Konferensi Meja Bundar (Wikipedia)
Kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, tetapi mencapainya sering kali membutuhkan perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan. Bagi Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjalanan. Meski kemerdekaan telah diproklamasikan, pengakuan dunia, khususnya dari penjajah sebelumnya, Belanda, menjadi tantangan besar.
Dari medan perang hingga meja diplomasi, bangsa Indonesia memperjuangkan kedaulatan dengan semangat pantang menyerah. Artikel ini mengupas perjuangan tersebut, mulai dari konflik militer, perundingan diplomatik, hingga tercapainya pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Sebuah kisah epik tentang keteguhan bangsa dalam merebut haknya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Konflik dan Diplomasi

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi tonggak sejarah lahirnya negara Indonesia. Namun, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda tidak berakhir dengan proklamasi tersebut. Selama empat tahun setelah merdeka, Indonesia menghadapi tantangan besar karena Belanda menolak mengakui kemerdekaan Indonesia dan berupaya melanjutkan kolonialisme yang terhenti akibat pendudukan Jepang pada 1942-1945.
Penolakan Belanda atas kemerdekaan Indonesia memicu konflik bersenjata dan perselisihan diplomatik antara kedua belah pihak. Melansir dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Belanda merasa berhak atas wilayah Indonesia dan menolak mengakui proklamasi yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Untuk mengatasi konflik ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Commission for Indonesia (UNCI) yang bertugas memfasilitasi perundingan antara Indonesia dan Belanda. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) turut berperan dalam menyelesaikan konflik ini.
Sebelumnya, DK PBB membentuk Komite Jasa Baik (Good Offices Committee, GOC) yang terdiri atas utusan dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Pada 28 Januari 1949, DK PBB mengeluarkan resolusi yang mengubah nama GOC menjadi UNCI. UNCI memfasilitasi dua pertemuan di Jakarta pada paruh pertama 1949 yang menghasilkan kesepakatan untuk melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Salah satu langkah penting lainnya adalah perjanjian Roem-van Roijen yang dibuat pada 14 April 1949 dan ditandatangani pada 7 Mei 1949. Dalam perjanjian ini, Belanda setuju untuk membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditahan, mengembalikan ibu kota ke Yogyakarta, serta menyetujui diadakannya KMB.

Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar atau KMB (Nederlands-Indonesische Rondetafelconferentie; bahasa Inggris: Dutch-Indonesian Round Table Conference) merupakan konferensi yang diadakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Tujuan utama KMB adalah menghentikan konflik antara Indonesia dan Belanda dengan bentuk pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (RI). Pihak Belanda menggunakan istilah “penyerahan kedaulatan” dalam konferensi ini.
Peserta konferensi terdiri atas utusan-utusan dari Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, Majelis Permusyawaratan Federal), yaitu perhimpunan negara-negara bagian yang dibentuk oleh Belanda. Konferensi ini juga dihadiri oleh perwakilan UNCI. KMB merupakan salah satu peristiwa penting yang mengakhiri Revolusi Indonesia.
Melalui konferensi ini, Belanda, dan kemudian dunia internasional, mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana RI merupakan salah satu negara bagiannya. RIS terdiri atas 16 negara bagian, dan wilayahnya mencakup semua bekas kekuasaan Hindia Belanda kecuali Irian Barat. Wilayah ini tetap berada di bawah kontrol Belanda hingga 1962 sesuai kesepakatan dalam KMB.

Hasil dan Dampak KMB

Salah satu hasil KMB adalah pengakuan Belanda terhadap RIS sebagai negara yang merdeka secara hukum pada 27 Desember 1949. Upacara penyerahan kedaulatan (souvereniteits overdracht) dilakukan secara simbolis di Amsterdam dan Jakarta pada hari yang sama. Penyerahan ini menandai akhir kolonialisme Belanda di Indonesia.
Di Jakarta, upacara diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan H.V.K. Lovink dengan simbol penurunan bendera Belanda dan pengibaran bendera Indonesia. Namun, KMB juga menghasilkan keputusan yang kontroversial. Indonesia mengambil alih hutang Hindia Belanda sebesar 4,6 miliar gulden (setara dengan 1,7 miliar dolar AS). Sebagian dari hutang tersebut digunakan Belanda untuk membiayai perang melawan Indonesia, yang kemudian menjadi beban ekonomi bagi negara di masa awal kemerdekaannya.
Selain itu, penyelesaian masalah Irian Barat ditangguhkan selama satu tahun. Parlemen sementara RIS mengadakan sidang pleno pada 15 Desember 1949 untuk meratifikasi hasil KMB. Sebanyak 236 suara mendukung, 62 suara menolak, dan 31 abstain. Sehari setelahnya, Sukarno dipilih sebagai presiden RIS, dan Mohammad Hatta menjadi perdana menteri. Kabinet RIS yang dibentuk pada 19 Desember 1949 memfokuskan programnya pada pemindahan kekuasaan yang berjalan lancar di seluruh wilayah Indonesia.
RIS tidak bertahan lama. Pada Agustus 1950, negara-negara bagian dalam RIS dibubarkan, dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan di bawah Republik Indonesia. Konstitusi RIS yang digunakan sejak Desember 1949 digantikan dengan UUD Sementara 1950. KMB mengakhiri perang dan konflik diplomatik antara Indonesia dan Belanda. Selain itu, konferensi ini memperkuat posisi Mohammad Hatta yang memainkan peran penting dalam diplomasi.
Namun, hasil KMB juga menjadi pelajaran tentang kompleksitas perjuangan diplomasi internasional dan pengorbanan yang harus dilakukan demi mencapai kemerdekaan yang sepenuhnya. Proklamasi pada 17 Agustus 1945 tetap menjadi landasan utama perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa, sementara pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 menjadi penutup babak panjang perjuangan melawan kolonialisme. Kini, sejarah ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukan sekadar deklarasi, melainkan hasil dari perjuangan yang penuh pengorbanan. [UN]