Menengok Ilusi Suu Kyi di Myanmar

Tokoh yang dianggap demokratis, Aung San Suu Kyi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Mungkin Myanmar merupakan negara terakhir di Asia yang mengikuti model pembangunan di dunia saat ini. Sejak 2011, Myanmar menempuh perubahan politik dengan menerapkan keterbukaan ekonomi. Itu sebabnya, di sana kini banyak terlihat pembangunan perkebunan, pertanian, pertambangan dan pengolahan sumber daya air.

Akan tetapi, keterbukaan politik dan ekonomi itu tidak menjadi jaminan mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Justru ketika perubahan politik dan ekonomi terjadi di negara yang diapit Tiongkok dan India itu, justru tingkat perampasan tanah serta penindasan terhadap rakyat kian menjadi-jadi. Harapan rakyat muncul ketika partai Aung San Suu Kyi menang pada 2015.

Simbol perlawanan dan ikon demokrasi Myanmar itu diharapkan mampu membawa keadilan. Kenyataannya keadilan itu jauh panggang dari api – kendati Suu Kyi kini merupakan pemimpin Myanmar secara de facto. Ia dianggap tak bersuara ketika suku Rohingya dibantai dan dianiaya. Dalam keterangan resminya di publik, ia berjanji tidak akan membahas masalah tersebut.

Kali pertama investor asing masuk ke Myanmar, di bawah hukum baru yang ditetapkan rezim, permintaan terhadap tanah meningkat pesat. Itu pula yang menjadi faktor utama tingginya konflik di negara tersebut. Kendati perusahaan asing telah pindah, perampasan tanah terus berlanjut. Kaum tani terus kehilangan tanah. Mereka menjadi miskin dan menjadi gelandangan.

Sebagian rakyat Myanmar bingung melihat Suu Kyi. Pasalnya, ia adalah orang yang melobi Amerika Serikat (AS) untuk mencabut embargo ekonomi terhadap Myanmar. pendukung militannya jelas heran akan hal itu. Setelah pencabutan sanksi ekonomi itu, ia memang mengingatkan agar tidak secara terburu-buru menerima investasi asing. “Kami ingin investor yang menghormati demokrasi dan hak asasi manusia,” kata Suu Kyi kepada hadirin Asia Foundation di San Francisco pada 2012.

Suu Kyi disamakan dengan Nelson Mandela yang berjuang untuk Afrika Selatan tanpa kekerasan. Keduanya sama-sama merujuk kepada cara perjuangan Mahatma Gandhi, bapak bangsa India. Seperti Mandela, Suu Kyi dianggap sebagai sosok yang tidak sesuai dengan citra yang selama ini dibangun: demokratik. Soal ini, Suu Kyi mengaku memiliki kelemahan dan kekurangan.

Kisah Suu Kyi memang mirip Mandela. Tumbuh melalui penderitaan dan pengorbanan. Ia sejak 1989 menghabiskan 15 tahun dari 21 tahun hukuman sebagai tahanan rumah di Rangoon. Sebagian besar kehidupannya terpisah dari keluarganya. Ia resmi dibebaskan junta militer pada November 2010. Dan tindakan junta militer itu menandai awal dari keterbukaan politik di Myanmar. Sebuah kisah yang dianggap sebanding dengan pembebasan Nelson Mandela pada Februari 1990.

Seperti Suu Kyi, pembebasan Mandela dan setelah terpilih menjadi pemimpin Afrika Selatan nyatanya tidak membawa perubahan berarti terhadap rakyatnya. Padahal, African National Congress (AFC) partai Mandela adalah simbol perlawanan di sana. Persis seperti Suu Kyi dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di Myanmar. Setelah rezim kulit putih tumbang dan ANC berkuasa serta Mandela terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan pada 1994, seperti Myanmar, justru penindasan terhadap rakyat semakin meningkat.

Lalu apa yang dapat dipelajari dari kedua tokoh seperti Suu Kyi dan Mandela itu? Adalah sifat manusia menginginkan tokoh yang dikaguminya mewujudkan keadilan dan impian rakyat banyak. Akan tetapi, Mandela dan juga Suu Kyi justru mengajarkan kita untuk memiliki semangat pragmatisme – jika bukan oportunisme. Dengan kata lain Suu Kyi dan Mandela sama-sama menawarkan ilusi! [KRG]