Koran Sulindo – Usai menuntaskan pendidikan dari Fort Bliss, Texas, Amerika, September 1960 sebuah tugas sudah menanti M Jasin. Ia ditunjuk menjadi Syamaun Gaharu sebagai Panglima Kodam I/Iskandar Muda Aceh.
Dalam bukunya, M. Jasin saya tak pernah minta ampun kepada Soeharto, Jasin menyebut meski sama-sama sebagai putra Aceh asli, Syamaun adalah musuh bebuyutan Teuku M Daud Beureuh, posisi yang sekuat tenaga dihindari Jasin.
Usai serah terima jabatan panglima 10 November 1960, bisa dibilang tugas utama Jasin cuma satu. Memulihkan perdamaian di Aceh yang koyak menyusul deklarasi Negara Islam Indonesia atau NII. Tak mau menunggu ia segera menghabiskan bulan-bulan pertama jabatannya untuk berkeliling seluruh Aceh, sebuah perjalanan berat yang kontan membuatnya jatuh sakit.
Perjalanan itu membuat Jasin yakin dengan prinsipnya, pemberontakan NII tak bisa dilayani ala militer, harus dengan cara kekeluargaan. Segera setelah pulih, Jasin menunjukkan niat baiknya dengan melarang tentara Kodam Iskandar Muda mengeluarkan tembakan ke arah pasukan DI/TII. Jasin juga rajin membuat seruan.
Seruan tertanggal 22 Desember yang ditujukan Kepada saudara-saudara yang masih belum kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Dalam selebaran itu Jasin menulis antara lain;
“Pada waktu belakangan ini saya mengetahui hasrat saudara-saudara untuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia masih menyala-nyala. Hanya saja banyak di antara saudara yang masih ragu-ragu, baik karena menyangsikan penerimaan pemerintah RI maupun disebabkan soal-soal yang bergolak di kalangan saudara-saudara sendiri. Pemerintah masih membuka jalan …”
Tanpa diduga, seruan pendek itu disambut dua tokoh utama DI/TTI Aceh, Sulaiman Gading dan R Sulaiman. Mereka bahkan mengirim surat kepada yang berisi permintaan agar Jasin menunjukkan niat baik dengan memberikan dasar-dasar umum yang bisa menjadi pegangan mereka.
Surat tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian konflik melalui perundingan masih mungkin dilaksanakan. Kalau tidak, mengapa mereka perlu menjabat surat itu? Begitu pikir Jasin.
Di sisi lain, laporan intelijen Jasin mengetahui di tubuh DI/TII terdapat dua kelompok utama, mereka yang ingin kembali ke RI dengan syarat-syarat tertentu dan mereka yang menentang. Laporan juga menyebut sebuah rapat rahasia di Montasik yang dipimpin Wahab Ibrahim, Komandan TII Resimen Aceh Besar juga membahas surat Sulaiman Gading itu.
Turun Gunung
Menjawab keraguan itu, akhir Februai 1961 Jasin menyebarkan kembali sebuah seruan, yang menegaskan kembali sikap Jakarta untuk menerima mereka. Dalam seruan itu juga disebut bahwa Achmad Bintang dan 69 pengikutnya telah melaporkan diri ke Pangdam Iskandar Muda. Jasin mengimbau kepada Sulaiman Gading dan R Sulaiman untuk menggunakan kesempatan bulan Ramadan itu untuk turun gunung. Ajakan serupa juga disampaikan Badan Dakwatul Islam wal Islakh DI Aceh.
Seruan-seruan itu akhirnya bersambut. Sebuah pertemuan di rumah Jasin digelar tanggal 6 Maret dihadiri Sulaiman Gading, Raden Sulaiman dengan Gubernur Aceh Ali Hasymi. Kesempatan itu digunakan Jasin untuk menjelaskan ‘garis’ Jakarta yang siap menerima mereka kembali. Pertemuan itu sukses meyakinkan mereka berdua untuk kembali.
Tindak lanjut dari pertemuan itu pada tanggal 29 Maret 1961, Wahab Ibrahim dan 100 pengikutnya turun gunung. Sehari berikutnya giliran 208 orang kemudian 176 yang lainnya. Pada tanggal 4 April, Jasin menerima secara resmi seluruh pasukan Wahab Ibrahim.
