Keanekaragaman geografis, etnis, dan agama yang mewarnai kehidupan masyarakat Suriah saat ini bukanlah sesuatu yang terbentuk dalam waktu singkat. Melainkan hasil dari perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, yang melibatkan berbagai kekuasaan besar dunia, mulai dari kekaisaran Islam hingga pengaruh Bizantium. Di balik perayaan kemerdekaan setiap 17 April, tersimpan kisah-kisah perjuangan dan transformasi yang telah membentuk karakter bangsa Suriah dari masa ke masa.
Untuk memahami sepenuhnya makna kemerdekaan ini, penting untuk menelusuri kembali bagaimana Suriah berkembang sebagai wilayah strategis dan pusat kebudayaan selama berabad-abad, dan bagaimana dinamika kekuasaan turut memengaruhi identitas nasional yang kita kenal hari ini.
Mengutip laman National Today, setiap tanggal 17 April, rakyat Suriah merayakan Hari Kemerdekaan sebagai hari libur federal. Momen ini bukan sekadar pengingat atas lepasnya negara dari cengkeraman kolonial, tetapi juga penghormatan terhadap sejarah panjang yang telah membentuk karakter bangsa Suriah hari ini. Sebagai negara yang terletak di Asia Barat, Suriah menyimpan warisan budaya, sejarah, dan geografi yang begitu kaya.
Suriah adalah negeri yang kontras. Gurun yang tandus berpadu dengan pegunungan menjulang dan dataran subur yang telah menopang peradaban selama ribuan tahun. Penduduknya mayoritas adalah Arab Suriah, namun di dalamnya juga hidup berdampingan orang Kurdi, Turkmenistan, Asyur, serta komunitas etnis dan agama lainnya. Agama yang dianut pun beragam, mulai dari Islam Sunni sebagai mayoritas, hingga Kristen dan Syiah yang turut memberi warna dalam kehidupan masyarakatnya.
Damaskus, ibu kota dan kota terbesar Suriah, bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga simbol peradaban Islam klasik. Sebagai negara republik kesatuan, Suriah terdiri atas 14 provinsi dan menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dari Kekaisaran Islam hingga Penaklukan Bizantium
Sejarah Suriah tak lepas dari perannya sebagai bagian penting dalam kekaisaran Islam. Pada tahun 634 hingga 640, pasukan Muslim di bawah komando Khalid Ibn al-Walid berhasil menaklukkan wilayah ini. Dinasti Umayyah yang berkuasa pada abad ketujuh kemudian menjadikan Damaskus sebagai ibu kota kekaisaran, menjadikannya pusat pemerintahan dan ekonomi yang makmur. Wilayah yang kini dikenal sebagai Suriah meliputi Damaskus, Homs, Palestina, dan Yordania.
Pada masa ini, toleransi beragama dijunjung tinggi. Orang Asyur dibiarkan tinggal di Timur Laut, sementara umat Kristen mayoritas dari suku Aram tidak hanya diterima, tetapi juga diberi kesempatan menduduki posisi dalam pemerintahan. Kekhalifahan Islam ini juga menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, sebuah kebijakan yang diteruskan oleh Dinasti Abbasiyah setelah menggulingkan Umayyah pada tahun 750 dan memindahkan ibu kota ke Baghdad.
Di masa Dinasti Hamdaniyah, Istana Saif al-Daula di Aleppo menjadi pusat kebudayaan Arab yang penting, terutama dalam perkembangan sastra. Saif al-Daula dikenal sebagai pemimpin yang gigih mempertahankan wilayahnya dari serangan Bizantium. Namun setelah kematiannya, wilayah seperti Antiokhia dan Aleppo sempat jatuh ke tangan Bizantium pada tahun 969, dan akhirnya seluruh Suriah berada di bawah kendali Bizantium pada 996.
Budaya dan Tradisi
Tak lengkap membicarakan Suriah tanpa menyentuh aspek budayanya yang begitu mendalam. Budaya Suriah merupakan perpaduan antara pengaruh Arab, Islam, dan sisa-sisa peradaban kuno seperti Yunani, Romawi, dan Bizantium. Kota-kota tua seperti Palmyra dan Bosra menjadi saksi kejayaan peradaban klasik, sementara pasar-pasar tradisional (souq) di Damaskus dan Aleppo memancarkan aroma rempah-rempah, tekstil, dan kerajinan tangan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Musik dan tarian merupakan bagian penting dari kehidupan sosial. Alat musik tradisional seperti oud dan qanun masih digunakan dalam pertunjukan rakyat maupun perayaan keluarga. Tarian dabke yang dilakukan secara berkelompok sambil bergandengan tangan menjadi simbol kebersamaan dalam pesta-pesta pernikahan dan festival.
Kuliner Suriah pun mencerminkan keberagaman budaya yang kaya rasa. Hidangan seperti kibbeh, hummus, falafel, dan tabbouleh tidak hanya disantap sehari-hari, tetapi juga hadir dalam acara keagamaan dan tradisional. Makanan di Suriah tidak sekadar mengisi perut, melainkan juga menjadi jembatan sosial dan simbol keramahtamahan.
Dalam ranah keagamaan dan spiritual, Suriah juga memiliki banyak situs suci bagi umat Islam dan Kristen. Gereja-gereja tua berdiri berdampingan dengan masjid-masjid bersejarah, mencerminkan kehidupan beragama yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Sejarah Suriah adalah catatan panjang perjuangan, perebutan kekuasaan, dan keberagaman yang terus dipertahankan. Maka tak heran jika tanggal 17 April menjadi hari yang begitu penting bagi rakyat Suriah, simbol pembebasan dari dominasi asing dan titik awal menata masa depan sebagai negara merdeka.
Hari Kemerdekaan bukan sekadar perayaan, melainkan momen reflektif atas identitas bangsa yang dibentuk oleh ribuan tahun sejarah. Dari Damaskus hingga Aleppo, dari padang pasir hingga dataran subur, Suriah adalah negeri yang telah membuktikan ketangguhannya menghadapi zaman. Sebuah negeri yang tak hanya merdeka secara politik, tetapi juga terus berjuang mempertahankan kemerdekaan budaya dan keberagamannya. [UN]