipisahkan dari memburuknya keadaan ekonomi Hindia Belanda sebagai dampak dari Perang Dunia I, masuknya ide-ide sosialisme-komunisme dan inspirasi dari kemenangan Revolusi Oktober 1917 di Rusia.

Masalah yang menjadi pokok pertentangan antara kedua aliran dalam SI, antara lain: pimpinan pusat yang dipimpin Tjokroaminoto  bermaksud turut serta dalam Volkskraad, sebuah badan yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan mendukung ide membangun Indiee Weerbar (Militia Indonesia) untuk membela Hindia Belanda, yang dimanifestasikan dengan pengiriman Abdul Muis sebagai bagian dari delegasi ke negeri Belanda dalam rangka mendukung pembentukan ‘Milisia Indonesia’.

SI Cabang Semarang, di samping mengutuk modal asing dan pemerintah kolonial Belanda, juga memimpin kritik-kritik terhadap pimpinan pusat dalam hubungan dengan ‘Milisia Indonesia’ dan partisipasi dalam Volkskraad.

Kemudian berkembang lagi pertentangan yang menyangkut “disiplin partai”, yang tidak mengizinkan anggota SI untuk menjadi anggota organisasi lain. Padahal praktik menjadi anggota beberapa organisasi sudah menjadi sebuah kebiasaan yang berlaku ketika itu.

Haji Agus Salim dan Tjokroaminoto menekankan agama Islam sebagai dasar SI, dan menentang perjuangan kelas. Sedangkan Semaun menegaskan, kalau SI menghilangkan sayap kirinya, ia akan kehilangan massanya dan kembali menjadi perkumpulan pedagang Islam yang kecil. Praktik membuktikan kebenaran pendapat Semaun tentang tidak cukupnya agama Islam dijadikan dasar sebuah organisasi politik yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, SI Putih dan Persatuan Sarekat Islam makin lama makin kecil dan hilang perannya. Sebaliknya SI Merah dan kemudian Sarekat Rakyat terus berkembang. Politik perlawanan PKI terhadap penghisapan dan penindasan Belanda terbukti mewakili dan sesuai dengan harapan dan semangat sebagian besar umat Islam yang justru memilih Sarekat Islam Merah/Sarekat Rakyat ketika SI pecah. Itulah yang terjadi dengan Kiai Haji Muklas, eyang saya. Mengapa beliau tidak memilih SI Putih dan masuk menjadi anggota Persatuan Sarekat Islam? Ini menunjukkan kesamaan agama tidak otomatis menjamin persatuan dan kesamaan tujuan perjuangan.

Situasi Ekonomi 1920-an
Sikap netral Pemerintah Belanda dalam Perang Dunia Pertama 1914-1918, antara Central Powers (antara lain, Jerman, Turki, Austria-Hungaria), di satu pihak, melawan kekuatan Sekutu ( Prancis, Inggris, Rusia, Italia, AS, Jepang) di lain pihak, tidak dapat melindungi ekonomi Hindia Belanda dari dampak negatif yang mulai terasa pada 1916.

Perdagangan antara Hindia Belanda dengan negeri Belanda dan negeri-negeri Eropa yang sedang berperang, terutama Jerman yang merupakan salah satu pasar besar bagi produk Hindia Belanda dan juga  pemasok mesin dan suku cadang yang diperlukan industri di Hindia Belanda menjadi terhambat.

Inggris dan Prancis memasukkan bahan mentah yang diekspor dari Hindia Belanda ke Eropa ke dalam daftar barang-barang selundupan. Misalnya, karet, minyak, kopra yang mengakibatkan harganya turun drastik. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi secara ekonomi terhadap  musuhnya, yaitu Jerman dan Austria-Hungaria. Gula, kopi, teh dan kopra tidak bisa diangkut ke Belanda sehingga tertim-bun di gudang-gudang. Akibatnya, harganyapun turun. Penanam dan pekerja perkebunan gula, kopi dan teh sudah tentu merasakan dampaknya.

Inggris dan Perancis juga melarang ekspor beras dan gandum ke Hindia Belanda yang menyebabkan kekurangan beras dan kenaikan harga roti dan turunnya kualitas roti. Sebaliknya, Berlin melarang ekspor barang yang diperlukan berbagai industri di Hindia Belanda. Para pengusaha batik menderita karena bahan pewarna datang dari Jerman. Kelangkaan bahan pewarna membuat harganya melonjak tinggi, hal mana menyebabkan banyak pengusaha batik gulung tikar.  (Kees van Dijk: the Netherlands Indisch and the Great War 1914-1918 …)

Larangan impor dan ekspor ini membuat pengusaha besar Belanda dan Jerman menderita kerugian besar dan bahkan kebangkrutan. Tapi yang paling besar penderitaannya adalah rakyat Indonesia yang sebelum Perang Dunia I pun sudah hidup dalam penindasan, kemiskinan dan kesengsaraan .

Tahun 1916, di Jambi meletus pemberontakan bersenjata yang meluas sampai ke Palembang. Di Tapanuli, Flores, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, rakyat juga bangkit melawan dengan senjata di tangan. Pemerintah kolonial menyalahkan Sarekat Islam atas perlawanan tersebut. Dinas rahasia politik dibentuk dengan tugas terutama memata-matai orang komunis, guru dan unsur-unsur lain yang dianggap subversif untuk dikenakan hukuman pembuangan. Gubernur jenderal dan badan kekuasaan lainnya berhak memenjarakan orang tanpa memberi alasan apapun.

Ruth McVey, dalam The Rise of Indonesian Communism, menulis bahwa antara tahun 1911 dan 1917, terjadi sembilan pemberontakan melawan kekuasaan Belanda di Indonesia Timur, sembilan di Sumatra dan lima di Kalimantan.

Pada 1919 terjadi pemogokan besar yang melibatkan 20 ribu orang dalam industri gula. Semaun dipenjara  empat bulan dengan tuduhan menghasut dan memberontak. Pertengahan 1923, terjadi pemogokan buruh dan pegawai kereta api yang tergabung dalam VSTP. Kali ini Semaun mendapat hukuman pembuangan ke Eropa. Pegawai negeri dilarang masuk PKI dan juga dilarang membeli korannya.

Sepanjang 1925, terjadi berturut-turut pemogokan, antara lain, buruh percetakan di Semarang dan Surabaya yang berlangsung selama hampir dua bulan, pegawai rumah sakit pusat dan pemogokan buruh di perusahaan kapal dan perahu yang berjalan hampir satu bulan di Semarang, pemogokan pegawai rumah sakit sentral di Jakarta, pemogokan pegawai pemerintah dan swasta di Medan. Perlawanan spontan juga terjadi di kalangan kaum tani yang menanggung beban pajak berat dan penindasan kejam, seperti misalnya di Banyuwangi dan Tegal. [Tatiana Lukman]