Percaya diri dengan model pendekatannya, Jasin berniat menghubungi langsung Daud Beureuh. Beberapa hari setelah menerima 2.000 pasukan Wahab Ibrahim, ia menulis surat pribadi. Surat tertanggal 7 April 1961 itu, Jasin yang memanggil Daud Beureh sebagai ‘ayahanda’ itu menyebut Pemerintah RI masih sangat mengharap kembalinya sang ulama. Jasin juga menawarkan seandainya berkenan menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Belakangan surat itu baru diterima Daud Beureuh tanggal 21 April 1961 dan dibalas seminggu kemudian. Tak tanggung-tanggung balasannya panjang lebar, sekitar enam halaman folio ketik dua spasi. Pada surat yang diawali dengan kata-kata, “Semoga sampai kiranya, kepada Yth anakanda Kol. M Jasin, di Kutaraja” itu pokoknya menyebutkan bahwa: perjuangan yang dipimpin Daud Beureuh yang dimulai 20 September 1953 itu, “semata-mata untuk dapat terlaksana Hukum Allah dan Sunnah Rasul sepenuhnya.”
Atas ajakan Jasin, Daud Beureuh menyebut setiap Muslim wajib melakukan dengan rela, sehingga dinul Islam terhindar dari kutak-katik dan rongrongan tangan penguasa yang zalim. Dalam surat itu juga disinggung perjuangan yang sempat mereda berkat Ikrar Lamteh. Ikrar itu menyarankan adanya musyawarah dengan Pemerintah RI “untuk menempatkan dalam Undang-undang RI, agar Hukum Islam dilaksanakan untuk muslim Indonesia, atau sekurang-kurangnya di Aceh, serta penyelesaian persengketaan di Aceh dan seluruh Indonesia lahir bain dengan cara yang selayaknya.”
Dalam surat itu Daud Beureuh juga mengakui kekecewaaanya, “karena pemerintah RI meski telah menjanjikan untuk kesekian kalinya, kesediaan dan maksud baik itu, untuk mempengaruhi dan melalaikan teman-teman yang memang mempunyai maksud tertentu dan kemudian memotong dari belakang dengan melupakan etik dan kesopanan politik.”
Namun, meskipun dikecewakan atas dasar ketulusan dan suci hati serta mengharapkan taufik dan inayah Allah SWT, Daud Beureuh menyebut “ingin menampung dengan kedua belah tangan hasrat anakanda dan Pemerintah RI.”
Menemui Daud Beureuh
Selanjutnya, kepada Jasin, ia meminta beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum “tercapainya hasrat pemerintah RI” di antaranya; mengundang semua ulama dan semua pemimpin-pemimpin Aceh untuk musyawarah, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka yang telah kembali untuk hadir dalam musyawarah, menetapkan suatu daerah yang benar-benar bebas dari propaganda politik dan ancaman bersenjata.
Setelah membalas surat itu, Jasin memutuskan untuk menemui Daud Beureuh langsung di makasnya, di sebuah hutan sebelah selatan kota Lhokseumawe. Jasin menolak dua kompi bersenjata lengkap yang disediakan dan hanya membawa seregu tentara dan beberapa ulama.
Jasin bercerita sepanjang perjalan menuju markas itu, ratusan pasukan DI/TII bersenjata lengkap –termasuk empat bazoka,senjata yang belum dimiliki TNI- mengawasai perjalanan rombongan kecil itu.
“Ketika sampai di Markas Daud Beureuh, beliau turun dari umah panggungnya dan memeluk saya. Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa seorang ulama besar yang mempunyai pengaruh besar dan berpendirian keras dan berwibawa, dapat saya lunakkan dengan sikap saya yang merendahkan diri. Mundur selangkah untuk menang,” kata Jasin.
Di markas itu, Jasin mengaku diajak naik ke rumah panggunh untuk berbicara empat mata. Sang ulama besar itu setuju untuk turun gunung.
Pelukan kepada Jasin itu diulangi ketika ia bertemu Daud Beureuh pada 2 November 1961 di Langkahan. Mengenakan setelah pantalon hitam, kemeja lengan panjang hitam dan peci hitam, menurut Jasin, Daud Beureuh masih terlihat tegap dan kuat meski rambut dan alisnya sudah memutih. Di tangannya juga tergenggam sebatang tongkat. “Ketika saya datang, beliau langsung memeluk saya erat-erat, penuh haru,” kata Jasin.
Disambut ramah, Jasin disuguhi kopi dan teh serta yang berlanjut dengan makan bersama. Jasin mengingat suasana sangat kekeluargaan ketika, termasuk ketika membicara tempat tinggal sang ulama. Tawaran rumah dan mushola di Banda Aceh serta sebuah jeep ditolak dengan halus. Ia hanya mau meminjam jeep itu untuk mengantarnya pulang. “Beliau hanya ingin kembali ke kampungnya di desa Beureunuen, Sigli,” kata Jasin.
Di Beureunuen, Jasin menyaksikan Daud Beureuh langsung bersama rakyat mengerjakan saluran air dan bekerja di sawah. Ia mengaku kagum, karena seorang ulama besar dan memiliki banyak pengikut masih mau bekerja bersama rakyat di sawah. Hingga akhir hayatnya, janji soal syariat Islam itu tak pernah ditepati Jakarta hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.[TGU]