Stasiun uji pasokan air di Meester Cornelis (kini Jatinegara), kawasan particuliere landerijen di Batavia. Foto: Wikimedia Commons/Koleksi Tropenmuseum

Particuliere landerijen atau tanah partikelir menjadi salah satu masalah sentral yang memicu kerusuhan di zaman penjajahan Belanda di Nusantara. Kebijakan penjualan tanah oleh pemerintah kolonial dan unsur kolonial kepada swasta menciptakan ketidakpuasan di kalangan petani, yang pada gilirannya memicu berbagai bentuk perlawanan, baik secara individu maupun terorganisir.

Pengertian Particuliere Landerijen

Particuliere landerijen adalah bentuk kepemilikan tanah partikelir oleh swasta, yang dijual oleh pemerintah kolonial di Nusantara. Tanah-tanah ini disertai dengan hak menjadi tuan tanah, yang mencakup wilayah tanah, tenaga petani, dan kewajiban membayar pajak kepada pemerintah kolonial.

Kehadiran particuliere landerijen memicu kerusuhan karena petani merasa terbebani oleh pungutan cukai yang tinggi dan keterikatan pada tuan tanah. Mereka juga terpaksa menjalani kerja rodi yang berat, sering kali tanpa mendapat upah yang layak.

Praktik Perbudakan dan Pengawasan Berlebihan

Tanah partikelir juga memperkuat praktik perbudakan di kalangan petani. Mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang berat dan menghadapi hukuman jika melanggar aturan yang ditetapkan oleh tuan tanah. Selain itu, pengawasan yang berlebihan terhadap berbagai aspek kehidupan petani juga menambah ketidakpuasan mereka.

Pengungsian sebagai Dampaknya

Akibat kebijakan particuliere landerijen, ribuan orang terpaksa mengungsi dari tanah partikelir tempat mereka tinggal. Contohnya adalah kasus tanah partikelir di Ciomas, Jawa Barat, yang menghasilkan kopi dan memaksa ribuan orang, termasuk buruh gudang dan perkebunan kopi, untuk melarikan diri.

Mengapa Muncul Tanah Partikelir?

Kebijakan particuliere landerijen muncul karena kekuasaan VOC pada abad ke-17 masih lemah. Untuk menghindari serangan dan mengatasi krisis keuangan pasca bubarnya VOC pada tahun 1799, pemerintah kolonial menjual wilayah ke pihak ketiga, termasuk pengusaha swasta. Proses ini kemudian melahirkan wilayah-wilayah otonom yang dikenal sebagai tanah partikelir.

Perkembangan Tanah Partikelir

Penjualan tanah partikelir berkembang pesat, terutama di sekitar kota-kota besar seperti Surabaya. Pada awal abad ke-19, penjualan tanah partikelir telah menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal dan Letnan Gubernur Jenderal terlibat langsung dalam penjualan tanah tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya konflik sosial di masyarakat.

Particuliere landerijen menjadi simbol eksploitasi dan penindasan terhadap petani di Nusantara pada masa penjajahan Belanda. Kebijakan tersebut tidak hanya menciptakan ketidakpuasan di kalangan petani, tetapi juga menyebabkan berbagai bentuk perlawanan dan pengungsian. Dengan memahami sejarah ini, kita dapat menghargai perjuangan para pahlawan masa lalu yang berjuang melawan ketidakadilan kolonial. [UN]